Puisi Minggu: Mereka yang Tak Pernah Diizinkan Kembali Karya Apriansyah Sang Puisi

Dalam sejarah kita yang berulang membungkam, suara-suara kerap menghilang bahkan sebelum sempat tumbuh menjadi teriakan. Puisi ini lahir dari ruang kosong itu: dari nama-nama yang dihapus, dari jejak-jejak yang dirapikan oleh negara, dari tubuh-tubuh yang tidak pernah ditemukan tetapi selalu terasa hadir.

“Mereka yang Tak Pernah Diizinkan Kembali” adalah semacam ziarah sunyi ke lorong-lorong Jakarta yang pernah jadi saksi lenyapnya para aktivis. Saya tidak hendak membuat museum kata, atau menulis ulang kronologi yang sudah banyak ditulis. Justru sebaliknya: saya ingin menjelajahi yang tak bisa dicatat—kekosongan, keheningan, ketidakpastian yang mengendap di antara retakan trotoar dan kalender pemilu.

Saya percaya bahwa dalam puisi, hilang bukan berarti lenyap. Ia menjadi gema. Dan dalam gema, suara-suara itu akan terus menemukan jalannya pulang.

Apriansyah Sang Puisi

Apriansyah Sang Puisi
Dalam Ruang yang Pernah Bersuara
(Kepada Wiji Thukul)

Seseorang berkata:
ia berjalan ke arah pasar pagi
dengan jas hujan yang terlalu besar.
Tak ada yang mengenalnya.
Dan mungkin memang begitu caranya ia ingin diingat.

Suatu kali aku melihat selembar puisi
ditinggalkan begitu saja
di sela etalase toko sepatu
yang memutar lagu-lagu lama
dari zaman di mana
orang bisa hilang hanya karena ingin berbicara.

Ada kata-kata yang tertinggal
di saku belakang sejarah.
Terlipat, terlupa, tapi tidak pernah benar-benar padam.
Malam pun datang seperti biasa,
membawa suara-suara
yang terlalu kecil untuk didengar
tapi terlalu keras untuk dilupakan.

Barangkali kau ada di antara suara itu.
Atau mungkin hanya angin,
yang tahu cara membisikkan kehilangan
dengan tenang.

Kita pernah punya nama untuk orang-orang seperti itu—
yang menulis dengan dada
dan hilang tanpa tanda.
Tapi kemudian hari-hari datang
dan menyapu jejaknya
dengan berita, iklan, perayaan,
dan pengabaian yang rapi.

Aku ingin menanyakan sesuatu.
Tapi pertanyaan pun kini seperti jalan kecil
yang diaspal tanpa arah.
Kau tahu maksudku.

Maka biarkan saja ini jadi catatan
di selembar malam:
jika suatu hari,
kau kembali dengan wajah berbeda
dan nama yang sudah tak kau kenal,
kami akan diam.
Dan itu pun
sejenis penghormatan.

Mei 2025

oOo

Apriansyah Sang Puisi
Jam Tangan di Hari Ketiga
(untuk Marsinah)

Pada hari ketiga,
seorang perempuan ditemukan diam
di antara daun jati yang gugur lebih awal.
Jam tangannya masih bekerja,
seolah waktu lebih setia padanya
daripada negara.

Tak ada yang tahu
apa yang ia pikirkan
saat pukul dua lewat tujuh
dan sepatu-sepatu tak dikenal
masuk tanpa mengetuk.
Barangkali ia masih mengingat
angka-angka dalam slip gaji,
dan kalimat-kalimat
yang terlalu rapi untuk disangkal.

Di bawah langit Ngawi yang tipis,
seseorang mencatat:
perempuan itu pernah menulis surat.
Bukan puisi.
Bukan esai.
Hanya kalimat yang meminta
agar manusia diingat sebagai manusia.

Lalu musim pun berganti
tanpa permisi.
Dan pabrik-pabrik tetap berdiri,
menelan waktu para buruh
yang sudah kehilangan tanggal.

Orang-orang kini menatap ke depan,
seperti disuruh.
Dan ia menjadi nama
yang hanya disebut dalam hari-hari tertentu.
Selebihnya: sunyi
yang dibungkus dalam seminar,
dalam prasasti
yang dibaca pelan
oleh pejabat yang tak mengenalnya.

Tapi malam tak begitu mudah.
Ia menyimpan nama itu
seperti seseorang menyimpan luka
yang tak sempat ditangisi.
Dan di antara suara mesin
yang masih meraung tiap subuh,
ada detik-detik kecil
yang tetap bergerak—
jam tangan Marsinah
yang tak pernah berhenti.

Mei 2025

oOo

Apriansyah Sang Puisi
Kapan pesawatmu mendarat?
; Kepada Munir

Tak ada suara malam itu
selain suara kabin yang menua.
Ia duduk.
Dengan tenang. Dengan waktu yang tak ia miliki lagi.
Jauh di bawah sana,
lampu-lampu kota seperti doa yang ditolak pelan.
Ia memejam,
atau mungkin hanya berpaling
dari nama-nama yang ia hafal
tapi tak sempat sebutkan.

Tak ada yang mencatat
kapan air mulai terasa pahit
atau kapan udara tak lagi cukup
untuk menyebut satu kata pun.

Di kota yang menunggu,
seorang istri menanak air
dan menunggu ponsel berdering
dengan kabar kedatangan.

Ia tak tahu
bahwa beberapa kepulangan
tak pernah tiba,
kecuali dalam gugatan yang ditidurkan
dengan kesepakatan.

Pagi itu koran datang
seperti biasa:
dilipat, dilempar ke teras,
menyebutkan “penumpang” dan “diduga”,
tapi tak satu pun menyebutkan
bahwa keadilan telah duduk
di kursi belakang,
dan tak seorang pun bangkit
untuk memberinya tempat.

Burung-burung pagi
hinggap di pagar
tanpa tahu
apa arti kehilangan yang tak boleh disebut.

Dan di halaman ketiga,
seseorang membuat pesawat kertas
dari berita itu—
ia melemparnya ke udara.

Lihatlah.
Ia melayang.
Tapi tak ada yang tahu
ke mana ia jatuh

“Tuhan,
apakah ini suara-Mu
atau hanya desing mesin yang perlahan hilang di langit?

Mei 2025

oOo

Apriansyah Sang Puisi
Kepada ia Yang dibungkam pada 9 Oktober 1998

Di atas meja, segelas air.
Tak disentuh. Tapi surut.
Jam berdetak ke arah yang tak dicatat kalender.

Tak ada bunyi pintu.
Tak ada teriakan.
Hanya suara paku
yang menancap di dinding
tanpa bingkai.

Seorang gadis pernah duduk di kursi itu,
menyulam suara
dari benang-benang yang tak dijual di toko.
Ia hampir selesai.
Hampir menyebut nama.

Lalu malam menjadi sangat terang.
Cahaya menyilaukan halaman koran,
tapi tidak membakar berita.
Kamar tetap bersih.
Terlalu bersih
untuk sebuah keberanian yang sempat datang telanjang.

Tak ditemukan luka.
Hanya bayang
yang enggan dipanggil pulang.

Dan tubuhnya,
konon, tidur dengan posisi berdoa.
Tapi siapa yang percaya
doa bisa melindungi
mereka yang hendak bicara?

2025

oOo

Apriansyah Sang Puisi
Jalan-Jalan Tak Bertanda di Jakarta

(Tahun 1998: lampu-lampu malam tidak pernah jujur)

Langit malam di atas Salemba
terasa seperti kertas karbon
yang menyimpan fotokopi jeritan
yang tak sempat dibukukan.

Di sana,
sebuah mobil tanpa pelat
berhenti tanpa suara.
Seseorang dimasukkan
seperti data yang tak boleh diketahui.

Dan jalanan tetap terang.
Lampu-lampu kota tidak pernah padam.
Tapi cahaya mereka
tak pernah menerangi
apa yang benar-benar terjadi.

Di rumah susun belakang Cikini,
seorang ibu menyalakan radio
dengan suara pelan,
sebab anaknya belum pulang
sejak tiga malam lalu.

Ia dengar ada pemilu sebentar lagi.
Baliho baru sudah digantung,
dengan senyum yang terlalu banyak gigi
dan janji yang tak cukup kata kerja.

Tapi ia tak peduli.
Ia hanya ingin tahu,
apakah “hilang” bisa dipetakan
di antara dua halte,
atau di koran halaman dalam
yang tidak boleh digunting.

Di utara Senen,
seorang penjaga malam
melihat seorang pemuda
dipukul tepat di bawah lampu jalan.
Bukan karena ia salah,
tapi karena ia bertanya
hal yang tidak boleh dikutip.

Dan malam itu,
angin membawa selebaran
yang tak sempat dibaca
karena sudah dibersihkan
oleh tukang sapu berseragam hijau
yang tak pernah ditanya nama.

Suara—
itulah barang yang paling berharga saat itu.
Tapi juga barang yang paling cepat diambil.

Mereka yang bersuara
tak sempat berbisik.
Mereka yang berbisik
tak sempat diberi nama.
Dan mereka yang diberi nama,
nama mereka tidak disebutkan lagi
kecuali dalam daftar hilang
yang dicetak tanpa tanggal pasti.

