Traveling: Mengunjungi Kekaisaran Ottoman

Oleh: Dian Jelank

Turki, negara yang terkenal karena posisinya yang strategis di antara Eropa dan Asia, menjadi salah satu destinasi favorit bagi para pelancong. Di antara kota-kota yang menarik perhatian wisatawan, Istanbul menonjol sebagai tujuan utama. Sejarah mencatat bahwa pusat kekaisaran Turki Utsmani berada di kota ini, sehingga tidak mengherankan jika peninggalan dari masa kekaisaran tersebut menjadi daya tarik utama bagi pengunjung.

Aku dan Bapak berkesempatan berkunjung ke sini akhir 2022 silam. Bapak diundang untuk menghadiri Asia Europe International Conferences in Humanities, Social Sciences and Interdisciplinary Studies di Istanbul selama 2 hari. Perjalanan menuju Turki dimulai dari Jakarta, lalu transit di Doha, Qatar selama 19 jam, setelah itu bertolak ke Istanbul. Kebetulan, jadwal perjalanan kami bertepatan dengan perhelatan FIFA World Cup 2022. Pas banget waktu opening. So, euforia piala dunia dapat kami rasakan begitu mendarat di Qatar.

Setelah bermalam di bandara, esoknya kami melanjutkan perjalanan ke Istanbul. Penerbangan dari Qatar menuju Istanbul ditempuh dalam waktu +/- 4 jam. Pesawat yang kami tumpangi lepas landas pada pukul 08.45 waktu setempat, lalu mendarat di Istanbul pada pukul 13.15.

Hal pertama yang kami lakukan setelah keluar dari imigrasi adalah cari musholla untuk menunaikan sholat jamak qasar dhuhur-asar. Tak lupa mengucap syukur telah tiba dengan selamat di bagian bumi Allah yang lain. Mushollanya tidak jauh berbeda dengan musholla di Doha Int. Airport. Sangat mengakomodir umat muslim untuk menunaikan kewajiban.

Ketika akan mengambil bagasi baggage claim, sudah pasti kami mencari trolley untuk mengangkut koper-koper kami. Ternyata, trolley di Istanbul tidak disediakan secara gratis, kawan. Kami diharuskan memasukkan uang koin ke dalam mesin. Wah, kami kelimpungan. Sebab tidak mempunyai Lira (mata uang negara Turki. Kode: TYL) sepeserpun.

Niatnya, kami akan mengambil uang di atm setelah keluar dari bandara. Money charger di bandara yang terkenal mahal setidaknya menjadi alasan kami tidak segera menukarkan uang. Akhirnya, kami terpaksa menukar uang di bandara. Hal ini semacam deposit, uang kita bisa kembali dengan cara memindai barcode yang tertera pada tiket ketika mengembalikan troli tersebut. Google bilang, kebijakan ini dilakukan dengan tujuan supaya troli tersusun dengan rapih dan tidak menumpuk di satu area saja.

Rasanya tidak afdal jika belum berfoto di landmark Welcome to Istanbul. Kami berpose secara bergantian, memenuhi memori handphone sebagai bukti bahwa pernah singgah di Istanbul, lalu mengirimnya kepada orang rumah, menandakan kami sudah mendarat dengan selamat. Dan tentu saja mengunggahnya di media sosial. Fasilitas Wi-Fi gratis di bandara sangat memudahkan kami yang sengaja tidak menyiapkan kuota roaming.

Menuju Bursa: Kota Sejuk di Kaki Gunung Uludağ

Destinasi pertama dalam perjalanan kali ini adalah Bursa, sebuah kota dengan penduduk muslim terbanyak yang terletak di barat laut Turki. Kota ini berada di kaki gunung Uludaǧ yang terkenal dengan salju abadi dan wisata skinya. Untuk menuju ke sana, kami menggunakan bus antarkota yang berangkat langsung dari Turki Int. Airport. Jadi, tidak perlu keluar bandara. Harga tiketnya sekitar Rp250.000, sangat terjangkau untuk perjalanan 4 jam. Tidak jauh beda dengan tiket bus antarkota di Indonesia.

Sepanjang jalan, kami berdua tertidur akibat jetlag. Bus tiba di Terminal Bursa pada malam hari. Udara dingin langsung menyambut kami. Waktu itu sedang peralihan dari autumn ke winter. Angin berembus kencang, dinginnya menusuk sampai ke tulang.

Di Bursa, kami bertemu putra dari sahabat Bapak yang sedang menempuh pendidikan sarjananya di Marmara University. Dia yang mengantarkan kami menuju hotel dan menjadi tour guide 2 hari ke depan. Sebelum bergerak, Bapak mengajak makan malam. Sejak landing, perut kami memang belum terisi apapun selain air putih. Kami memilih makan di dalam gedung terminal. Selain sudah larut malam, sekaligus menghangatkan badan. Makan malam diselingi dengan obrolan ringan seputar tempat mana saja yang akan kami kunjungi selama di Bursa.

Lepas kenyang, kami segera beranjak menuju hotel mengingat malam semakin larut. Kami perlu mengisi tenaga untuk jalan-jalan esok hari. dibanding menggunakan taksi atau uber, kami memilih naik metro menuju hotel. Sampai di stasiun terdekat dari hotel, ternyata kami masih harus jalan sejauh 1km. Kontur jalanan yang menanjak sedikit menyulitkan kami dengan 2 koper besar di tangan. Rasanya masya Allah, untungnya kami sudah makan tadi. Punya tenaga untuk angkat-angkat koper.

