Oleh: Naufal Nabilludin
Kalimat di atas saya sampaikan dalam diskusi World Book Day di Rumah Dunia, Sabtu, 26 April 2025. Dengan tema “Dari Banten untuk Indonesia”, acara itu mencoba mencari jawaban: apa yang bisa disumbangkan Banten untuk negeri ini?
Tapi sebelum bicara tentang sumbangsih, kita harus jujur mengakui realitas: apakah kita, anak muda Banten, memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang seperti anak muda di daerah lain?
Saya katakan: tidak.
Coba lihat teman-teman kita di Bandung, Yogyakarta, Jakarta, atau kota-kota besar lainnya. Mereka punya ruang-ruang kreatif untuk berkarya. Di Bandung, ada Bandung Creative Hub, Gedung Kesenian Rumentang Siang, dan ruang-ruang publik kreatif lainnya. Di Yogyakarta, ada Taman Budaya Yogyakarta, Jogja National Museum, dan Creative Hub yang mendukung tumbuhnya seni dan budaya lokal.

Jakarta? Pusatnya ada di mana-mana. Ada Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, Jakarta Creative Hub, sampai kawasan Blok M yang kini berkembang jadi ruang ekspresi budaya pop anak muda. Semua itu didukung pemerintah, menjadi tempat bertemunya ide, kolaborasi, dan kemajuan.
Sedangkan Banten?
Sampai hari ini, tidak pernah memiliki gedung kesenian yang layak. Tidak ada creative hub. Tidak ada studio lukis publik. Museum? Bisa dihitung dengan jari. Ruang ekspresi untuk anak muda sangat minim sekali di sini.
Padahal, kritik dan permintaan soal ini sudah ada sejak dulu. Di Majalah Lingkaran yang terbit tahun 1992–1993, Gol A Gong dan Toto ST Radik sudah menulis soal pentingnya membangun gedung kesenian di Banten. Tapi hari ini, lebih dari 30 tahun setelahnya, tidak banyak yang berubah.
Saat ini, saya tinggal di Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten. Tapi kalau saya ingin mencari tempat refreshing yang edukatif—yang bisa menstimulasi pikiran dan jiwa—saya bingung harus ke mana.
Tidak ada ruang kreatif yang benar-benar hidup. Tidak ada tempat bagi anak-anak muda untuk berekspresi dan berkembang dengan cara yang sehat dan progresif.
Anak muda di Banten dipaksa bertahan di tengah minimnya fasilitas dan kesempatan. Padahal, pemerintah punya kewenangan dan anggaran—uang rakyat yang mereka kelola melalui APBD.
Saya tegaskan lagi: tempat kita lahir dan tinggal sangat menentukan peluang kita untuk sukses.
Gol A Gong pernah menyebut konsep civic center—wilayah yang menyediakan akses terhadap informasi, pendidikan, dan ekonomi. Tempat di mana ekosistemnya mendorong tumbuhnya individu dan komunitas yang sehat.
Lalu bagaimana dengan Banten?
Tidak ada civic center yang serius. Tidak ada kebijakan yang fokus membangun ekosistem anak muda. Tidak ada ruang publik yang sungguh-sungguh mendorong kreativitas, inovasi, dan kemajuan.
Dan di tengah semua itu, saya bersyukur bisa mengenal dan berkembang di Rumah Dunia.
Rumah Dunia bukan sekadar komunitas. Bukan sekadar tempat diskusi. Rumah Dunia adalah bentuk nyata perlawanan.

Sebuah kritik diam-diam terhadap ketidakpedulian pemerintah dalam membangun ruang-ruang kreatif. Rumah Dunia adalah civic center alternatif. Ia menjadi pusat gempa yang mengguncang kebodohan, membangkitkan kesadaran, dan menghidupkan mimpi-mimpi yang hampir mati.
Bayangkan: Rumah Dunia sudah berdiri lebih dari 20 tahun. Tetap eksis. Tetap berkembang. Tetap berdampak.

Rumah Dunia tidak dibangun dari APBD, tapi dari infak, sedekah, dan honor yang dikumpulkan dengan cinta dan keikhlasan.
Rumah Dunia punya auditorium. Tempat ratusan pementasan digelar. Tempat diskusi besar dilakukan. Tempat gagasan-gagasan bermunculan. Tempat di mana banyak orang merasa hidup dan layak untuk bermimpi.
Sedangkan pemerintah Banten?
Dengan APBD sebesar itu (APBD 2025, 11 Triliun lebih)—uang rakyat sebanyak itu—tidak mampu, atau lebih tepatnya tidak mau membangun satu saja ruang anak muda untuk berkembang.
Saya pikir, masalah kita bukan ketidakmampuan. Masalah kita adalah ketidakpedulian.
Saya hanya bisa berharap—dengan segala pesimisme yang sudah terlalu dalam—semoga di era kepemimpinan baru ini, Andra Soni dan Dimyati bisa membawa Banten bergerak ke arah yang lebih baik.
Satu atau dua langkah kecil pun tidak apa-apa. Asal benar-benar melangkah.
Mengejar ketertinggalan yang sudah terlalu jauh… dan terlalu memalukan.




Sabtu, 31 Mei 2025, saya ada urusan mengantar seorang teman ke daerah Kota Baru, Karawang. Sejak pukul 9 pagi, kami lama menunggu di Alun-aAun Kecamatan.
Pagi itu alun-alun ramai oleh orang-orang yang olahraga, berjualan, Lapangnya seukuran lapang sepakbola, sekelilingnya arena joging track, pendopo istirahat, sekelilingnya lagi tempat duduk untuk menonton sevara terbuka sepakbola, sebelah Utara kantor kecamatan, gedung olahraga, masjid, di sebelah selatan kantor polsek, puskesmas. Itu di setingkat kecamatan.
Saat itu juga saya teringat, sewaktu kecil saya tinggal di Binong Jati, Kota Bandung, balai RW itu seperti alun-alun desa, tempat orang jalan-jalan pagi atau sore, ada gedung pentas remaja, pos yandu.
Di Banten? Ada KP3B dan Alun-alun Kota Serang, yang … ya gitu, deh.