Cerpen Anak: Aku Punya Sayap Karya Anindita Shakira Dewi

Kira, bangun sudah siang! Nanti terlambat ke sekolah!” seru ibuku.

Aku langsung melompat dari kasur sebelum Ibu tambah mengomel. “Iya, Bu!” jawabku.

Aku Shakira, kelas enam SD yang dari dulu tidak bisa bangun pagi. Jadi, aku terkenal sering terlambat masuk ke sekolah.

Setelah mandi, aku bergegas memakai baju seragam dan langsung berangkat ke sekolah berjalan kaki sendirian tanpa sempat sarapan.

Uh, jauh sekali sekolahku.

Andai saja aku bisa terbang, pasti aku sampai sekolah lebih mudah. Dari dulu, aku sangat takjub melihat capung, kupu-kupu, atau burung. Entahlah, sepertinya memiliki sayap bisa menyelesaikan masalahku yang sering terlambat pergi ke sekolah.

Tiba di sekolah untung saja belum terlambat. Malah aku sempat melihat sekumpulan anak-anak nakal bertubuh besar sedang menyakiti temanku – Sandi –  yang berbadan kurus dan kecil. Mereka Arta Geng yang terkenal nakal. Aku pun sering diganggu mereka. Sekarang giliran Sandi yang dijahili. Tas Sandi diambil dan tempat bekalnya dibuka oleh mereka.

“Hei, berhenti!” teriakku sambil membantu Sandi berdiri.

Bukannya berhenti, anak-anak jahat itu malah mendorongku. Aku jadi jatuh dan seragam sekolahku kotor kena tanah.

Uh, jahat sekali!

Kalau saja aku punya sayap, aku akan membawa Sandi pergi dari hadapan mereka dan memberikan pelajaran kepada anak-anak nakal itu.

oOo

Hari Sabtu, jam sekolah lebih pendek. Waktunya anak-anak pulang sekolah. Aku berjalan pulang sambil memikirkan kejadian pagi tadi.

Dalam perjalanan pulang, aku melihat seorang nenek yang kesulitan membawa barang bawaan yang banyak dan berat. Aku langsung membantu nenek itu membawakan barangnya menaiki dua puluh lima anak tangga apartemen. Jauh sekali tempat tinggalnya, kumuh dan sepi.

“Terima kasih, Cucu!” kata Nenek. “Masuklah dulu ke rumah, biar nenek buatkan minuman sebagai ucapan terima kasih.”

Aku masuk ke rumah Nenek dan duduk di kursi kayu yang terlihat kuno.

Nenek memberikan aku secangkir minuman berwarna merah. Sepertinya enak. Karena haus, aku langsung meneguknya sampai habis.

Namun, kepalaku tiba-tiba pusing. Mataku banyak kunang-kunang. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi.

Aku terbangun setelah tubuhku diguncang-guncang oleh Nenek.

“Sudah sore, nanti kamu dicari orang tuamu belum pulang dari sekolah.”

Aku gelagapan bangun. Tubuhku terasa sangat berat. Punggungku seperti menggendong sesuatu.

“Lho, apa ini?” teriakku saat meraba belakang tubuhku. Buru-buru aku meminta izin pada Nenek untuk menumpang ke kamar kecil. Betapa terkejutnya aku, saat membuka baju dan melihat bayangan tubuhku di cermin. Ada sayap di punggungku.

“Itu sayap yang kamu inginkan.” Tiba-tiba Nenek sudah muncul di sampingku. “Tapi ingat, kamu harus merahasiakannya dan gunakanlah sayap itu untuk berbuat kebaikan.”

Wah, ini keren sekali. “Eh, bagaimana Nenek tahu aku ingin punya sayap?” tanyaku.

Nenek tidak menjawab. Dia hanya tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya.

Aku berterima kasih kepada Nenek. Sayap itu tidak terlalu tebal. Tidak juga tipis. Cukup lentur, tetapi indah dan kuat. Aku bisa menyembunyikannya di balik baju yang longgar.

oOo

Di hari Senin aku terlambat bangun lagi. Ah, malas ke sekolah. Kelakuan anak-anak nakal itu membuat aku bertambah enggan ke sekolah.

Eh, tunggu dulu!

Aku kan sekarang memiliki sayap. Jadi kalau nanti bertemu mereka, aku bisa terbang menghindar.

Saat aku sampai di depan gerbang sekolah, aku melihat Sandi lagi-lagi diganggu oleh Arta Geng. Nah, kan!

Aku buru-buru bersembunyi ke balik pohon, melepas tas dan jaket. Aku mengangkat belakang baju seragam, lalu cuss! Aku terbang menyambar Sandi dan membawanya bersembunyi ke balik tembok.

“Lho, Kira?” seru Sandi terkejut.

Aku memberi isyarat kepada Sandi agar diam, lalu melempari anak-anak nakal itu dengan batu-batu kecil penghias taman sekolah.

