Oleh: Ibnu Fikri Ghozali, Mahasiswa di Prince of Songkla University, Thailand
Saya dan rombongan kelas baru-baru ini melakukan perjalanan ke Ban Laem, sebuah desa nelayan yang terletak di Distrik Tha Sala, Provinsi Nakhon Si Thammarat, Thailand. Tujuan kami adalah mempelajari budaya lokal dan menyelami kehidupan masyarakat pesisir yang masih memegang tradisi nenek moyang mereka.
Desa ini menawarkan pengalaman yang berbeda dari kunjungan wisata biasa, karena di sini kami bisa melihat langsung bagaimana kehidupan nelayan berjalan sehari-hari, bagaimana masyarakat menjaga alam mereka, dan bagaimana mereka mengembangkan wisata berbasis komunitas yang ramah lingkungan.
Sesampainya di desa, kami disambut hangat oleh warga setempat. Senyum ramah mereka dan sapaan yang tulus membuat kami langsung merasa diterima. Kami diajak berkeliling area pesisir untuk melihat kehidupan sehari-hari masyarakat. Para nelayan sedang menyiapkan perahu, anak-anak bermain di tepi pantai, dan perempuan sibuk menyiapkan makanan tradisional untuk keluarga.

Suasana sederhana namun hangat membuat kami merasa seolah menjadi bagian dari komunitas itu sendiri. Jalan-jalan di sepanjang desa sambil menyapa warga menambah kesan bahwa di Ban Laem, kehidupan berjalan harmonis dan penuh gotong royong.
Kami kemudian bertemu dengan ketua komunitas Ban Laem, seorang tokoh yang ramah dan bijaksana. Beliau bercerita tentang sejarah desa, tradisi nelayan, dan bagaimana masyarakat setempat menjaga kelestarian alam sambil mengembangkan potensi wisata. Beliau menekankan pentingnya kerja sama antaranggota komunitas, terutama bagaimana perempuan berperan aktif dalam kegiatan ekonomi dan wisata desa. Diskusi dengan beliau membuat kami lebih memahami filosofi hidup masyarakat pesisir yang selaras dengan alam, di mana keberlanjutan dan kebersamaan menjadi landasan utama kehidupan sehari-hari.
Selain berdialog, kami diajak mengikuti pelatihan singkat tentang pengelolaan wisata berbasis komunitas. Pelatihan ini lebih bersifat interaktif, di mana kami belajar menjaga kebersihan area, menyambut pengunjung dengan ramah, serta memahami teknik sederhana perawatan spa.

Rombongan kami mencoba beberapa teknik, dan tidak jarang terjadi tawa ketika ada yang salah mengoleskan lumpur atau terlalu bersemangat saat mencoba metode yang diajarkan. Aktivitas ini memberi kami pemahaman bahwa wisata komunitas bukan hanya soal pengalaman bagi pengunjung, tetapi juga pemberdayaan ekonomi dan pelestarian budaya serta lingkungan.
Salah satu bagian yang paling berkesan bagi kami adalah wisata kuliner. Kami tidak hanya mencicipi makanan lokal, tetapi juga belajar cara membuatnya. Hidangan tradisional Ban Laem sangat khas, dengan rasa yang kaya dan bumbu yang segar.
Salah satu yang paling menarik adalah Kanom Pak, kue tradisional manis dari Phetchaburi yang terbuat dari kelapa, gula palem, dan tepung ketan yang dibalut dengan daun palm. Kue kecil ini lembut, manis alami, dan hadir dalam berbagai variasi yang dijual di pasar lokal.

