Bicara tentang temanku tersebut: Ia adalah temanku sejak SMP yang, entah kenapa, hidupnya begitu nahas. Atau mungkin karena aku merasa hidupku tak semenyedihkan dirinya, maka aku sering merasa kasihan. Saking kasihannya ia, aku sampai tak tega untuk menuliskan namanya di sini, jadi panggil saja ia dengan “ia” atau “temanku”.
Sejak jadi temannya, aku benar-benar merasa beruntung karena tidak setidak-beruntung dirinya. Dulu saat SMP, kami pernah merokok di kamar mandi sekolah dan hanya ialah yang ketahuan oleh guru BK. Pernah suatu ketika, ada ujian matematika, kami hanya diminta mengerjakan satu soal sesuai nomor absen kami, dan pertanyaan dengan nomor absennyalah yang paling susah. Jika ada tahi ayam di jalanan dan kebetulan aku serta ia sedang berjalan bersama, maka yang akan menginjak tahi tersebut adalah dirinya.

Ada lebih banyak lagi kenahasan hidupnya. Aku tak bisa menguraikannya satu per satu karena begitu banyak sampai terkadang aku pun lupa dan mencampurkan kisah aslinya dengan fiksi dalam kepalaku. Namun, menurut pengamatanku, ia paling payah dan nahas dalam hal cinta. Aku yakin bahwa ia masih perjaka, bahkan mungkin belum pernah berpegangan tangan dengan perempuan, padahal ia bukan salah satu orang dari kelompok hijrah yang mempromosikan nikah muda.
Dulu pada saat SMP, ia sudah ditolak sebanyak selusin setengah kali, padahal ia tidak terlalu jelek. Hanya orang yang bernasib buruklah yang pernah ditolak cinta sebanyak itu dalam jangka waktu tiga tahun dan di usia yang masih belasan tahun. Jumlah ditolaknya saat itu sama dengan jumlah perempuan yang ia tembak.
“Aku pernah terpikir, saat aku susah tidur tengah malam sambil memandang langit-langit kamar, kenapa ya aku ini selalu sial?” tanyanya sehari sebelum ujian nasional SMP.
“Mungkin kau punya penangkal Dewi Fortuna dalam celanamu.”

NOTIFIKASI WA-ku berbunyi lagi. Ia telah berada di depan rumah. Aku menyuruhnya langsung masuk. Aku membereskan kamar dan menyalakan komputer. Lalu tak lama, ia masuk.
“Tumben cepet.”
“Tadi memang lagi di jalan,” jawabnya. Sekali lagi, aku merasa kasihan padanya. Suaranya begitu lemah seakan ia adalah perempuan yang ditinggal mati oleh kucing kesayangan. Wajahnya sangat sendu. Aku yakin aku melihat sisa tangis di sekitar bola matanya. Rasa ibaku langsung memuncak, mengalahkan iba pada anak kecil yang mengemis di lampu merah.
“Buka aja FIFA di komputer. Kubikinkan kopi dulu.” Beginilah biasanya, laki-laki akan lebih tenang dan kembali jantan jika diberi permainan.
Ia langsung duduk dan membuka gim pada komputerku sambil menjawab, “Jangan. Aku bawa minuman sendiri. Kau masih tidak minum?”
“Masih tidak. Aku bikin kopi untukku dulu.” Tak biasanya ia membawa minuman ke kamarku. “Jadi R dalam chat-mu itu berarti siapa? Rini?” tanyaku sambil pergi ke arah dapur dan meninggalkannya sendirian di kamar. Kupikir pasti tentang Rini, jadi kubiarkan ia mempersiapkan ceritanya seraya aku membuat kopi.
Rini adalah cerita cintanya yang sampai sekarang masih terngiang-ngiang. Jadi, pada tingkat SMA, ia akhirnya punya pacar, tapi enam bulan kemudian sang pacar telah hamil tiga bulan oleh lelaki lain. Pacar yang itu bukanlah Rini. Karena Rini adalah pacarnya sesudah ia putus dengan si perempuan-hamil. Singkatnya, ia belajar dari pengalaman dan memutuskan untuk menjadi pengagum rahasia saja. Hanya pada satu perempuan selama sisa usia SMA kami, perempuan itulah Rini. Ia akhirnya menyatakan cinta pada saat kelulusan. Baru berpacaran dua hari, Rini memutuskannya.
“Mungkin aku takkan tertarik perempuan lagi.” Aku ingat perkataannya ini. Waktu itu, ia meneguk Orang Tua sendirian di kamarku, karena aku memang tidak minum minuman keras. Sebenarnya, ia juga tidak minum minuman keras. Mungkin itu kali pertamanya.

Saat itu, ia memberikan pengakuan percobaan bunuh diri yang sialnya gagal dan membuat keluarganya malu oleh para tetangga. Dirinya pun terbawa malu karena banyak orang yang memperhatikannya setelah kejadian itu, bahkan orang jauh yang tak ia kenal. Orang-orang memberikan wejangan, harapan, dan hal-hal palsu lainnya atas dasar kasihan. Ia berceloteh tentang kebencian pada mereka yang mengasihaninya. Aku hanya menunduk dan bingung, apakah ia tak menyadari aku juga mengasihaninya sejak dulu?
Karena kasihan tapi tak ingin dianggap mengasihani, aku mencoba bercanda dengan berkata: “Jadi kau akan tertarik pada laki-laki saja?” Mungkin karena sedang mabuk, ia mengangguk. Saat itu aku takut ditembak, karena mungkin aku akan iba untuk menolak. Namun, aku lebih takut jika aku diperkosa oleh teman lelakiku di kamarku sendiri. Jadi kusarankan ia untuk berpacaran dengan seorang banci yang seangkatan dengan kami di SMA dulu. Beberapa bulan kemudian setelah saat itu, ia kembali ke kamarku dan bercerita bahwa ia telah ditolak oleh si banci.
Dari detik itu sampai sekarang, tak pernah ada lagi percakapan tentang kesialannya akan cinta. Ia mengaku masih mencintai Rini dan berjanji akan menunggunya. Ia juga ternyata masih sering mengirimkan WA pada Rini, meski jarang dibalas. Ia kadang memberikan kado, tanpa sebab yang jelas. Juga beberapa hal lain yang menurutku bukan bukti cinta, tapi bukti perbudakan.
“BUKAN Rini, tapi Rina,” ucapnya saat aku sudah kembali ke kamar dan membawa secangkir kopi dan satu gelas kosong.
“Kali aja butuh.” Aku menyimpan gelas kosong di depannya. “Sejak kapan Rini ganti nama? Seingatku, saat SMA, dia masih bernama Rini.” Aku menyimpan cangkir kopiku di samping gelas kosong. Membawa kursi lain dan duduk di depan komputer.
“Ini beda orang,” katanya sambil memberikanku joystick. Aku tahu ia akan memilih Chelsea.
“Sejak kapan Rini punya kembaran bernama Rina?” tanyaku sambil menekan joystick.

“Bukan kembaran juga. Lihat saja fotonya.” Ia menunjukkan foto Rina dari gawainya. Benar-benar berbeda dengan Rini. “Memang belum cerita apa-apa, sih. Ketemunya di tinder … kau tahu kan aplikasi itu?” Aku hanya mengangguk. “Pakailah, kau selalu jomlo.”
“Aku main tinder juga, kok. Ayolah, coba ceritakan Rina itu. Lama kau!” Aku tidak suka jika temanku ini berbicara tentang jomlo. Karena sejak ia mempunyai pacar pertama, meski dihamili lelaki lain, ia selalu merasa lebih tinggi derajatnya dibanding aku yang belum pernah pacaran.
“Ah ya,” katanya, lalu ia menarik napas panjang seolah-olah akan menyelam. “Jadi, tiga bulan lalu ….” Ia pun bercerita panjang lebar. Tentang aplikasi kencan tersebut, yang ternyata ada Rini juga di sana. Ia, tentu saja memberikan lambang cinta pada Rini. Namun ia dan Rini tak pernah cocok. “Kau tahu apa yang kupikirkan saat melihat Rini di tinder? Ternyata dia sedang membutuhkan lelaki. Artinya dia jomlo. Mencari pacar secara menyedihkan di aplikasi kencan.” Ia terlihat puas setelah bicara itu, padahal ia pun mencari pacar di sana dan itu artinya ia juga menyedihkan.
Ada tiga perempuan yang cocok dengannya di aplikasi itu. Aku mencoba menahan tawaku karena di tinder-ku, lebih banyak dari itu. Namun sebagai sahabat yang baik, aku tidak ingin menertawakannya. Di antara semua yang cocok dengannya, ia merasa benar-benar merasa cocok (bukan hanya kata aplikasi) kepada Rina. Jadi, ia memutuskan untuk mendekati perempuan itu. Setiap hari berkirim pesan, bahkan sampai bertukar nomor WA. “Kuharap kecocokanmu bukan karena sama-sama selalu sial. Aku akan sungguh kasihan pada anak kalian, jika kalian menikah nanti,” komentarku.
Singkat cerita, ia dan Rina memutuskan bertemu setelah sekian lama saling PDKT daring. Waktu untuk pertemuan itu dijadwalkan hari ini. Sedangkan tempat pertemuan mereka adalah sebuah taman kota dekat rumahku. Alasan itulah yang membuat ia cepat datang ke sini tadi. Mereka bertemu. Rina memang mirip seperti di fotonya. Bukan seorang laki-laki yang menyamar atau wajah ber-filter kamera. Ia bersyukur sekali, setidaknya wajahnya nyata dan tidak manipulatif meski memang tak begitu cantik.
“Di sana, Rina bersama perempuan lain. Saat kulihat, perempuan itu adalah Rini.” Ia bercerita sambil fokus menatap komputerku, kebetulan Cucurella sedang merebut bola dari Saka.
“Jadi mereka berteman?” tanyaku sambil menatap papan waktu, sudah injury time, skor tiga sama dan Enzo sedang mengumpan jauh ke sisi kiri pertahananku.
“Saat itu, Rina memperkenalkanku pada Rini. Bayangkan tololnya kejadian itu!” Aku membayangkan sambil fokus untuk men-sleding Murdyk “Dia memperkenalkan bahwa Rini adalah pacarnya.”
Aku langsung memandang ke arah temanku. Sterling mencetak gol. Pertandingan berakhir. Chelsea menang. Aku kalah.

