“Apa enaknya hidup seperti ini. Lebih baik kau kembali seperti dulu,” ucapnya. Namun ia masih memandang langit-langit, tak sekalipun melihat lawan bicaranya
***
Sisa-sisa mabuk semalam masih terasa di kepalanya. Membuat langkahnya gontai tidak menentu arah. Sinar matahari pagi nampaknya bukan datang sebagai penuntunya, melainkan sebagai sesuatu yang mengaburkan pandangannya. Matahari yang terbit hanya membuat matanya semakin tidak dapat melihat dengan jelas.
Ketika lelaki itu berjalan di gang sempit, ia berpapasan dengan seorang kakek yang sedang menuntun sepedanya dengan payah. Kaki rentannya yang gemetar menandakan ia tidak kuat berjalan lebih jauh lagi.

“Minggir!” bentaknya sambil menendang sepeda tersebut.
Sang kakek hanya terdiam dan menggelengkan kepala, berdecak heran terhadap anak muda itu. Sambil terus berjalan menuntun sepeda, si kakek menghilang ditelan persimpangan gang.
Lelaki gontai itu tetap melanjutkan perjalanannya. Masih dengan keadaan yang sama. Hanya saja langit kini tidak ingin menampilkan mataharinya. Ia sekarang diselimuti oleh awan hitam, kumpulan awan hitam tepatnya. Langit menjadi sangat teduh.
Setetes demi setetes air jatuh dari langit. Membasahi bumi dan makhluk-Nya yang kering fisik maupun jiwa. Semuanya menerimanya dengan pasrah air yang jatuh. Kecuali lelaki yang berlahan-lahan rasa mabuknya kian hilang. Ia sadar langit menyiraminya. Sehingga ia harus buru-buru berteduh.
Sebuah mushola kecil tanpa gerbang menjadi tempat teduhnya. Lelaki itu masuk dan duduk di pelataran musholla. Sambil merabahkan badan, ia menatap langit-langit musholla yang penuh dengan sarang laba-laba. Namun, hal itu tidak menarik baginya. Pandangannya pindah ke luar musholla. Ke langit yang hitam dan sedang menurunkan hujan. Ia sangat betah memandangnya. Memandang secara berlama-lama. Hingga membawanya ke dalam dunia mimpi tanpa disadari.
***
“Kalau besar Udin ingin seperti Pak Ustadz, mengajar ngaji ke teman-teman.”
“Boleh. Yang penting sekarang Udin harus rajin mengaji dahulu agar pandai.”
Petuah dari gurunya sangatlah ampuh. Setelah beberapa nasehat yang diberikan, nampaknya langsung masuk ke kuping kanan dan mengendap di otaknya. Udin semakin rajin mengaji. Jika waktu solat tiba, anak itu pergi ke langgar dan melantangkan suaranya; adzan dengan suara bocahnya yang cempreng.
Hari demi hari Udin semakin rajin beribadah. Tetangganya bahkan melabelinya sebagai calon ustadz. Untuk ukuran anak seusianya dan di kampung itu, Udinlah anak yang paling pintar ilmu agamanya. Selain lancar menghafalkan doa-doa pendek, Udin juga menghafalkan beberapa surat pendek di Al Quran.
“Anak ini pintar sekali. Kalau kamu jadi anak Ibu, Ibu sangat bangga sekali,” tukas seseorang perempuan paruh baya ketika berpapasan dengan Udin selekas mengaji.
Sore itu, seperti biasa. Sebelum Udin pergi ke mushola, ia tidak lupa berpamitan dengan ibunya. Meminta restu dan bersalaman. Karena ia sangat mencintai ibunya. Tidak ada orang tua yang paling baik kepadanya selain ibunya. Ayahnya? Ayahnya sudah meninggal tatkala Udin masih berumur tiga tahun. Sudah lima tahun lebih meninggalkannya.
“Udin, seperti biasanya ya. Kalau kamu sudah selesai mengaji langsung pulang ya! Bantu Ibu membuat kue buat dijual besok,” ucap ibunya ketika ia hendak pamit.
“Iya Bu.”
Udin pergi dari rumah dengan niat mengaji. Langkahnya yang setengah berlari dan melompat mencerminkan bahwa ia sangat ceria serta ingin sekali mengaji. Ia memang berbeda dengan anak lain. Udin dengan suka hati mengaji disaat teman-temannya yang lain harus dipaksa untuk pergi mengaji.
“Wah kamu rajin sekali. Yang lain belum datang tapi kamu sudah berada di sini duluan,” puji ustadznya Udin.
Bocah tersebut hanya dapat tersenyum saat dirinya dipuji. Tidak ada apresiasi yang murah dan menyenangkan bagi si Udin kecuali sebuah pujian. Pujian tersebut juga memancing semangat Udin. Ia semakin aktif dalam kelas dan sering bertanya jika belum tahu.
“Semoga kamu diberi istiqomah dalam belajar ilmu ya Din,” ucap Ustadz.
“Amin Pak Ustadz,” Udin kembali menampakan senyumannya.
Usai mengaji Udin buru-buru pulang, menunaikan kewajibannya sebagai anak baik. Menepati janji membantu ibu. Langkahnya seperti tadi; agak berlari dan melompat. Tubuhnya kecil bak anak kancil jalannya. Musholla yang jaraknya hampir lima puluh meter, ditempuh tidak sampai tiga menit.
Pemandangan berbeda nampak ketika Udin hendak sampai ke rumah. Jalan yang biasanya sepi, kini ramai penuh dengan tetangganya. Wajah mereka nampak panik, ketakutan dan sedang kebingungan. Udin sempat ingin bertanya ke salah satu dari mereka, tapi mereka terlihat tak dapat diganggu. Sehingga Udin tetap melanjutkan perjalanannya.