Dengan bimbingan warga, kami mencoba membuat Kanom Pak sendiri, mulai dari menakar bahan, mengaduk adonan, hingga membentuk kue kecil yang cantik. Suasana kelas memasak itu penuh tawa karena ada yang adonannya terlalu lengket, ada yang bentuknya kurang rapi, tapi semua merasa senang belajar langsung dari masyarakat setempat.
Proses memasak ini memberi kami pemahaman tentang ketelitian, kesabaran, dan kesederhanaan dalam tradisi kuliner Thailand, sekaligus mempererat kedekatan kami dengan warga Ban Laem.
Hari kedua kunjungan dimulai lebih awal dari biasanya. Kami bangun sebelum fajar untuk pergi ke teluk. Perahu kecil sudah menunggu kami di dermaga, dan kami menaikinya dengan semangat, membawa bekal sarapan ringan.
Saat perahu bergerak menjauh dari pantai, udara pagi yang sejuk menyelimuti wajah kami, dan laut yang tenang membuat suasana begitu damai. Di tengah teluk, kami berhenti untuk sarapan dan ngopi. Membuka termos kopi hangat di tengah laut, ditemani suara ombak dan langit yang perlahan berubah warna dari gelap ke oranye keemasan, memberikan pengalaman yang magis.
Rombongan kami duduk bersila di perahu, menikmati makanan ringan, berbagi cerita, dan menunggu matahari muncul sepenuhnya di ufuk timur. Sensasi ngopi di tengah laut ini membuat kami merasa begitu dekat dengan alam, sekaligus mempererat kebersamaan antaranggota rombongan.

Setelah sarapan, tibalah momen yang paling ditunggu: mud spa laut. Kami bergerak ke perairan dangkal Teluk Thong Kham, di mana lumpur laut yang kaya mineral sudah menanti. Satu per satu anggota rombongan merendam tubuh mereka ke dalam lumpur hangat.
Saya merasakan sensasi hangat yang menenangkan, sementara rombongan kami tertawa ketika ada yang mencoba menyapukan lumpur ke teman di sebelahnya. Aktivitas ini bukan sekadar relaksasi fisik; kami juga belajar bagaimana masyarakat Ban Laem menjaga kualitas lumpur dan air laut agar kegiatan ini tetap berkelanjutan dan tidak merusak ekosistem.
Sambil menikmati lumpur hangat, kami mengamati perahu nelayan yang melintas, burung laut yang beterbangan, dan pemandangan pesisir yang memukau. Mud spa ini memberi kombinasi unik antara relaksasi, pembelajaran budaya, dan pengalaman dekat dengan alam.
Selepas mud spa, kami kembali ke desa untuk melanjutkan eksplorasi budaya. Kami menyaksikan kegiatan konservasi alam yang dilakukan masyarakat, seperti menanam dan merawat hutan mangrove yang menjadi pelindung ekosistem pesisir.
Kami juga melihat bagaimana masyarakat menyeimbangkan pekerjaan, budaya, dan lingkungan. Anak-anak bermain di tepi pantai, nelayan menyiapkan perahu, dan perempuan menyiapkan hidangan tradisional. Aktivitas ini memberi kami pemahaman mendalam tentang kehidupan sehari-hari komunitas pesisir dan bagaimana mereka hidup selaras dengan alam.
Kami berbagi pengalaman selama dua hari terakhir, tertawa dan merenung, menyadari bahwa kunjungan ini bukan sekadar wisata, tetapi pembelajaran yang memperkaya jiwa dan pengetahuan kami.
Kami pulang dengan hati penuh rasa kagum, pengetahuan tentang budaya dan kuliner lokal, serta kenangan tak terlupakan tentang Ban Laem, sebuah desa yang harmonis antara tradisi, alam, dan komunitas.
Kunjungan ke Ban Laem Community mengajarkan kami bahwa belajar budaya langsung dari masyarakat lokal memberi pengalaman yang jauh lebih mendalam dibanding membaca teori di buku.
Desa ini menunjukkan harmoni antara budaya, alam, dan komunitas, dan menegaskan pentingnya menjaga tradisi serta keberlanjutan lingkungan agar generasi mendatang dapat menikmati warisan yang sama.
Kami meninggalkan Ban Laem dengan hati hangat, pengetahuan baru, dan kenangan yang tak terlupakan tentang pengalaman mud spa, kuliner tradisional termasuk Kanom Pak, ngopi di tengah laut, dan interaksi penuh makna dengan masyarakat pesisir Thailand.

