Saya percaya bahwa tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Bahkan alam sekitar kita yang terlihat diam saja, sebenarnya sedang menuliskan pesan-pesan bijaksana. Tentang kehilangan, tentang harapan, tentang rasa sepi, kegagalan dan segala kepedihan. Mereka tidak berbicara kepada kita seperti seorang teman dekat. Mereka tidak bergunjing seperti tetangga, atau siapa saja yang datang memberikan kabar terbaru dengan lidahnya. Mereka juga tidak menuliskan pesan singkat di gawai kita. Mereka tidak menyelipkan sepucuk surat di bawah pintu rumah.
Tumbuhan, gunung dan lautan hanya sedikit dari banyaknya kawanan alam yang sedang menjalankan perannya. Ketika manusia mulai jengah dengan hidupnya, tak sedikit yang ingin menjadi makhluk lain. Bahkan banyak manusia yang memilih mati saja. Alam raya ini berbicara dengan peristiwa yang jika kita meluangkan waktu untuk merenunginya, maka ada banyak pesan kebijaksanaan yang bisa kita baca. Beberapa dari pesan itu, saya tuliskan melalui puisi-puisi berikut.
Sebelum kau memutuskan untuk menyerah, luangkan sedikit waktu untuk membacanya!
Fadhli Amir
oOo

Fadhli Amir
Memoar Pisang
ia tak meninggi dalam sekejap
butuh ratusan siang dan malam
untuknya menjadi dewasa
hingga tiba saatnya ia berbuah
kuning mengkilap di sela pelepahnya
sang tuan yang mengejar laba
tak pikir panjang untuk menebangnya
Ia mati setelah memberi makan pemiliknya
hanya sejengkal dari makamnya
tumbuh tunas baru yang belia
senyuman pun ranum di bibir tuannya
“tumbuhlah dengan baik,” katanya
tunas pisang baru mengira tuan menyayanginya
Ia tak akan pernah menyangka
beberapa bulan ke depan, ia akan menjadi mayat yang tak berguna
nenek moyangnya telah gugur sebelumnya
kabar itu tak sampai di telinganya
seperti rahasia malam yang tak pernah diketahui siang
hingga malam berikutnya rahasia baru kembali disembunyikan
namun itulah nasib pohon pisang
sebanyak apa pun ia tumbang
sebanyak itu pula ia berjuang
dipupuk lalu ditebang
demi menjadikan perut tuannya merasa kenyang
sampai buah terakhir yang bisa ia hasilkan
dan tunas baru tak lagi bermunculan
ia berhenti hidup bukan karena bosan
atau merasa ditipu oleh sang tuan
hanya saja
ia telah tiba di waktu yang telah Tuhan tetapkan
Bulukumba, 2025
oOo

Fadhli Amir
Merenungi Rumput
ia selalu selamat dari jebakan zaman
rumahnya ada di mana saja
kau bisa menemuinya di padang terpencil
yang terhimpit oleh dua hutan gelap
kau bisa menjumpainya di kaki bukit
yang dilupakan para pendaki
dan kalah oleh pesona bunga matahari
ia menguning di musim kemarau
lalu menghijau di musim hujan
ia dimurkai para petani
dihujani racun galak
atau dilahap hewan ternak
ia hanya lahir untuk terinjak
jika tak ada ruang lapang
ia bisa mencuat dari sela jalan yang retak
atau di antara dua ubin yang mendesak
Ia punya ribuan nyawa
untuk hidup, diinjak, lalu hidup kembali
terus seperti itu
hingga manusia memahami
bahwa tak ada yang bisa membunuh jiwa
kecuali waktu
Bulukumba, 2025
oOo

Fadhli Amir
Markisa dan Bambu Penyangga
Kau markisa dan aku bambu penyangga
di kebun kecil milik tuan rumah.
Batangmu merambat di tubuh rampingku.
Daunmu rebah di dada cembungku.
Kulitku akrab denganmu.
Pada pendirianku, kau menggantungkan buah-buah mungilmu.
Kita hidup bertetangga dengan kawanan pohon pisang, mangga dan jambu.
Masih kuingat dengan jelas kala tuan menebangku.
Kukira aku sudah mati.
Ternyata aku ini batang bambu yang tak mampu lagi tumbuh.
Dibelah menjadi bilah, lalu ditancapkan tuan
untuk menyanggamu, rela ditumpangi olehmu.
Suatu pagi, batangmu menguning.
Daunmu mengering.
Kau gersang di musim hujan.
Aku tetap berdiri dan membentang
menunggu batangmu kembali tumbuh dan merambati tubuhku.
Menunggu daunmu kembali utuh dan rebah di dadaku.
Menunggu kau kembali berbuah dan bergantung kepadaku.
Aku batang bambu tua yang menunggu
dihabiskan serangga.
Sementara itu, aku hanya mampu menyangga udara.
Makassar, 2025
oOo

Fadhli Amir
Firaun, Gunung dan Lautan
Firaun mengaku Tuhan
sebab punya lengan sekuat gunung
Manusia lain begitu kecil
dari ketinggian singgasananya
Ia lupa satu perkara
puncak gunung yang tinggi tempat ia berada
bisa ditelan laut yang paling rendah
Bulukumba, 2025
oOo

Fadhli Amir
Surat Cinta dari Pohon Asam Tua
lihatlah pohon asam tua yang dibunuh kemarau panjang
batangnya yang gagah nampak kesepian
setelah angin tanpa hujan menerbangkan daun-daunnya
tersisa ranting rapuh yang tak tahu mesti menjadi rumah untuk siapa
mungkin besok ia akan dilahap gergaji
sebelum badai menumbangkannya
dan menjadi petaka bagi manusia
namun ranting-ranting kosong itu
tetap menghadap langit
memuja setiap musim yang telah dilewati
bersama cinta penciptanya
menjelang ajalnya
sebuah surat cinta ia tuliskan di sana
kepada manusia yang nyaris melupakannya
“tak ada doa yang sia-sia,”
tutupnya
Bulukumba, 2025
oOo


TENTANG PENULIS: Lahir di Camba, 4 Juni 1990. Mencintai sastra sejak remaja, mengantarkannya ke jenjang pendidikan Sastra Inggris Universitas Negeri Makassar. Sempat aktif menjadi aktor untuk Kala Teater, sebuah studio teater yang aktif di kota Makassar. Berkolaborasi dengan penyair Australia untuk pertunjukan teater bertajuk “Vessel for Stories” sebagai opening act untuk Makassar Internasional Writers Festival (MIWF) 2013. Beberapa esainya dimuat di Koran Tempo Makassar. Dua di antaranya, Bumi dan Manusia dan Elegi Tepuk Tangan menjadi esai pilihan yang dimuat dalam buku kumpulan tulisan pilihan dari rubrik Literasi Koran Tempo Makassar tahun 2013 bertajuk Esai Tanpa Pagar.

PUISI MINGGU terbit setiap hari Minggu. Silakan mengirimkan 5 puisi tematik. Sertakan foto diri dan gambar atau foto ilustrasi untuk mempercantik puisi-puisinya. Tulis bio narasi dan pengantar singkat. Kirimkan ke email : gongtravelling@gmail.com. Ada uang pengganti pulsa Rp 300.000,- dari Denny JA Foundation. Sertakan nomor WA dan nomor rekening banknya. Jika ingin melihat puisi-puisinya yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:


