Aku masih di Kota Serang, yang ditetapkan jadi ibu kota Provinsi Banten pada 2 November 2007, yang masih muda usianya. Pada hari Minggu, 2 November 2025 ini usianya 18 tahun. Sedang puber-pubernya. Aku berdomisili di kota yang dilledek tidak pantas sebagai ibu kota Provinsi Banten sejak 1965.
Apa yang bisa aku banggakan dengan kota ini? Kota yang dibangun dari batu-bata reruntuhan keraton Surosowan . Kota yang didirikan pada abad 18 oleh Jendral Herman Daendless.
Aku mencinai Kota Serang. Aku tidak peduli dengan stigma Banten yang negatif; ilmu hitam dan jawara! Aku terlanjur jatuh cinta pada Serang atau Banten saat membaca sejarah, bahwa pada abad 17 ada sebuah bandar internasional di Banten Lama, sekitar 10 kilometer sebelah utara kota Serang sekarang. Apalagi ketika aku tahu, pada abad 18, kesultanan Banten menolak kehadiran Belanda dan kerja rodi. Mereka memilih keraton Surosowan hancur dibumihanguskan Daendles daripada jadi daerah jajahan.
Bagi aku yang masih muda saat itu, mempertahankan yang hak adalah simbol lelaki. Melawan kebatilan adalah pertanda bahwa wilayah itu berkarakter sangat kuat. Kentara sekali, bahwa para pemimpin di kesultanan Banten sangat berpihak pada rakyat. Kearifan lokal (local wisdom) tercermin kuat dari cara kepemimpinan para Sultan lewat maha karyanya, irigasi di Tasik Kardi, alun-alun sebagai ruang publik di depan keraton Surosowan dan mesjid agung Banten, serta lintas agama di kampung Pecinan dan kelenteng di dekat benteng Spellwijk. Itu sebab aku membangun peradaban baru di kampung Ciloang bersama para sahabat dan relawan, yaitu Rumah Dunia sebagai bentuk pengabdian.
Aku mulai membanding-bandingkan satu kota di India dengan Kota Serang sekarang. Jika sungai Varanasi tabu dijadikan jamban, di Kota Serang sungainya bisa menjadi fungsi apa saja; jamban atau bahkan tempat bermuara limbah semua pabrik. Para pemimpin di Kota Serang pada masa lalu seolah tidak peduli lagi, apakah rakyat yang memilihnya sejahtera atau tidak. Memang di era Budi Rustandi – Nur Agis Aulia sebagai Walikota dan Wakil Walikota 2024 – 2029, Cibanten dibersihkan dari sampah.

Lalu aku teringat Mahatma Gandhi dengan semangat swadeshi, merentangkan kedua tangannya sebagai simbol pelayanan kepada rakyatnya, yang ditandai dengan baju khadi buatannya sendiri. Betapa Gandhi menganggap rakyat adalah pemilik negeri yang mesti dilayaninya. Itu tidak berbeda dengan Sultan Ageng Tirtayasa dulu. Bagaimana nanti dengan kiprah Budi – Agis hinga 2029? Kita doakan saja amanah.
Tapi pernah terjadi di Kota Serang, kadang untuk meloloskan LPJ bupati, karya-karya seni para pendahulu mereka, rela dihancurkan demi tahta dan harta. Itu terjadi di eraBunyamis sebagai Walikota pertama Kota Serang, dimana LPJ-nya pada 2007 sebagai bupati bisa lolos dengan cara menghilangkan patung-patung ikonik Kota Serang seperti patung Sultan Ageng Tirtayasa di perempatan Kebon Jahe dan patung Keluarga Sejahtera di pintu tol Serang Timur. Semoga itu tidak terjadi di era Budi – Agis, ya.

Kini di kota Serang, aku masih belum melihat tradisi yang bisa dibanggakan. Sejak memasuki kota Serang dari pertigaan Serang Timur, terasa masih amburadul, sulit diatur. Mata ditusuki baliho-baliho ukuran raksasa. Di depan gedung Golkar, gelagar raksasa bergambarkan produk konsumtif menonjok. Terus membentur ke gedung negara, ke nol kilometer, mataku makin perih oleh begitu banyaknya iklan-iklan memabukkan di kiri-kanan jalan, tidak memberikan ruang bagiku untuk bernapas. Apalagi sirkulasi lalu-lintasnya yang masih amburadul. Di era Budi – Agis sedang dicoba trayek teratur dengan pewarnaan angkutan kota yang berbeda.
Dimana aku bisa memiliki sebuah ruang publik? Ruang dimana aku bisa bernapas lega bersama anak dan istri? Ruang dimana aku bisa terbebas dari belanja, belanja, belanja…, dan belanja lagi. Alun-alun Serang tempatku tumbuh, besar, dan bermimpi, kini dipenuhi oleh iklan-iklan dengan penempatan yang seenak udel. Parkiran mobil yang sumpek dan sesak. Tak ada lagikah ruang tersisa, agar mata ini bisa terbebas dari “api”? Dalam paparannya, Budi merencanakan alun-alun Kota Serang akan disulap pada 2026 menjadi ruang publik yang modern, tentu instagramable dengan fasilitas umum yang beradab. Kita lihat nanti…

Apa yang sudah para pemimpin Kota Serang lakukan padaku? Pada kami – para warganya? Publik dijerumuskan oleh mereka menjadi masyarakat konsumtif dan hedonis. Atau juga apa yang sudah kita lakukan terhadap diri kita sendiri?
Taman Sari dan Pasar Lama sudah ditertibkan. Royal dibenahi agar bergaya dan bisa memompa pertumbuhan ekonomi kreatif kita. Pedagangnya dipindahkan ke Pasar Kepandean. Rawu dirapikan walaupun masih saja sulit diatur.
Jadi, sebetulnya jika Kota Serang ingin maju, kita sebagai warganya harus juga bekerja sama dengan pemerintahnya. Kita jangan ingin menang sendiri.
Gol A Gong