“KALI ini Dewi Fortuna datang padaku, kan?” Ia terlihat tidak begitu menyedihkan sekarang. Padahal beberapa detik sebelumnya, ia sedang sedih lantaran gebetannya adalah pacar dari mantannya. Cerita yang cocok dijadikan judul sinetron.
Aku meminum kopiku seraya menatap ke arah sahabatku yang masih merayakan gol kemenangannya dengan cara me-replay terus menerus. Seperti kubilang, permainan membuat lelaki kembali jantan.
“Tapi gak habis pikir, kenapa, sih, ada yang udah punya pacar tapi maen tinder? Lesbi lagi! Terus pacarnya ada di tinder juga!” keluhnya sambil mengakhiri replay dan menyimpan joystick.
“Kesimpulanku sih begini, bisa saja mereka main tinder cuman untuk jahil. Maksudku begini, mereka ingin dekat dengan laki-laki, mengajak bertemu, lalu mengenalkan bahwa mereka adalah lesbi. Kau cuman lagi apes kena jahil mereka. Rini tahu kau di tinder dan menyuruh Rina untuk mendekatimu. Lalu, fuala, kau dipermainkan,” kataku sambil memainkan gawaiku.
“Sudahlah. Jangan dibahas.” Ia meneguk Orang Tua-nya. “Coba kulihat tinder-mu, pasti tak ada perempuan di sana!” Ia langsung merebut gawaiku. Aku memainkan joystick-ku untuk memilih tim. “Password-nya masih sama?” tanyanya.
“Mau main lagi?” tanyaku. Aku menunggunya untuk membuka tinder-ku dan menyadari aku lebih banyak diminati di sana.
“Ya, dong. Kan lagi disamperin Dewi Fortuna. Pasti kau akan kalah lagi.” Aku memilihkan tim untuknya dan memilih timku sendiri. Saat kutatap temanku tersebut, ia menatapku balik.
“Kau match dengan Rini dan Rina?” tanyanya sambil menunjukkan layar pada gawaiku. Yang bisa kulakukan hanya memberikannya joystick.[*]

TENTANG PENULIS: JEIN OKTAVIANY, lahir di Ciwidey, Jumat tanggal 13. Aktif di Kawah Sastra Ciwidey. Karyanya bisa dilihat di jeinoktaviany.wordpress.com dan di instagram @oktavianyjein.

CERPEN SABTU: Cukup 1000 – 1500 kata. Teknik menulis baru diperbolehkan, kritik sosial, plot point, absurd, realis, surealis, boleh. SARA dan pornografi dilarang. Honor Rp. 200 ribu dari Ditjen Kebudayaan, Kemdikburistek RI. Terbit mingguan setiap hari Sabtu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Sabtu. Jika ingin melihat cerpen-cerpen yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:

[…] ini telah tayang di Golagongkreatif.com, 26 Oktober […]