Arsip Tag: Cerpen Anak

Cerpen Anak: Kehidupan di Bawah Laut Karya Biyu

                                                                                                                                                                          Kehidupan bawah laut  banyak terdapat ikan dan hewan laut lainnya.  Ada Kudi si Kuda Laut, Ubu Si  Ubur-ubur, Bubu Si  Ikan Buntal, Kulu Si kelomang dan si ikan badut kembar yang bernama Kuku dan Kiki.

Pada suatu hari, Bubu dan  Ubu sedang berjalan – jalan,  tiba – tiba  mereka melihat hiu besar dari kejauhan. Mereka pun langsung kabur dan memberitahu teman – teman nya.  Setelah  mendengar berita itu,semuanya langsung bersembunyi. Kecuali Kudi si Kuda Laut.  Kudi tidak melihat ada  Ikan Hiu. Setelah itu Hiu  pergi. Kudi langsung menemui  teman  – teman nya. Kudi membuat kaget teman-temannya. Teman-teman Kudi Kaget, mengira Kudi adalah Hiu yang tadi.

Setelah itu Kudi mengajak teman -temannya jalan – jalan keliling laut. Kulu tidak mau ikut. Bagi Kulu mengelilingi laut terlalu jauh.

“ Sebaiknya kalian izin dulu ke ayah ibu, supaya mereka tidak khawatir” kata Kulu

Namun mereka tidak mendengar nasihat Kulu.  Kudi, Kuku Kiki dan Ubu serta Bubu tidak mau mendengar nasihat Kulu. Mereka terus berenang sampai jauh ke tengah lautan. Namun tiba-tiba di tengah lautan ada pusaran laut . Kudi, Ubu dan Bubu terbawa pusaran laut ke laut bagian barat. Sedangkan  Kuku  dan Kiki  terbawa ke laut bagian timur. Hari semakin sore, Kudi si Kuda Laut, Ubu si Ubur-Ubur, Bubu si Ikan Buntal,  Kuku dan Kiki si Ikan badut kembar belum juga pulang. Orangtua  mereka pun mulai panik.

Ayah ibu Kuku Kiki mulai mencari anaknya. Begitu pula bapak  Ubu, Bubu dan Kudi. Mereka Semua berkumpul  mencari cara untuk menemukan anak-anaknya. Mereka semua sepakat untuk menemui  raja lautan yaitu Us-Us si Paus biru yang terbesar di  lautan. Us-Us tidak memakan  ikan tapi memakan plankton. Jadi semua  ikan dan hewan lain – lainnya dibawah laut tidak  takut dengan Us – Us. Selain itu Us – Us adalah paus yang baik.   Jadi Us – Us pantas menjadi raja lautan. Setelah di depan Us – Us mereka semua menceritakan semua masalah mereka. Setelah itu mereka bertiga belas berangkat untuk menyari anak – anak mereka. Us-Us memimpin pencarian anak-anak itu.

Sementara itu di laut bagian timur, Kuku dan Kiki mereka mencari Jalan keluar dari laut bagian timur. Mereka juga mencari jalan masuk ke lautan bagiaan tengah. Mereka bertiga sudah tinggal di laut bagian timur selama 3 hari.  Hari Minggu ini berbeda, tidak seperti  di hari biasanya.

Suasana di hari Minggu amatlah sepi tidak ada satu pun   suara. Ternyata, semua ikan bersembunyi di rumah mereka  masing – masing.  Itu karena hari Minggu selalu diadakan perlombaan memancing semua penduduk desa.  Ikan – ikan  bersembunyi di rumah mereka masing  – masing karena takut terjebak pancingan.

Sementara itu, Kuku dan Kiki, terdampar di pinggiran laut. Namun ada keluarga ikan yang baik mau menerima mereka tinggal dirumahnya.  Ikan itu bernama Manta, Manta  adalah ikan kembung. Pada  hari Minggu,Kuku dan Kiki ingin keluar. Manta memberitahu mereka bahwa pada hari Minggu sebagian penduduk desa mengikuti lomba memancing. Kuku dan Kiki ingat bahwa   ayah ibunya pernah memberitahu bahwa di laut ada nelayan. Nelayan adalah penangkap ikan dan sejenisnya. Mereka berdua pun menceritakan itu kepada keluarga Manta. keluarga Manta memang sudah tahu bahwa Kuku dan Kiki berasal dari laut bagian tengah. Keluarga Manta, Kuku, Kiki dan Kulu, akhirnya bersenang – senang bersama di rumah.