“Aduh!”

Anak-anak nakal itu kesakitan dan langsung menoleh ke sana ke sini.

“Woi, siapa yang melempar?”

Sandi tertawa cekikikan.

Aku memberi kode agar jangan bersuara.

Aku tidak mungkin melawan mereka. Aku berteriak dengan suara yang dibuat seperti anak laki-laki.

“Pak Guru, Bu Guru, ada yang menyakiti Sandi!”

Seketika wajah anak-anak nakal itu berubah pucat dan ketakutan. Mereka lari kocar-kacir.

Aku dan Sandi bisa tertawa terbahak-bahak sekarang.

“Kira, di punggungmu …,”  Sandi menunjukku dengan wajah keheranan.

“Stt, jangan bilang siapa-siapa,” jawabku sambil merapikan kembali baju seragam, menyembunyikan sayap.

Sandi menutup mulutnya tanda setuju.

“Anak-anak nakal itu harus dilawan. Kalau tidak, mereka akan terus menyakiti kamu!”

Sandi terdiam.

“Jangan takut, semakin kamu takut mereka akan makin menganggu. Tenang saja, aku akan membantumu,” kataku.

Sandi mengangguk. Setelah itu, kami masuk ke kelas.

Keesokan harinya aku sangat bersemangat pergi ke sekolah hingga bangun lebih awal. Lebih-lebih kalau ingat sudah memberi pelajaran kepada anak-anak nakal itu kemarin.

Nah, benar saja. Arta Geng terlihat asyik bermain dengan kelompoknya, tidak lagi mengganggu.

Saat bertemu Sandi, aku berpesan kembali, agar dia merahasiakan soal sayapku.

“Sayap? Sayap apaan?” tanyanya bingung saat aku mengingatkannya.

“Masa kamu lupa? Aku kemarin membawa kamu terbang menghindari Arta Geng!”

“Hah? Kamu kemarin itu cuma menarikku, lalu kita bersembunyi dan melempari  anak-anak nakal itu dengan batu, Kira.”

Sekarang aku yang terkejut. Masa, sih? Kemarin aku terbang menyelamatkan Sandi, kok.

Saat pulang sekolah, aku masih merasa kebingungan. Buru-buru aku membuka baju dan memeriksa sayap di punggungku. Aneh, kenapa sayapnya tidak ada?

Dengan penasaran aku mendatangi rumah Nenek yang aku tolong kemarin.

“Kamu siapa? Apa kita pernah bertemu?” tanya si Nenek saat aku mendatangi apartemennya.

“Lho, kan … Nenek yang memberikan minuman penumbuh sayap.”

“Mana ada minuman seperti itu!” katanya.

“Tapi setelah aku minum minuman itu, aku bisa memiliki sayap, menolong temanku, dan melawan anak-anak nakal di sekolah, Nek.”

Nenek itu menggeleng. “Kamu bisa menolong temanmu karena keberanianmu sendiri dan ketulusan hatimu menolong orang.”

Uh, aku jadi tambah bingung. Aku keluar dari rumah Nenek itu sambil terus berpikir. Sepertinya kemarin terasa nyata kalau aku benar-benar terbang dan melawan Arta Geng.

Masih dalam keadaan  bingung, aku menoleh ke belakang, ke apartemen nenek. Betapa terkejutnya aku, saat melihat sang nenek berubah menjadi wanita muda cantik bersayap seperti peri. Dia melambaikan tangan kepadaku sebelum terbang dan menghilang bersama apartemen kumuh itu.(*)

Lampung, 8 Agustus 2025

oOo

TENTANG PENULIS: Anindita Shakira Dewi, itu nama saya. Saya sering menghabiskan waktu dengan menulis diary, membaca komik, dan menggambar. Saya juga suka menari. Saat di kelas 3 SD cerpen saya Lala dan Sasa masuk ke dalam naskah terpilih buku Antologi Persahabatan pada even menulis di Lilo. Sekarang saya duduk di kelas 7. Ibu pernah bilang, ‘Tidak perlu banyak teman jika kamu tidak merasa nyaman dengan mereka. Jadilah diri sendiri, meski dianggap berbeda.’ Semoga tulisan saya dapat menghibur teman-teman.

CERPEN ANAK: Mulai Juni 2025 ada kategoi baru, yaitu Cerpen Anak. Tayang dua mingguan Setiap Sabtu, bergantian dengan CERPEN SABTU. Penulisnya khusus untuk anak-anak usia SD dan SMP; dia bisa saja anak kita, keponakan kita, murid-murid kita di sekolah atau cucu kita. Panjang cerpen anak cukup antara 500 – 1000 kata. Redaksi menyediakan honorarium Rp 100.000,- Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri atau ChatGPT. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Anak.

2 thoughts on “Cerpen Anak: Aku Punya Sayap Karya Anindita Shakira Dewi”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *