Fajar muncun perlahan di langit timur Kampung Cibulan. Kabut tipis masih menempel di pucuk-pucuk padi, ayam-ayam berkokok, dan suara azan subuh dari mushola Al-Firdaus masih mengambang di langit. Jalan kampung yang mash tanah basah dari sisa hujan semalam.
Di ujung jalan itu, dua warung berdiri saling berhadapan. Warung Bu Sobriah riuh, seperti pasar kecil yang tak pernah tidur. Senyum tuannya membuat orang kembali, timbangannya pas, takarannya jujur. Sementara warung Pak Mukmin sunyi. Rak kayunya berdebu, hanya cicak yang setia menunggu. Begitu terus setiap hari sehingga memunculkan kecurigaan di benak Pak Mukmin.
“Pasti melihara tuyul!” kata Pak Mukmin kepada istrnya.
“inta tlong sama Ki Jalak saja, Pak!” Bu Mukmin mengusulkan.
Akhirnya pukul lima pagi, Pak Mukmin keluar rumah dengan kantong plastik kecil berisi garam dan ember mungil berisi pasir. Wajahnya muram, langkahnya ragu. Dia mengikuti perintah Ki Jalak jika ingin warungnya yang ramai.
Hati-hati Pak Mukmin berjalan. Ia meneliti situasi. Masih sepi. Ia menganggap semua orang kampung masih salat subuh di masjid Al Firdaus. Ia berhenti di depan warung Bu Sobriah. Tangannya menaburkan garam ke tanah, lalu melafalkan doa-doa pendek yang hanya ia dan Tuhan tahu artinya. Setelah itu, ia menutup garam itu dengan pasir, seolah ingin menyembunyikan rasa iri di balik debu.
“Bismillah… semoga ramai warungku, sepi warungnya,” bisiknya pelan.
Namun, doa itu patah oleh suara keras dari balik pintu. “Pak Mukmin! Lagi ngapain di sini?” Harun, suami Bu Sobriah, sudah mengenakan jaket ojek online, helm di tangan, muncul dengan mataa menyalakan api. “Tadi itu apa? Mau nyantet saya, ya!”
Pak Mukmin gagap. “Cuma buang pasir, jalanan licin.”
Harun melangkah maju. “Jangan pura-pura. Saya lihat jelas. Bapak mau apakan warung istri saya?”
Udara kampung mendadak pekat, seakan kabut ikut menahan napas.
“Warung istri saya laris karena kejujuran. Timbangannya pas, harga wajar, senyum ikhlas,” kata Harun, menahan gemetar di suaranya. “Jangan mikir saya dan isteri mara tuyul atau jin, ya!”
Pak Mukmin mendesis. “Kamu pikir saya iri? Ya, orang-orang sekarang cuma lihat senyum istrimu, bukan harga. Mereka gampang ditipu manis wajah istrimu.”
“Kalau begitu, Bu Mukmin suruh belajar tersenyum sama istri saya! Jangan bisanya nipu timbangan!”
“Heh!” Pak Mukmin maju, mendorong dada Harun. “Kamu sok suci!”
Tanpa pikir panjang, Harun melepaskan bogem mentah. Usianya terpaut 10 tahun lebih muda dari Pak Mukmin sehingga tubuh Pak Mukmin terpelanting, kepalanya menghantam batu kali di tepi jalan. Suara itu seperti kaca pecah di telinga warga yang mulai berdatangan. Keala Pak Mukmin berlumuran darah.
“Pak Mukmin!” teriak seorang tetangga.
Orang tu berumur 55 itu tergeletak. Jalanan kampung basah oleh darah kental. Napasnya tersengal, lalu berhenti. Tak ada lagi naps.
Harun mundur beberapa langkah, wajah pucat, tangannya gemetar. Helm di genggamannya jatuh, berguling di tanah. “Astaghfirullah… saya tidak bermaksud…” Ada nada penyesalan.
Ada mobil bak terbuka yang mengangkut sayuran ke kota. Harun menyetop. Beberapa warga menggotong tubuh Pak Mukmin, yang digeletakkan di atas beberapa karung beras. Harun meletakkan kepala Pak Mukmin di kedua pahanya. Darah masih mengalir dan membasahi celananya.
Sekitar 15 menit, mobil bak terbuka berhenti di Puskesmas. Dengan cekatan. Harus dan beberapa orang kampung menggotong Pak Mukmin ke ruang UGD. Tap hanya ada 1 perawat dan belum ada dokter.