Matanya menyala ketika melihat rumahnya dilahap api begitu besar. Sambil berjalan pelan, ia mendekati rumah yang terbakar itu. Salah satu dari tetangganya menahan Udin, menggendong Udin menjauhi rumahnya yang terbakar. Sedangkan tetangga Udin yang lain masih gotong royong memadamkan api.
“Dimana Ibuku? Aku mau membantunya memasak kue,” tanya Udin sambil menatap kobaran api yang mulai menciut. Orang yang ditanya tidak menjawab pertanyaan Udin. Entah karena tidak tahu atau karena takut membuat Udin bersedih. Ia diam namun tetap di samping Udin. Menjaga Udin kalau-kalau ia nekat dan menerjang kobaran api demi melihat ibunya.
“Ibu pasti masih di dalam rumah ya?” tanyanya lagi dan beberapa saat kemudian tumpah seluruh tangisannya. Orang yang menjaga Udin masih saja tidak menjawab dan diam di samping Udin.
***
Seruan adzan dhuhur membangunnya. Ia terduduk dan melihat hujan telah usai. Setelah duduk sebentar, ia berdiri. Lelaki itu hendak keluar mushola namun seorang mencegatnya. Jika diingat-ingat kembali. Seseorang tersebut adalah lelaki paruh baya yang telah ia tendang sepedanya.
“Kamu mau kemana Din? Ayo kita sholat dulu.”
“Tahu darimana kalau namaku Udin?” tanyanya keheranan. Namun lelaki paruh baya itu hanya tersenyum dan mencoba mengandeng Udin. Kulit tangannya yang penuh keriput, terasa betul menempel pada daging pemuda ini. Udin sempat menangkis dengan perlahan tangan tua itu. Tapi usahanya sia-sia. Lelaki tua tersebut tetap teguh mengajak Udin masuk kedalam masjid. Mau tidak mau, lelaki yang sudah lama tidak melakukan sembahyang ini, kini melakukan sembahyang lagi.
Wajahnya yang kusam dan gelap, seketika terang terkena air wudhu. Udin sempat tidak percaya kepada dirinya. Kenapa ia mau sholat kembali dan berada di mushola ini? Seharusnya ia harus pergi ke pasar meminta jatah keamanan kepada para pedagang. Namun ia malah melakukan yang tidak biasa ia lakukan yaitu melakukan sholat.

Usai sholat dan orang-orang yang berada di sekitar Udin merapalkan doa-doa, ia hanya duduk termenung. Satu per satu jamaah sholat dhuhur pergi dan keluar dari masjid. Yang tersisa hanya Udin dan lelaki paruh baya tadi.
“Kamu masih ingat tempat ini? Tempat dahulu kamu mengaji,” ucap lelaki tua setelah membalikkan badannya menghadap Udin.
Udin sempat berpikir. Mengingat-ingat kembali memori yang terkubur dalam. Ia mencoba menggali kembali ingatan yang penuh luka dan tertimbun kejamnya nasib dunia. Beberapa saat merenung, muncul pertanyaan dari benak Udin, “lalu apa hubungannya musholla ini, tempat ngaji aku dan kau si kakek tua?”
“Bukankah kau dulu ingin menjadi ustadz?” tanya balik lelaki paruh baya. Pertanyaan itulah yang membuat Udin kembali merenung. Dan ia menengadahkan kepala menatap langit-langit musholla yang penuh sarang laba-laba. (*)


TENTANG PENULIS: Bagus Sulistio, lahir di Banjarnegara, 16 Agustus 2000. Berdomisili di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Karangsuci, Purwokerto. Saat ini ia masih berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan mentor kepenulisan cerpen di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. Ia juga menjadi wakil ketua Forum Lingkar Pena (FLP) ranting Banjarnegara dan anggota di KPBJ. Karyanya pernah menjadi nominator sayembara esai Balai Bahasa Jawa Tengah, Juara 2 esai bahasa Arab FAC FEBI IAIN Purwokerto, Juara 2 Lomba Cerpen Nasional FAH UIN Jakarta, terdokumentasikan dalam beberapa antologi cerpen serta tersiar pada beberapa media seperti Suara Merdeka, Kompas Id, Islami.co, Minggu Pagi, Solopos, Banjarmasin Post, Harian Sultra dan masih banyak lagi.

CERPEN SABTU Cukup 1000 – 1500 kata. Teknik menulis baru diperbolehkan, kritik sosial, plot point, absurd, realis, surealis, boleh. SARA dan pornografi dilarang. Redaksi menyediakan honor Rp. 100 ribu. Terbit mingguan setiap hari Sabtu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Sabtu. Jika ingin melihat cerpen-cerpen yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:



