Oleh Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan terdapat 48 persen dari 212 juta pengguna internet aktif di Indonesia merupakan anak yang berusia di bawah 18 tahun. Dan menurut Menteri Komunikasi dan Digital, terdapat 9,17 persen anak usia di bawah 12 tahun merupakan pengguna internet (dikutip dari rri.co.id, 20/9/2025).
Hidup anak zaman sekarang jauh berbeda dengan zaman dahulu. Terlahir di era 2000-an membuat generasi sekarang lebih akrab dengan sentuhan elektronik di genggaman. Terlebih mereka kerap dikelilingi oleh orang dewasa yang selalu menggunakan gadget (gawai), sehingga besar kemungkinan akan membuat anak tertarik pada gawai.
Namun bagi saya, sebagai seorang ibu, tidaklah mudah sebenarnya untuk memberikan gawai pada anak. Ibaratnya dalam bahasa khas Medan, ngeri-ngeri sedap. Perlu kontemplasi untuk memutuskan kapan waktu yang tepat untuk memberikan gawai pada anak, khususnya telepon selular (ponsel).
Kegundahan itu muncul bukan tanpa alasan. Pertama, mengingat usia anak yang belum ideal untuk menggunakan ponsel. Soalnya, menurut penelitian beberapa ahli dan organisasi kesehatan menyebutkan bahwa usia 12-14 tahun merupakan usia ideal untuk mulai menggunakan ponsel, sedangkan usia anak saya masih di bawah range tersebut.
Hal ini tentu saja dapat diterima akal sehat, mengingat kesiapan anak di usia dini tersebut untuk menggunakan perangkat seluler secara efektif dan penuh tanggung jawab, termasuk merawat gawai mereka dengan baik, tentu masih dipertanyakan.
Maklum, mereka masih awam dan labil. Masih unyuk-unyuk gitu lah. Belum bisa membedakan mana yang benar-benar baik dan mana yang memang buruk. Sebuah studi di tujuh negara Eropa sangat relate dengan hal ini, dimana mereka menunjukkan bahwa anak-anak dengan kategori sejak lahir hingga delapan tahun memiliki persepsi terbatas atau tidak sama sekali tentang risiko online ketika menggunakan ponsel cerdas (smartphone) dan aplikasi media sosial (dikutip dari bbc.com, 15/10/2022).
Lantas apa konsekuensinya? Nah, mengingat minimnya pengetahuan anak terhadap risiko online tersebut, tentu bisa membuat mereka menelan mentah-mentah informasi yang salah dan bahkan tidak mendidik.
Apalagi didukung ketidakmampuan mereka mengenali dan mengelola emosi, bila terpapar smartphone secara masif, tentu akan semakin meningkatkan risiko stres. Wajarlah kiranya jika kita melihat generasi sekarang cenderung lebih kesepian, pemurung, mudah cemas, gugup, impulsif, serta agresif. Dari balik layar, mereka justru belajar di tengah zaman yang belum pernah mereka alami dan pahami.
Kedua, yang membuat saya cemas untuk membekali anak dengan gawai (smartphone) adalah efek dari kecanduan digital yang ditimbulkan. Begitu anak mulai menggunakannya, kemungkinan besar mereka akan bergantung padanya. Maka ketika bangun tidur di pagi hari dan hendak tidur lagi di malam hari yang dipikirkan mereka hanyalah gadget. Mungkin saja selama jam sekolah berlangsung, yang terbesit di benak mereka adalah, kapan bisa segera pulang ke rumah, supaya bisa langsung nyalakan hape dan mulai beraksi dengan game online-nya.
Ketagihan asupan instan ini lantas membuat malam mereka jadi lebih panjang, tidur jadi lebih dangkal, dan hari-hari terpotong oleh notifikasi yang tak henti. Dan yang tak kalah mengkhawatirkan, peran orang tua bisa tergantikan oleh gawai, karena anak terlalu fokus pada dunia virtualnya.
Ketika mereka ada masalah, gawai akan menjadi rujukan pertama mereka untuk berkeluh kesah. Dan ketika mereka butuh hiburan, gawai menjadi andalan sebagai teman keseharian. Sangat memilukan sekali, melihat mereka tumbuh dalam rumah yang sibuk dengan koneksi, tapi miskin koneksi antar keluarga.
Ketiga, kemudahan akses informasi instan melalui internet dan AI dapat mengurangi kemampuan berpikir kritis dan analitis anak. Mungkin banyak orang tua memberi gawai dengan harapan untuk membuat anak aman dan tenang. Benar juga sih, saat anak sibuk dengan gawainya, mereka bisa tampak anteng dan senang.