Pada hari Minggu, tidak ada satu ikan pun yang terpancing. Jadi tidak ada satu pun pemenang lomba memancing. Setelah hari Minggu, Kuku dan Kiki berpamitan dengan keluarga Manta. Keluarga Manta tidak setuju dengan keputusan dari Kuku dan Kiki. Mereka Khawatir Kuku dan Kiki akan sendirian berenang dilaut tanpa ditemani siapa pun. Tapi Kuku dan Kiki sudah  tidak sabar ingin bertemu keluarganya. Akhirnya keluarga Manta mengizinkan  Kuku dan Kiki pergi ke lautan tengah.

Kuku dan Kiki terus berenang mencari jalan ke lautan tengah. Sementara itu  Kudi, Ubu, dan Bubu masih berada di pinggiran lautan bagian barat.. Sudah beberapa hari mereka disana. Hari ini Ubu, Bubu dan Kudi mulai berenang lagi mencari jalan pulang ke lautan tengah.

Sementara itu rombongan yang dipimpin Us-Us Paus dari lautan tengah terus berenang mencari anak-anak yang hilang. Mereka sudah memasuki laut bagian utara. Dari kejauhan terlihat lumba-lumba berlompatan. Lumba-lumba itu berkata mereka melihat anak  ikan badut kembar. Lumba-lumba menunjukkan arah terumbu karang tempat anak ikan badut kembar itu sedang beristirahat. Rombongan pencari anak-anak yang hilang itu akhirnya bertemu Kuku dan Kiki. Mereka saling berpelukan dan menangis.

Mereka melanjutkan perjalanan mencari Kudi, Ubu, dan Bubu. Saat hari mulai malam, mereka beristirahat di terumbu karang. Kuku kaget sebab tiba-tiba ada buntalan di terumbu karang. Rupanya itu Bubu si Ikan  Buntal yang mereka cari. Tak jauh dari situ ada Kudi si Kuda laut dan Ubu si Ubur-Ubur. Mereka pun berteriak karena terlalu senang.  Setelah berhari-hari akhirnya mereka bertemu. Coba saja jika kemarin mereka mengikuti pesan Kulu si Kelomang,

“ Jika kalian ingin jalan-jalan,  harus izin dahulu kepada orang tua”

Kuku, Kiki, Kudi,  Ubu dan Bubu meminta maaf kepada orang tua mereka dan berjanji  tidak akan mengulangi kesalahan. Us-Us si Paus pun senang  karena sudah menyelesaikan tugasnya menjadi pemimpin.  (*)        

                                                    

BIODATA PENULIS: Biyu adalah nama panggilan Muhammad Shidqi Al Birruni. Saat ini biyu duduk di kelas 6 SDIT Al Hikmah Bintara Bekasi. Biyu suka membaca, menulis dan bermain sepakbola. Nomor rekening 042101058040507, Bank BRI atas nama Herti Windya Puspasari

CERPEN ANAK: Mulai Juni 2025 ada kategoi baru, yaitu Cerpen Anak. Tayang dua mingguan Setiap Sabtu, bergantian dengan CERPEN SABTU. Penulisnya khusus untuk anak-anak usia SD dan SMP; dia bisa saja anak kita, keponakan kita, muid-murid kita di sekolah atau cucu kita. Panjang cerpen anak cukup antara 500 – 1000 kata. Redaksi menyediakan honorarium Rp 100.000,- Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 2-3 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri atau ChatGPT. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Anak. Ayo, ditunggu. Ini cerpen anak yang pernah tayang. Klik gambar di bawah ini:

Cerpen Anak: Sup Merah Buatan Ayah Karya Reyna Vanindya

“Aku tidak mau makan, Bu!” ucapku sedikit kencang sambil menutup mulut rapat-rapat.

“Makanlah sedikit, Bella sayang. Mau mogok makan sampai kapan?” Suara lembut ibu masih terdengar, meskipun ini sudah piring ketiga yang kutolak.

Sebelumnya, ibu membuat bubur tapi tidak kusentuh. Beliau tidak menyerah, lalu membuatkan bakso. Tetap saja aku tidak mau makan, Ibu hampir menyerah. Tapi jika ia menyerah, aku tidak akan pernah makan. Akhirnya ibu memasak soto ayam.

Aku mau mencoba soto masakan ibu, tapi hanya dua sendok makan. Itu pun sudah membuat ibu bahagia karena aku mau mencoba makan walau sedikit.

