Arsip Tag: Pipiet Senja

Obituari Pipiet Senja: Diselesaikan oleh Tuhan

Oleh Gol A Gong

INNALILAHI WAINNAILAIHI ROJIUN

Telah berpulang ke Rahmatullah, guru, kakak, sahabat kami Teteh Pipiet Senja Dưa (Ety Hadiwati Arief) pada malam ini, Senin, 29 September 2025, sekitar pukul 21.00 WIB dalam usia menjelang 70 tahun.

#

Sekitar tahun 2002, di Bandung Book Fair, saya meluncurkan novel Al Bahri (Asy Syaamil). Saat itu Halfino Berry (Direktur Asy Syaamil) dan Ali Muakhir (Dar! Mizan) mengenalkan saya pada seorang perempuan berjilbab.

“Pipiet Senja?” betapa kaget saya. Bahkan saya mundur satu-dua langkah. “Bukannya sudah meninggal?”

“Saya hantunya,” Pipiet Senja tertawa.

Saya tinggal di Kota Serang, Banten. Sungguh, informasi yang saya dapat tentang Teh Pipiet adalah: sudah meninggal karena cancer.

Sejak itulah kami berkolaborasi. Beberapa kali Teh Pipiet ke Rumah Dunia – komunitas literasi yang kami bangun di Kota Serang – untuk peluncuran bukunya. Kami juga bergabung di Forum Lingkar Pena.

Saya dan Teh Pipiet merasa senasib – sama-sama memiliki kekurangan dan senang menuki. Tapi tentu Teh Pipiet adalah penyemangat saya.

“Saya sedang jadi drakula,” begitu pesan yang saya terima kalau Teh Pipiet sedang cuci darah.

Kadang saya tidak habis pikir, tubuhnya yang sakit itu, tidak memadamkannya dalam urusan literasi. Saya pernah menanyakan itu kepadanya ketika mengisi pelatihan di Kairo, Mesir, 2005, bersama Irwan Kelana (wartawan Republika), dan Ustadz Muhammad Fauzil Adhim (penulis “Kupinang Kau dengan Bismillah).

“Hidup hanya sekali,” jawab Teh Pipiet.

Ketika mendengar kabar duka itu, 30 September 2025, saya sedang “Safari Literasi: Sayonara Duta Baca Indonesia” di Mojokerto.

“Pipiet Senja meninggal, Mas Gong,” Rudi Rustiadi – asisten saya sebagai Duta Baca Indonesia – mengabarkan.

Innalilahi…
Semuanya diselesaikan oleh Tuhan. Segala upaya sudah dilakukan Teh Pipiet untuk terus menajamkan penanya, menghasilkan karya-karya berikutnya yang sudah ratusan.

Tidurlah yang nyenyak, Teh Pipiet. Semangat menulismu yang tak pernah padam ada di dalam diri saya…

Gol A Gong
*) Foto saat di Balai Bahasa, Rawamangun

Penulis Muda Harus Berguru Kepada Pipiet Senja dan Rossy Panjalu

Sekitar tahun 2002, di Braga Center. Saat itu Ikapi Book Fair. Novel saya – Al Bahri (Asy Syaamil) diluncurkan. Halfino Berry dan Ali Muakhir – dua anak muda yang kreatif di dunia penerbitan – mengenalkan saya kepada seorang perempuan. Saya mundur selangkah, seolah melihat sosok yang saya anggap sudah wafat.

“Teh Pipiet Senja?” seruku. Saya pernah membaca cerpen dan cerbungnya di majalah. Juga penyakit cancer yang dideritanya.

Saya menganggap Teh Pipiet sudah wafat. Ternyata penyakitnya thalasemia, kelainan darah. Dan yang meninggal adalah artis bernama Pipit Sandra. Alhamdulillah, dia bertahan hidup. Sejak itu kami bersahabat. Saling support dalam kekaryaan. Sungguh, dia perempuan kuat dan penyintas. Sepanjang hidupnya hanya dia yang saya catat: nulis dan transfusi darah di rumah sakit. Buku Baru dan rumah sakit.

###

Saya terbiasa bangun pukul 02.00-03.00. Ritual agama dan nulis hingga pagi. Ada pesan di WA dari Rossy Panjalu. Saya kaget dan bahagia. Pesannya, “Nonton Jalur Langit, Trans 7, Mas.”

Rossi masih hidup. Dia penyintas juga. Cancer stadium 4. Saya pikir, dia sudah berpulang. Alhamdulillah, dia masih dilindungi Allah SWT. Coba baca pesannya kepada saya pada 25 September 2021:

“Mohon doanya saya sudah 53 hari berjuang di Bandung dalam pengobatan di RSHS.”

Jadi wajar jika saya menganggap Rossy sudah berpulang. Tapi setelah subuhan, saya panteng TV 7. Kedua mata basah. Ya, Allah. Rossi dinyatakan sembuh total setelah melewati masa kritisnya sejak 2013. Rossy muncul di Trans 7 dan berkata, “Hidup jangan ditangisi, tapi harus diperjuangkan.”

Saya mengenal Rossi ketika jadi Ketua Umum PP Forum Taman Bacaan Masyarakat, 2010-2015. Rossi termasuk pegiat literasi yang membangun taman bacaan di rumahnya, desa Panjalu Ciamis.

Saya hanya geleng-geleng kepala. Di sela-sela waktu kemoterapi Ciamis – Bandung, Rossi masih mengurusi orang lain di taman bacaannya. Bayangkan, sakit cancer, kemoterapi, ngurusin taman bacaan, baca, nulis…

Menulis adalah caraku menangis
Jariku adalah degup jantung kecewa
Kata adalah dengusan kasar diatas luka
Dan puisi adalah air matanya.

Itu curahan hati Rossy kepada saya.

Bagi saya, mereka berdua perempuan hebat. Kalau ada penulis muda yang mengeluh, harus berguru kepada mereka.

Gol A Gong
Sabtu 31 Mei 2025

Buku Baru Pipiet Senja

Alhamdulillah, buku terbaru Pipiet Senja yang berjudul “Bagaimana Aku Bertahan – Memoar Penulis & Penyintas Thallasaemia” (Penerbit KosaKataKita, Edisi Revisi, Oktober 2024) sudah sampai. Sekitar 300 halaman tealnya. overnya foto si penulis dengan jilbab hijau lumut. Tidak tampak bahwa si penulis itu sepanjang hidunya berada di bibir jurang maut.