Puisi ini diangkat dari kisah nyata yang terjadi di Cirebon pada Mei 2025, ketika seorang
siswa SMP menjadi korban bullying oleh teman-temannya sendiri. Video kekerasan
terhadapnya tersebar luas dan menimbulkan keprihatinan publik. Peristiwa ini menyadarkan
kita bahwa sekolah, yang seharusnya menjadi ruang aman, bisa berubah menjadi medan
luka. Banyak anak menanggung diam yang panjang, berharap ada yang datang bukan hanya
menegur—tapi juga menyelamatkan. (Rujukan: RCTI+ – Viral Siswa SMP di Cirebon Dibully
Teman-temannya, Tak Mampu Melawan – 29 Mei 2025)

oOo
Pukul tujuh lewat lima,
dan lorong sempit itu sudah dipenuhi amarah.
Satu kelompok mendorong tubuh tanpa belas,
menertawakan tas yang terjatuh,
seolah itu adalah hiburan di pagi buta.
“Diam, badan lemah!”
kata mereka, menjatuhkan deretan hina.
Tidak ada peluit guru, tidak ada suara protes—
hanya denting sepatu di lantai
dan deru napas yang tertahan.
Ia berdiri terpaku,
meraba pinggang yang memar tak terlihat.
Ia menahan gemetar, bukan karena takut—
tapi karena tahu, jika ia berbicara,
hidupnya akan lebih hancur.
Ia bukan anak yang bodoh,
hanya terlalu sering dibilang bego.
Bukan pemalu,
hanya terlalu sering didorong hingga malu.
Sepatu bututnya tak seputih teman sebangku,
tasnya robek di sudut kiri,
dan buku catatannya penuh gambar api dan jurang.
Gurunya mengira ia tak serius belajar,
padahal ia sedang menggambar tempat ia ingin hilang.
Sebuah ponsel menyorot wajahnya.
Tawa mereka meledak,
saling berlomba menyebar momen jatuhnya orang lain
seolah itu bukan manusia,
melainkan tontonan tanpa hati.
Anak itu tidak menangis.
Tangisnya telah habis di rumah,
tempat ibunya menyapu lantai dengan ragu,
dan ayahnya menghilang dalam sunyi yang tak selesai dijelaskan.
Korban, kata berita.
Namun tak ada satu pun yang menyebut
bahwa ia adalah anak yang pernah suka menggambar langit biru
dan bercita-cita jadi penjaga hutan.

Yang tertulis hanya:
“Remaja laki-laki dibully hingga trauma.”
Tidak disebut bagaimana
bekas kata-kata teman-temannya menggores lebih dalam dari tinju.
Tak disebut pula bahwa setiap hari ia berlatih melupakan:
melupakan siapa dirinya,
dan mengapa ia pantas ada.
Ibunya menangis di hadapan kamera,
dikelilingi suara yang bertanya tanpa empati:
“Apakah ibu tahu anak ibu sering dibully?”
“Kenapa tidak melapor?”
Tapi bagaimana mungkin seorang ibu yang bekerja dari pagi ke malam
demi menyambung hidup,
mengenali diam anaknya yang tiap malam menutup pintu kamar lebih awal?
Ia ingin bicara.
Tapi siapa yang mendengar suara
yang dibungkam sejak dini oleh lelucon kasar?
Siapa yang mau mendengar
suara yang kalah oleh sorak tawa keroyokan?
Di sekolah, mereka berkata itu hanya bercanda.
“Dia terlalu baper.”
“Kan cuma main-main.”
Padahal, luka tak pernah tahu mana main dan mana sungguhan.
Luka hanya tahu tumbuh—
dan anak-anak belajar menyimpan luka dalam diam.
Kini ia duduk di kursi konseling,
tak lagi melihat mata siapa pun.
Ia telah belajar bahwa
diam kadang adalah satu-satunya perlindungan
dari dunia yang suka membuat lelucon dari penderitaan.
Kita terlalu sering telat.
Terlalu sering membela yang kuat karena suara mereka lebih nyaring.
Terlalu sering menyalahkan korban karena mereka tidak melawan.
Terlalu sering menonton—
dan tidak pernah hadir untuk menghentikan.
Hari ini kita membaca berita,
besok kita lupa.
Tapi anak itu,
masih tumbuh dalam ketakutan
yang tidak pernah benar-benar pergi.
Dan kita,
masih belajar menjadi manusia.
Ia pulang dalam hening—
oOo

Catatan kaki:
https://www.rctiplus.com/news/detail/terkini/4767392/viral-siswa-smp-di-cirebon-dibully-
teman-temannya-tak-mampu-melawan
https://www.detik.com/jabar/cirebon-raya/d-7941760/perundungan-siswi-smp-di-cirebon-
berujung-pemindahan-sekolah
https://www.inews.id/news/nasional/viral-siswa-smp-di-cirebon-dibully-teman-kelas-siswa-
lain-hanya-menonton
https://news.okezone.com/read/2025/05/29/525/3143053/viral-siswa-smp-di-cirebon-
dibully-temantemannya-tak-mampu-melawan


Tentang Penulis:
Chika Variza Hikmah adalah penulis yang aktif menulis artikel blog dan esai reflektif di
beberapa platform digital, termasuk Medium. Ia percaya bahwa menulis adalah cara untuk
merawat ingatan dan menyuarakan hal-hal yang kerap terabaikan, terutama isu-isu sosial
dan kemanusiaan yang dekat dengan kehidupan remaja dan pendidikan.
Selain menulis, Chika juga terlibat dalam kegiatan edukatif dan sosial. Ia kerap membagikan
konten literasi dan pendidikan di media sosial serta mengikuti diskusi daring yang
membahas topik-topik psikologi, anak, dan literasi digital. Kesehariannya diwarnai dengan
membaca, mengamati sekitar, dan mencatat hal-hal kecil yang sering luput namun
bermakna.


PUISI ESAI GEN Z: Puisi Esai Gen Baru ini puisi esai mini 500 kata khusus untuk Gen Z dan Gen Alpha. Disarankan tema-temanya yang relate seperti bully, mental health, patah hati, broken home, sex bebas, dan narkoba. Bagaimana kalau lingkungan, politik, atau kritik sosial ke penguasa? Boleh saja asalkan ada fakta dan sertakan link beritanya. Tuliskan 500 kata. Sertakan bionarasi maksimal 5 kalimat, 2 foto penulis dan 2 ilustrasi AI yang mendukung puisi esainya. Kirimkan ke golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: Puisi Esai Gen Baru. Ada honorarium Rp 300 ribu dari Denny JA Foundation bagi yang puisi esainya tayang. Jangan lupa sertakan nomor rekening bank. Jika ingin membaca Puisi Esai Gen Z yang sudah tayang klik gambar di bawah ini:


