Kebijaksanaan Dari Masa Lalu: Menjaga Alam Untuk Kebaikan Masa Kini dan Masa Depan

Oleh: Rowan

Tidak dipungkiri dalam perjalanan sebuah bangsa sudah pasti di dalamnya memiliki masa lalu yang di dalamnya terdapat sebuah harta karun yang berharga. Yang saya temukan pada perjalanan panjang Nusantara salah satunya adalah karya sastra yang berjudul I La Galigo. Terdapat 6.000 halaman dan 300.000 baris teks yang sudah diawetkan sejak abad 19, sehingga karya ini mendapatkan pernghargaan dari UNESCO sebagai ‘Memory Of The World’.

Pada perkembangnnya karya ini sudah didigitalisasi dan di tulis kembali sebagai karya sastra yang biasa kit abaca dalam buku-buku (bukan lagi dalam bentuk baris-baris syair). Saya mulai tertarik membaca karya ini ketika berkali-kali mendengar Dr. Bagus Muljadi mengatakan bahwa sebuah bangsa harus memiliki akar kebijaksanaan. Selengkapnya, kita bisa cek podcastnya Dr. Bagus Muljadi dan Prof. Nurhayati.

Saya mendapatkan buku ini di ipusnas, aplikasi khusus yang dibuat oleh Perpustakaan Nasional Republik Indoesia untuk mendigitalisasi buku. Ada banyak sekali buku di aplikasi ini kamu bisa membaca apapun. Jadi, tidak ada alasan lagi untukmu untuk tidak membaca buku. Tapi, pada buku-buku yang terkenal, kamu akan menunggu lebih lama untuk membacanya.

Ada banyak sekali nilai-nilai nenek moyang yang terdapat dalam buku ini. Saya akan memfokuskan pada keselarasan dengan alam.

Ada berapa luas hutan di Indonesia? 95,5 juta hectare, atau 51,1% dari total daratan. Dari angka-angka tersebut skitar 91,9% (87,8 juta hectare) berada dalam kawasan hutan (data Kementrian Kehutanan).

Sementara itu, angka deforestasi tahun 2024 tercatat sebesar 175, 4 ribu hektar. Jika deforestasi ini terus terjadi, hanya kurang dari 5 tahun, hutan di Indonesia akan mengalami pengundulan yang luar biasa.

Berbeda dengan data yang langsir oleh Green Peace Indonesia, bahwa deforestasi sepanjang dua dekade terakhir mencapai lebih dari 10 juta hectare. Adapun yang factor utama dalam deforestasi tersebut adalah alih fungsi hutan menjadi perkebunan monokultur seperti sawit dan ekploitasi tambang secara berlebihan.

Dalam novel Teruslah Bodoh Jangan Pintar yang ditulis oleh Tere Liye, ada banyak sekali dampak penambangan. Lebih-lebih itu adalah illegal, seperti lubang-lubang bekas penambangan bisa menjadi “wisata berbahaya” oleh anak-anak, air sungai yang jernih akan tercemar dan kawasan sekitar tambang akan lebih mudah terdampak bencana alam.

Hutan bukan hanya menjadi tempat tinggal hewan saja, di sana juga ada masyarakat adat. Terlebih fungsi hutan yang sangat banyak. Hutan berperan penting sebagai pengatur iklim, penyimmpan miliaran ton karbon, pelindung dari banjir dan kekeringan, serta menjaga agar tanah tetap stabil.

Bahkan, jauh sebelum hutan-hutan kita disentuh oleh “tangan-tangan yang nakal.” Nenek moyang kita sudah saling berpesan untuk menjaga hutan agar tidak dirusak secara ugal-ugalan. Misalanya, dalam buku ini, kita seakan diberi refleksi untuk mencintai alam.

Tanaman yang tumbuh atas berkat dari Tuhan tidaklah untuk dieksploitasi secara berlebihan. Selama itu cukup untuk kebutuhan manusia, maka cukupkanlah. Biarkan tanaman itu terus tumbuh tanpa harus dihancurkan.

Pada buku ini juga dijelaskan agar tanaman (padi) yang kita tanam tidak mengalami kegagalan maka kita tidak boleh melakukan hal-hal ini:

“Ada enam perkara yang membuat panen akan gagal, seperti dimakan tikus, puso, atau kemarau panjang. Pertama, hubungan gelap Antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kedua, hubungan seks antara dua kelamin sejenis. Ketiga, seorang laki-laki selingkuh dengan saudara perempuannya sendiri. Keempat, hakim tidak berpantang atau menghalalkan segala cara. Kelima, rakyat saling bermusuhan. Keenam, pemimpin berbuat serong terhadap isi rumahnya.”

Buku ini juga memberi nasihat agar kita menghormati makanan pokok (nasi) yaitu makan tidak boleh bercakap-cakap atau berjalan-jalan karena jangan sampai nasi terburai dan ada terisisa di piring sesudah kenyang.

Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa ada sebuah kerajaan besar yang ingin mengadakan jamuan, ia membuat makanan yang sangat banyak, sayangnya tamu yang diharapkan tidak memenuhi jamuan tersebut, sehingga sisa makanan yang masih banyak itu dihancurkan oleh sang raja karena marah. Beberapa hari kemudian, sang raja diberi teguran oleh para dewa. Kerajaannya menjadi gersang, sang raja jatuh sakit, dan kerajaannya dihancurkan oleh kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.

Saya tutup dengan salah satu kalimat yang sering dilontarkan oleh masayarakat adat, yaitu:

“jangan serakah.”

Bionarasi:

Namaku Robi Setiawan. Aku memliki nama pena, yaitu Rowan. Salam kenal semua. Aku kelahiran Jakarta yang menempuh pendidikan S1 di Banten. Aku masih seorang mahasiswa. Ahiya, aku memiliki buku loh, judulnya “Selangkah Demi Selangkah”. Tidak banyak yang bisa kuceritakan di sini, kunjungi Instagramku ya: @rowan_2403. Terima kasih.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://www.instagram.com/golagongkreatif?igsh=MXVlZDR5ODlwd3NsdQ==