Menjelajah Warisan Ottoman di Cumalıkızık

Esoknya, destinasi pertama yang kami kunjungi adalah sebuah desa bernama Cumalıkızık yang terletak di wilayah Marmara Selatan. Dilansir dari situs UNESCO, desa ini menggambarkan penciptaan sistem perkotaan dan pedesaan yang membentuk kekaisaran Ottoman pada awal abad ke-14, khususnya dalam hal pendukung pedesaan untuk ibukota. 

Desa ini juga penting karena masih memiliki populasi yang hidup di rumah-rumah era Ottoman, sehingga memberikan pengalaman yang unik bagi pengunjung. Cumalıkızık secara resmi termasuk dalam situs warisan dunia UNESCO sejak 2014. Untuk menuju ke sana, kami berganti moda transportasi beberapa kali. Yang terakhir, kami harus naik bus khas pedesaan untuk sampai di gerbang desa ini.

Suasana khas ottoman langsung terasa begitu kami menjejakkan kaki di sini. Kami menyusuri jalanan desa ini hingga ke ujung yang terletak di puncak. Sepanjang jalan, kami dimanjakan oleh penjual yang menawarkan macam-macam cendera mata. Ada juga beberapa warung makan, lalu kami memutuskan mampir ke salah satu kedai untuk istirahat sejenak dan sarapan pagi setelah “lelah naik-naik ke puncak gunung”.

Menu sarapan khas Turki tersaji dengan apik di meja kami. Di antara sekian menu, aku tertarik dengan keberadaan satu condiment yang teksturnya mirip dengan sambal terasi. Rasanya aneh sekali melihatnya disandingkan dengan roti, keju, dan telur mata sapi. Sama sekali tidak pas. Lalu, ada cabai hijau yang disajikan secara utuh, seperti cabai gigit sebagai pelengkap gorengan di Indonesia. Bedanya, ukuran cabai hijau di Turki seperti cabai merah di Indonesia. Ah, jadi kangen nasi padang dengan kuah gulai yang nikmat itu.

Panorama Sejarah: Museum Bursa 1326

Usai sarapan, kami kembali ke pusat kota menuju museum sebagai destinasi selanjutnya. Panorama 1326 Bursa Fetih Müzesi merupakan museum panorama terbesar di dunia. Tiket masuknya sangat murah, hanya 5 TL (sekitar Rp 4.200 jika mengacu pada kurs saat itu). Kami disuguhi gambaran hari penaklukan dalam siklus melingkar 360 derajat.

Di ruang pameran kronologis, terdapat 16 lukisan yang menceritakan kejayaan Turki Utsmani yang dimulai pada abad ke-13, penaklukan Bursa, dan jejak-jejak penting serta kepribadian spiritual yang ditinggalkan oleh 6 sultan Utsmaniyah pertama yang dimakamkan di Bursa.

Ulu Camii: Simbol Kemenangan dan Spiritualitas

Destinasi terakhir di hari itu adalah berkunjung ke masjid terbesar di Bursa. Selain sebagai masjid terbesar, masjid ini juga menyimpan sejarah tersendiri yang berkaitan erat dengan Kekaisaran Turki Ustmani. Ulu Camii Bursa, atau biasa dikenal dengan Bursa Grand Mosque dibangun antara tahun 1396 dan 1400 oleh Sultan Bayezid I.

Masjid ini dibangun setelah kemenangan besar Sultan Bayezid dalam pertempuran dan sebagai tanda syukur atas keberhasilan tersebut. Oleh karena itu, masjid ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga simbol kemenangan dan kemakmuran Kesultanan Ottoman pada masa itu.

Ketika memasuki masjid, perhatianku langsung tertuju pada tempat wudlu yang ada di tengah masjid. Sebuah kolam dengan air mancur berwarna biru yang mengalir di atasnya. Pada bagian atap, terdapat kubah yang berfungsi sebagai jendela. Sehingga cahaya matahari bisa menerangi masjid tersebut. Indah sekali.

Area di sekitar masjid dipenuhi oleh kios dan pasar tradisional yang menawarkan berbagai kerajinan tangan, kuliner khas Turki, serta souvenir. Hal ini yang menjadikan kawasan Ulu Camii Bursa sebagai salah satu pusat aktivitas sosial dan budaya di Bursa.

Usai puas mengagumi interior masjid ini, kami kembali ke hotel untuk mengistirahatkan badan. Hal yang baru kami sadari, ternyata lokasi hotel kami tidak jauh dari masjid dengan berjalan kaki kurang lebih 15 menit. Malamnya, kami kembali ke sana untuk menunaikan sholat Maghrib dan Isya serta mencari makan malam di sekitar sana.

Seharian di Bursa memberikan kesan tersendiri di benak kami. Kota yang menjadi Ibukota pertama Dinasti Ustmaniyyah yang saat ini menduduki posisi pertama sebagai kota dengan populasi muslim terbanyak di Turki. Terima kasih, Bursa. See u next time!

Dian Jelank, Kontributor NU Online Banten

TRAVELING setip hari Jumat. Nah, kamu punya cerita traveling? Tidak selalu harus keluar negeri, boleh juga city tour di kota sendiri atau kota lain masih di Indonesia. Antara 1000-1500 kata. Jangan lupa transportasi ke lokasi, kulinernya, penginapannya, biayanya tulis, ya. Traveling diluar negeri juga oke. Fotonya 5-7 buah bagus tuh. Ada honoarium Rp. 100.000. Kirim ke email gongtravelling@gmail.com dan golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: traveling.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://www.instagram.com/golagongkreatif?igsh=MXVlZDR5ODlwd3NsdQ==