Di Jakarta,
orang-orang belajar tidur
tanpa mimpi.
Karena mimpi bisa dipenjara,
bisa diseret keluar
di tengah malam,
dan tak pulang-pulang
bahkan setelah rezim pun berganti.

Dan kota itu terus berjalan,
seperti bis Kopaja
yang mengangkut mereka yang tahu,
tapi tak bisa berkata.

Di belakang terminal Blok M,
seorang pemuda mencatat di buku kecil:
satu nama,
satu tanggal,
satu tempat ia terakhir terlihat.

Dan sebelum ia menulis halaman berikutnya,
buku itu pun ikut hilang.

2025

oOo

Apriansyah Sang Puisi
Mereka yang Tak Pernah Diizinkan Kembali

(dari satu kota yang tahu ke mana mayat dibuang, tapi pura-pura tak tahu jalan ke sana)

Malam itu,
Jakarta seperti baru dicuci oleh air hitam.
Trotoar tak menampung kaki siapa-siapa,
dan lampu-lampu menyala
dengan terang yang mencurigakan.

Di seberang pos ronda yang tidur,
mobil putih berhenti.
Seseorang dibawa masuk
dengan kepala ditundukkan
bukan karena malu,
tapi karena dipukul.

Tapi tidak ada suara.
Tidak ada jerit.
Karena Jakarta, pada waktu itu,
adalah kota yang alih-alih mendengar,
lebih memilih tidur dengan televisi menyala.

Yang diculik tak lagi disebut sebagai nama.
Ia diganti jadi kode.
Lalu jadi nomor.
Lalu jadi ingatan
yang dilarang hadir dalam buku sejarah.

Wiji, katanya, diseret
seperti larik puisi
yang terlalu berani masuk ke baris pertama.
Dan belum sempat selesai,
sudah disobek dari lembaran.

Petrus tak sempat menjelaskan
mengapa ia masih muda
tapi dijadikan contoh
bagaimana negara memahat takut
dari tubuh anak-anak yang menolak dibungkam.

Herman, Bimo, Suyat, Yani—
semua nama itu pernah hadir
di ujung poster yang dikejar intel
dan dalam rapat diam
di kamar kos tanpa jendela.

Mereka bukan hilang.
Mereka dihapus.
Karena negara ini tidak suka kehilangan,
tapi gemar menghilangkan.

Jakarta tetap berjalan.
Kereta tetap lewat.
Iklan sabun tetap berkedip
di layar besar di Sudirman.

Dan satu per satu orang yang bertanya
ikut menghilang.
Bukan karena tak tahu caranya pulang,
tapi karena pulang
tidak lagi disediakan untuk mereka
yang terlalu banyak ingat.

Lalu pemilu datang.
Dengan janji.
Dengan brosur.
Dengan selebaran yang berserakan
di tempat yang sama
di mana sepatu para aktivis
pernah ditemukan,
tanpa tubuhnya.

Dan semua orang diminta memilih—
tapi tidak diberi tahu
ke mana suara akan pergi
setelah dimasukkan ke kotak.

Kota ini punya bangunan tinggi,
tapi ingatannya pendek.
Ia bisa mengenang kembang api tahun baru,
tapi melupakan siapa yang diseret
di bulan Mei 1998,
dan siapa yang tak kembali setelah April.

Kini,
jika kau berjalan malam-malam
di belakang Monas,
kadang terdengar suara langkah
yang tak punya bayangan.

Itu mereka.
Yang masih mencari
tulang-tulangnya sendiri
di antara aspal,
arsip rahasia,
dan doa yang tak pernah diijinkan selesai.

2025

oOo

TENTANG PENULIS: Apriansyah Sang Puisi adalah nama pena dari Apriansyah,S.Pd penulis kelahiran kota pagar alam 24 november ini adalah guru matematika di MTS GUPPI Pagar Alam dan juga anggota rumah sastra pagar Alam, penulis dapat di hubungi di FB/IG Apriansyah Sang Puisi.

PUISI MINGGU terbit setiap hari Minggu. Silakan mengirimkan 5 puisi tematik. Sertakan foto diri dan gambar atau foto ilustrasi untuk mempercantik puisi-puisinya. Tulis bio narasi dan pengantar singkat. Kirimkan ke email : gongtravelling@gmail.com. Ada uang pengganti pulsa Rp 300.000,- dari Denny JA Foundation. Sertakan nomor WA dan nomor rekening banknya. Jika ingin melihat puisi-puisinya yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://www.instagram.com/golagongkreatif?igsh=MXVlZDR5ODlwd3NsdQ==