Oleh Zaeni Boli
Entahlah bagaimana kelak kita akan terhubung. Beberapa orang masih nyaman dengan masa lalu, beberapa orang menunggu kesempatan di depan gawang lalu mencetak gol dan merayakannya dengan sukacita, dan saya memilih untuk terus berjalan meski satu dua orang yang pernah diajak akan memilih berhenti, tapi tidak melupakan.

Kata Bang Iyus Jayadibumi, pertemuan adalah kabar, dan semoga pertemuan kita adalah kabar baik, bukan sekadar keluh kesah atau berebut kue.


Dari menonton pertunjukan The Voice After Cak! sutradara Bli Wayan Suma, saya menyaksikan tubuh-tubuh aktor yang tak berhenti bergerak sepanjang pertunjukan. Sedikit-banyak kita harus angkat topi pada ketahanan tubuh mereka di atas panggung sampai akhir pementasan—sesuatu yang sudah jarang saya lihat.

Stamina yang luar biasa, dengan latar tubuh aktor yang berbeda-beda. Juga cerita-cerita yang mereka bawa; ini bukan sekadar memori tentang Bali semata, tapi pengalaman-pengalaman individu yang ternyata juga menjadi pengalaman bersama.

Indonesia sebenarnya tak sedang baik-baik saja. Meski pertunjukan ini tak membicarakan itu, ada kegelisahan-kegelisahan yang muncul juga tentang bagaimana akhirnya kelak bumi akan dirusak, dan tradisi serta narasi-narasi baik kian terpinggirkan.

Satu hal yang boleh menjadi potensi baik: masih banyak, khususnya di kalangan anak muda, yang mau menonton teater. Teater bukan sekadar ruang pertunjukan semata, tapi rumah bersama untuk kita boleh merenung dan berpikir tentang kehidupan, tentang alam, tentang apa saja yang mungkin belum mendapat tempat dari rasa adil.