Tapi sayangnya mereka tumbuh tanpa proses, tanpa imajinasi dan tanpa kreativitas. Inilah yang disebut fenomena “brain rot”, dimana anak kehilangan kemampuan alami untuk berpikir jernih, fokus, dan membangun makna dari pengalaman karena dibanjiri segala hal berbau online dari gawai mereka.
Akibatnya otak anak berhenti bermain. Mereka tidak lagi penasaran, hanya pasif menyerap. Imajinasi yang dulu liar kini dibungkam oleh video-video pendek, karakter digital, dan tantangan TikTok. Jonathan Haidt menyebut ini sebagai pergeseran dari play-based childhood ke phone-based childhood. Dan di pergeseran yang tampak kecil itu, anak-anak kehilangan keberanian untuk gagal, kehilangan kemampuan untuk menghadapi risiko kecil, kehilangan cara alami untuk belajar tentang dirinya sendiri. Disaat orang tua ingin anaknya aman, nyaman, serta tenang dengan adanya gadget, namun di satu sisi hal itu yang membuat mereka menjadi rapuh.
Bukan hanya nilai sekolah atau kemampuan konsentrasi yang terdampak, tapi juga daya hidupnya. Rasa ingin tahunya. Kepekaan sosialnya. Ironis memang, disaat gawai bisa diandalkan untuk memberikan banyak hal pada anak, akan tetapi gawai tidak memberikan ketahanan mental anak untuk bertahan hidup.
Keempat, kecanduan dan ketergantungan anak pada gawai akan mengganggu proses pertumbuhannya. Mereka menjadi anak-anak yang malas menjalani aktivitas yang membutuhkan pergerakan fisik. Menurut mereka, lebih menyenangkan main Stumble Guys daripada harus berlari-larian dengan teman di bawah terik matahari.
Lebih seru game Among Us dibanding harus bermain petak umpet di pekarangan rumah. Lebih takut jatuh di tanah yang kotor dibanding menghadapi musuh perang virtual Free Fire.
Tanpa disadari, disaat anak harus berada di permainan nyata, dunia maya dengan semua cahaya dan kebisingannya perlahan menarik anak untuk mengurung diri dengan permainan imitasi.
Edukasi, Kolaborasi, Regulasi
Orang tua merupakan garda terdepan dalam membimbing anak di era digital yang berkembang pesat. Dunia maya bisa menjadi tempat belajar, tetapi dunia nyata tetap satu-satunya tempat untuk tumbuh. Oleh karena itu, pola asuh orang tua sebaiknya mengedepankan edukasi, kolaborasi, serta regulasi untuk menyelamatkan anak dari kecanduan gawai.
Edukasi dalam hal ini bukan hanya sekadar menemani dan melihat tetapi lebih menjadikan penggunaan gawai seperti pembelajaran. Anak perlu diberi pemahaman yang baik tentang cara menggunakan gawai secara bijak dan aman, termasuk memperhatikan kualitas konten yang dikonsumsi. Cara ini tentu akan mendorong anak untuk berpikir kritis tentang apa yang mereka lihat di layar gawai mereka.
Adanya kolaborasi aktif antara orang tua dan anak juga dapat mencegah anak dari kecanduan gawai. Sebab pola asuh yang sifatnya permisif, apa-apa boleh, tidak ada aturan yang jelas, atau sebaliknya pola asuh yang sifatnya otoriter, semuanya tidak boleh, harus dari orang tua, tidak ada komunikasi yang hangat, justru akan menjerumuskan anak. Karena itu, pola asuh yang hangat, mengedepankan empati dan komunikasi yang baik dapat mencegah anak dari kecanduan gawai.
Dan yang terakhir, penerapan regulasi atau aturan bermain gawai pada anak pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk membatasi kreativitas anak di ruang digital, tetapi menempatkan mereka di jalur yang aman, sebab teknologi sejatinya bukan musuh, tapi ia harus diatur.
Dengan memahami tantangan dan menerapkan pola asuh yang tepat, orang tua dapat membantu anak-anak tumbuh menjadi individu yang sehat, seimbang, dan bertanggung jawab di era gawai ini. Sebab sejatinya, teknologi yang semakin berkembang bukan hal yang harus ditakuti atau dihindari, namun bisa menjadi alat pembelajaran yang luar biasa.



