Dari Sidang Artistik ke Pertunjukan Ceramah

Oleh Zaeni Boli

Hari kedua (Kamis, 7 Agustus 2025) saya berada di Jakarta, tepatnya di Taman Ismail Marzuki (TIM), pada agenda Djakarta International Theater Platform 2025. Saya memanfaatkan kesempatan ini untuk melihat dan meresapi karya-karya yang menjadi sajian di Djakarta International Theater Platform, salah satunya eksplorasi tidur di dalam bajaj selama minimal 15 menit—sebuah pengalaman tidur tak terduga.

Sebelumnya, saya mengunjungi Pameran Arsip. Kali ini, untuk kedua kalinya, saya ingin memasuki ruang yang menarik ini—sebuah pameran yang mungkin jarang dikunjungi, tapi sesungguhnya di dalamnya terdapat banyak catatan yang mengajak kita merenungi kehidupan: bagaimana para pendahulu membicarakan kebudayaan, merespons kebijakan pemerintah (khususnya yang berkaitan dengan seniman dan karya), serta bagaimana Dewan Kesenian Jakarta berkembang dari masa ke masa.

Sikap kritis dari seniman tidak pernah lepas menjadi daya tarik dari catatan sejarah dan kebudayaan yang ada di Taman Ismail Marzuki, khususnya. Kurator pameran Arsip ini berhasil membawa hal-hal penting untuk bisa dibaca bersama dan berulang-ulang, agar kemudian kita bisa mengambil sikap terhadap sebuah persoalan.

Setelah berkeliling di Galeri Cipta 1, tempat Pameran Arsip Sidang Artistik, saya penasaran pada eksplorasi dari kelompok Tapir Studio yang membahas tentang tidur. Saya mencoba memahami lewat tengah tubuh yang merasakan: ada dua lokus yang ditawarkan, yaitu tidur di dalam bajaj atau tidur di karpet seolah-olah di masjid—tempat yang orang Jakarta, khususnya kelas pekerja, biasa manfaatkan pada jam siang untuk istirahat, terkadang tanpa peduli tempat.

Dua di antaranya adalah masjid atau kendaraan yang menjadi tempat mengais rezeki. Saya mencoba tidur di dalam bajaj kurang lebih selama 15 menit. Pengalaman ini akhirnya membuat saya bisa merasakan apa yang supir bajaj rasakan, khususnya saat menikmati tidur siang dengan suara-suara yang ditimbulkan dari sekeliling.

Setelah mencoba hal tersebut, sorenya saya mengikuti simposium—pertemuan yang menghadirkan para produser seni pertunjukan: satu dari Indonesia, satu dari Singapura, dan satu lagi dari Malaysia. Namanya juga pertemuan internasional, maka bahasa dominan yang dipakai adalah bahasa Inggris. Beruntung panitia menyediakan alat bantu untuk kami yang kurang menguasai bahasa ini agar bisa memahami apa yang disampaikan.

Banyak hal menarik yang mereka sampaikan. Namun, bagi saya pribadi, saya menyesal kenapa dulu tidak belajar bahasa Inggris dengan baik, karena ternyata pergaulan yang baik dengan dunia luar salah satunya membutuhkan kemampuan komunikasi yang mumpuni, yakni dengan menguasai bahasa Inggris.

Setelah itu, ke pertemuan berikutnya, yakni pertunjukan ceramah yang dibawakan oleh Dr. Nungki Kusumastuti, dosen tari di IKJ (Institut Kesenian Jakarta), seorang maestro tari yang juga pernah bermain film maupun sinetron.

Pada pertemuan pertunjukan ceramah dari Ibu Nungki, kita diajak mengenal sejarah tari Indonesia. Beberapa kali, Ibu Nungki mengucapkan terima kasih, khususnya kepada Dewan Kesenian Jakarta karena telah memiliki Komite Arsip yang konsisten terhadap arsip.

Ibu Nungki, yang tak lagi muda sebagai penari profesional dan juga akademisi yang mumpuni, mampu membawa kita pada keasyikan dan seni tingkat tinggi tentang sebuah perjalanan dan dedikasi seorang maestro tari—yakni dirinya sendiri. Pertunjukan diakhiri dengan artist talk, sebuah interaksi antara seniman dengan penontonnya.

2 thoughts on “Dari Sidang Artistik ke Pertunjukan Ceramah”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *