Oleh Azzra Rahma
Pertanyaan “Gen Z sebenarnya bisa kerja nggak sih?” belakangan ini merebak di sosial media X. Cuitan singkat itu langsung diwarnai berbagai sudut pandang positif dan negatif terkait pengalaman mereka yang pernah bekerja sama dengan Gen Z. Katanya, Gen Z adalah generasi muda yang loyo karena nggak bisa disentil dikit, tapi di saat yang bersamaan ada juga yang memuji bahwa Gen Z adalah anak-anak muda inovatif dengan berbagai ide menarik di kepala mereka.
Eksistensi dan kontribusi Gen Z di dunia kerja memang selalu menjadi buah bibir pembicaraan rekan sejawat, terutama atasan dan rekan kerja dari generasi milenial dan para boomers. Basisnya pasti selalu sama: bagi para milenial dan boomers, Gen Z itu manja, ingin serba instan, semaunya sendiri, dan tidak punya attitude.

Bagi saya, penilaian ini terlalu menghakimi dan begitu subjektif. Kita tidak bisa mengambil kesimpulan dengan memukul rata satu generasi hanya karena perilaku satu atau dua orang karena hal ini jelas tidak fair.
Baik, mari kita urai satu per satu. Generasi Z memulai karir mereka di pertengahan pandemi. Goncangan ekonomi, gonjang-ganjing revisi UU Ciptaker (pada masa itu), hingga isu layoff besar-besaran telah mereka lewati sambil menyelesaikan pekerjaan secara work from home.

Nggak sedikit juga yang harus nyambi jadi ojol sambil nunggu panggilan interview karena terkena layoff atau sudah putus kontrak dengan perusahaan sebelumnya. Sebagian Gen Z sudah memasuki periode memburu lapangan pekerjaan alias jobseeker.
Semua Generasi Berhak Dapat Kesempatan Mengembangkan Minat dan Karir
Bicara soal kreativitas dan berpikir kritis, Gen Z jelas nggak akan kalah dari generasi-generasi sebelumnya. Jauh lebih unggul malah. Mereka berhak mengembangkan minat dan bakat di lingkup pekerjaan. Namun, akar permasalahan yang muncul adalah ketika timbul sentimen dari atasan ke pada bawahan Gen Z.

Gen Z dilabeli sebagai pekerja yang ini itu, sehingga muncul ketidakharmonisan dan rasa tidak percaya dari rekan kerja generasi lain. Baiknya sih, masalah seperti ini bisa diantisipasi sejak awal untuk menghindari miskomunikasi dan semuanya bisa bekerja secara profesional.
Fleksibel tapi Tetap Tahu Batas
Sebagai Gen Z, saya tahu bahwa generasi kami memang digital natives dan banyak menghabiskan waktu di dunia maya. Gimana enggak? Pandemi covid dan perkembangan dunia digital sedikit banyak telah mengubah proses bersosial Generasi Z. Dalam berinteraksi di dunia maya, semua jadi kelihatan setara dan Gen Z lebih sering tidak menggunakan identitas aslinya.

Akibatnya, generasi ini jadi susah membedakan kapan berperilaku formal dan informal. Mereka juga cenderung sulit menyerap informasi yang berbelit-belit. Solusinya? Cukup berikan batasan pada hal-hal yang memang tidak boleh melampaui batas. Berikan arahan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka, kalau perlu, pelajari kamus-kamus bahasa Gen Z agar bisa membaur dengan kelahiran 2000an ini. Ya, simpelnya sih, fleksibel tapi tetap tahu batas.
Tentang Batas Maksimal Umur dan Batas Minimal Pengalaman
Sudah bukan hal baru lagi jika kita mendapati loker yang mencari pekerja baru dengan maksimal umur yang masih sangat muda, tetapi berpengalaman minimal sekian tahun. Memang lawak betul lowongan kerja di negara konoha ini. Mencari pekerja baru yang masih muda dengan pengalaman yang seabrek, tetapi gajinya nggak sesuai dengan skill yang dipunya.
Ada kandidat yang bagus tapi usia di atas 30 tahun dengan pengalaman bagus, langsung dicap overqualified. Jika mendapat bawahan anak baru yang kerjanya kurang bener, mereka protes dan langsung mendiskreditkan satu generasi (Gen Z). Pertanyaan untuk para rekruiter: kalau kalian berekspektasi tinggi pada Gen Z yang performanya bagus dan skillful, memang berani menggaji berapa?

Apa yang dihadapi oleh Gen Z memang berbeda dari generasi-generasi sebelumnya. Mereka lahir saat krisis moneter terjadi, menginjak dunia remaja-dewasa saat pandemi melanda, tumbuh dengan kekhawatiran karena ketidakpastian ekonomi global dan isu-isu kerusakan lingkungan. Kemudahan mengakses informasi juga turut berdampak memicu stres dan tekanan mental generasi sekarang karena paparan berita negatif yang merebak di sosial media.
Di luar itu, saya yakin generasi-generasi lain seperti millenial dan boomers juga menghadapi hal yang nggak mudah dalam menjalani hidup. Saya kira, stereotip mengenai Gen Z ini muncul untuk menutupi persoalan sesungguhnya: persoalan hubungan kepengaturan–dalam tanda kutip “senioritas”–di antara generasi yang sedang berada di kelas manajerial dengan generasi yang baru memasuki angkatan kerja. Semua mengalami kesusahan dan kesulitan beradaptasi saat baru pertama masuk kerja, kok. Maklum saja, masih minim pengalaman!
Intinya, ngapain, sih, mengkotak-kotakan generasi? Bukannya semua ada plus minusnya masing-masing?
Bionarasi:
Mahasiswa Sastra Indonesia yang suka menulis dan ingin kaya raya. Lahir di bumi Semesta tahun 2004 saat bulan hampir purnama. Antologi puisinya pernah terbit dengan judul “Surat dari Semesta” (Guepedia, 2021).