“Jam tujuh dokter datang. Sekarang mah setengah tujuh,” perawat memeriksa Pak Mukmin. Perawat itu menggeleng. “Kepalanya terbentur keras. Sudah tidak bisa ditolong.”
Harun menunduk. Semua warga menatapnya.
oOo
Kabar kematian Pak Mukmin beredar cepat dari mulut ke mulut, seperti api menjilat ilalang kering. Rumah duka penuh. Tahlil bergema, tapi di sela doa, amarah mengendap. Hendra, anak sulung Mukmin, berdiri dengan wajah merah. “Bapak saya mati karena ulah Harun. Tidak bisa damai. Hukum harus bicara.”
Kiya, tetua kampung, mencoba mendekat. “Nak, ini musibah. Api jangan dibalas api. Mari kita cari jalan damai.”
Tapi istri Mukmin menangis keras. “Tidak ada damai! Suamiku mati sia-sia.”
Di sudut ruangan, Harun duduk terpaku. Sobriah menggenggam tangannya erat, tapi air matanya jatuh juga, menodai kerudungnya.
Semuanya diselesaikan di ruang sidang. Pak Hakim membacakan putusan. Palu kayu diketuk, suaranya seperti lonceng kematian. Warga kampung Cibulan mendengarkan dan terbelah dua – ke Pak Mukmin dan Harun.
“Setelah mempertimbangkan saksi dan bukti, terdakwa Harun terbukti melakukan kelalaian yang menyebabkan kematian. Karena terdakwa menyesali perbuatannya dan tidak ada unsur kesengajaan, maka dijatuhkan hukuman penjara selama satu tahun.”
Harun menunduk, menangis dalam diam. Sobriah menutup wajah dengan kerudung, pundaknya bergetar. Bu Sobriah menjerit histeris tidak mau menerima keputusan Pak Hakim. Bagi keluarga besar Pak Mukmin, hukuman itu tidak adil.
Sejak itu, kampung Cibulan seperti tertutup awan hitam. Mendung sepanjang waktu. Warung Bu Sobriah tetap buka, tapi tak seramai dulu. Ada pembeli yang datang diam-diam, ada yang memilih menjauh. Sedangkan warung Pak Mukmin ditutup. Papan kayunya rapuh, catnya terkelupas. Angin malam hanya membawa debu, bukan lagi rezeki.
oOo
Setahun pun berlalu. Harun menghirup udara bebas. Setiap setelah subuh, Harun berdiri di depan warungnya. Dia menatap tanah di depan warung, tempat garam pernah ditabur Pak Mukmin, sekarang tumbuh rumput liar. Hujan menyapu sisa pasir, tapi tidak ada hujan yang mampu menghapus rasa penyesalannya. Begitu juga Bu Sobriah, dendamnya tidak pernah padam kepada Harun.
Suatu sore, Kiya berdiri di jalan kampung, menatap kedua warung yang sama-sama kehilangan cahaya. Beberapa pemuda duduk di pos ronda, membicarakan nasib dua keluarga yang bertetangga, ibarat kaca pecah berkeping-keping.
Kiya menarik napas panjang, lalu berkata lirih, “Orang-orang sering lupa bahwa rezeki itu bukan soal siapa yang menabur garam atau siapa yang tersenyum paling manis. Rezeki itu titipan. Kalau kita memeliharanya dengan syukur, ia jadi berkah. Kalau kita merusaknya dengan iri dan amarah, ia berubah jadi musibah.”
Warga terdiam. Kata-kata Kiya menggantung di udara, seperti doa yang enggan turun ke tanah. Harun yang mendengarkan dari warungnya hanya bisa meneteskan air mata. Begitu juga istrinya.
Dan kampung pun kembali sunyi, menyimpan cerita pahit: tentang garam yang jadi racun, tangan yang jadi senjata, dan sebuah senyum yang akhirnya kehilangan makna.
*) Cianjur, Agustus 2025
oOo


CERPEN SABTU Cukup 1000 – 1500 kata. Teknik menulis baru diperbolehkan, kritik sosial, plot point, absurd, realis, surealis, boleh. SARA dan pornografi dilarang. Redaksi menyediakan honor Rp. 100 ribu. Terbit mingguan setiap hari Sabtu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri. Kirim ke email gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Sabtu. Jika ingin melihat cerpen-cerpen yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:



