Puisi Perahu Kertas dan Nagasari yang Membius

Buku puisi “Perahu Kertas” (PN Balai Pustaka) karya Sapardi Djoko Damono ini termasuk klasik. Pertama kali diterbitkan tahun 1983. Kita semua tahu, buku ini dianugerahi Hadiah Sastra DKJ tahun 1983. Aku pernah sekali bertemu dengan Sapardi di acara Forum Lingkar Pena (tahunnya lupa). Aku berdebar-debar ketika duduk berdampingan. Puisi-puisinya tidak bisa sekali baca dan sangat membiusku.

Sapardi tidak akan pernah hilang dalam ingatanku walaupun sudah wafat pada 19 Juli 2020. Pernah suatu waktu, 1996, aku melamar Tias dengan menyanyikan sebuah lagu “Aku Ingin” dari puisi Sapardi yang dimusikalisasi oleh Reda dan Ari. Aku menyanyikannya lewat telepon umum dengan koin Rp. 100. Dan perempuan yang aku lamar itu, Tias Tatanka, kini jadi istriku. Puisi itu memang tidak ada di kumpulan puii “Perahu Kertas” tapi di “Hujan Bulan Juni” (1994).

Kembali ke buku puisi “Perahu Kertas”, yang harus aku baca berkali-kali. Sebagai seorang penulis puisi juga, secara moral, aku tidak ingin memasuki wilayah kritik. Tapi jujur, puisi ini membuatku terbius. Baca saja puisi yang dijadikan judul buku ini:

PERAHU KERTAS
Oleh : Sapardi Djoko Damono

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas
dan kau layarkan di tepi kali;
alirnya sangat tenang,
dan perahumu bergoyang menuju lautan.

Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad
yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung
yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;
di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.
“Tuan, jangan kau ganggu permainanku ini”.

1983

Betul-betul membiusku. Tapi saya mencoba interteks dengan puisi Zawawi Imron yang berjudul “Nagasari”:

NAGASARI
Oleh Zawawi Imron

Membuka kulit nagasari
isinya bukan pisang madu
tapi mayat anak gembala
yang berseruling setiap senja.

Membuang kulit nagasari
seorang nakhoda memungutnya
dan merobeknya jadi dua
separuh buat peta
separuh buat bendera kapalnya

*)1978 – Puisi ini terkumpul di “Bulan Tertusuk Ilalang” (PN Balai Pustaka)

Ketika membaca puisi “Nagasari” pertama kali hingga sekarang, saya terus membacanya dan menfasirkannya. Ini tentang negeri Indonesia, saya bisa merasakannya. Tapi apa? Hati saya bergetar, tapi tak mampu mengutarakannya. Setelah banyak puisi saya baca, bahkah “Aku” Chairil Anwar tidak membuat saya sebergetar ketika membaca puisi ini.

Bagiku kedua puisi ini membius, membuat hatiku bergetar. Terasa sekali kedua penyair menggunakan imajinasi yang kuat dan tema tentang cinta tanah air dengan diksi sederhana. Di kedua puisi ini aku temukan diksi yang sama, yaitu: laut, perahu, dan anak-anak.

Akibat dari 2 puisi Sapardi dan Zawawi itu, kemudian aku menulis puisi yang berjudul “Kertas Kopi”. Baca, ya:

Puisi Gol A Gong
KERTAS KOPI

Anak-anak petani kopi
melipat kertas kopi
berupa buntalan bola.

Menendang halaman kosong
tak bergaris tak bergawang
merusak panen kebun kopi.

Kertas kopi
teronggok di amis gudang
melipat tubuhnya sendiri.

Ketika kubuka
anak-anak petani kopi
tertidur di dalamnya.

*) Hayam Wuruk Hotel, Padang, 3 Juni 2013
*) Puisi ini terkumpul di buku puisi “Air Mata Kopi” (Gramedia, 2024) dan masuk 10 Besar Hari Puisi Indonesia 2024

Selebihnya, terserah Anda saja. Selamat berburu puisi, ya.

Gol A Gong

golagong

Duta Baca Indonesia 2021-2025 - Penulis 125 buku - Motivator Menulis - Pendiri Rumah Dunia

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://www.instagram.com/golagongkreatif?igsh=MXVlZDR5ODlwd3NsdQ==