Aku menghela napas, memandang jam tangan kecil berwarna merah muda hadiah dari ayah ketika ulang tahun ke sembilan.

Suara burung bersahut-sahutan dari pepohonan di depan rumah.

“Kapan ayah akan datang, Bu?”

Bibir ibu melengkung menyerupai huruf U. Seperti ia sudah hafal tabiatku, susah makan. Walaupun ibu sudah berusaha membuat masakan yang lezat, tetap saja aku enggan memakannya. Entahlah, perut ini terasa tidak lapar.

Perempuan cantik itu duduk di samping dan membelai rambut lurusku. “Makanlah lagi, sedikit pun tidak apa-apa,” rayunya.

Aku memasukkan satu suapan nasi, kemudian berdiri memandang jendela. Berharap ayah segera tiba.

Ayah mencari nafkah di luar pulau, tiga bulan sekali kepulangannya membuat waktu bersama sangat sedikit. Aku tidak bisa sering bermain dengannya seperti teman-teman yang lain. Kami hanya bisa berbicara melalui panggilan video di layar ponsel. Sering muncul rasa rindu di hati, sehingga selezat apa pun makanan akan terasa hambar.

oOo

Sebuah mobil taksi online berwarna hitam berhenti di depan rumah. Aku berlari menuju teras.

“Assalammu’alaikum.” Aku menjawab salam lalu berlari menghampiri ayah.

Ayah membetulkan kacamatanya sambil berkata, “Kok anak ayah tambah kurus, pasti belum makan ya?”

Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

Setelah membersihkan diri, ayah mengajak memasak sajian istimewa bersama. Aku melompat kegirangan dan mengikuti ayah menuju dapur.

“Bella, tolong ambilkan wortel di kulkas!”

“Oke, Ayah.” Secepat mungkin aku menuju kulkas, mengambil wortel dan beberapa bahan lain yang disebutkan ayah.

Ayah begitu lincah memotong-motong bahan. Aku melihatnya dari samping meja dapur. Tak terasa masakan itu matang. Sepanci sup merah masakan ayah. Mirip dengan buatan ibu, namun terdapat buah tomat yang dihaluskan sehingga kuahnya pun berwarna merah.

Aku, ayah dan ibu makan bersama. Rasanya sangat bahagia bisa berkumpul dan makan bersama.

“Hmm … enak sekali sup merah ini.” Aku melahap sampai semangkuk sup merah habis.

Mulai saat itu, setiap hari aku makan dengan lahap masakan ayah dan ibu. Diam-diam aku selalu mengamati ayah dan ibu memasak. Mulai dari mengupas bawang, mencuci sayuran dan mengolah bahan makanan yang lain. Mereka terlihat begitu kompak.

“Sepertinya memasak itu menyenangkan,” ucapku lirih.

Hari berganti hari, masa cuti ayah habis dan ia harus kembali bekerja ke luar pulau. Aku merasa ada yang berbeda. Makanan yang terhidang tidak selezat biasanya.

Aku mengamati ibu yang sedang duduk di depanku. Keringat terlihat membasahi dahinya. Sepertinya ia lelah memasak dan membereskan rumah seharian.

“Ibu, bolehkah jika besok aku membantu Ibu memasak?”

“Boleh saja.” Ibu tersenyum padaku.

oOo

Aku bangun pagi sekali karena akan membantu ibu memasak. Udara sejuk masuk melalui jendela dapur yang terbuka. Ingin rasanya makan sup merah seperti buatan ayah.

Aku mengupas bawang, mencuci dan memotong sayuran, menghaluskan tomat, mengisi panci dengan air dan belajar menyalakan kompor. Ternyata memasak melelahkan. Kurasakan panasnya uap dari panci. Memasak juga perlu berhati-hati agar tidak terluka terkena pisau atau air panas.

Keringat mulai bercucuran, aku menyadari bahwa memasak bukan hal yang mudah. Setengah jam berlalu akhirnya sup merah buatanku matang. Aku mencicipi sedikit untuk memastikan sup buatanku lezat. Ternyata sup ini rasanya tidak enak. Aku pun bingung untuk menyajikannya. Jika ibu memakan sup ini, rasanya tidak lezat. Tetapi jika aku membuangnya akan menjadi mubazir.

“Jika sup buatanku tidak lezat, apakah Ibu akan tetap mau memakannya?” Aku berwajah bingung sambil membawa semangkuk sup.

“Ya, Ibu akan memakannya meskipun supnya tidak lezat karena tetap saja kamu sudah memasaknya dengan susah payah.” Ibu tersenyum sambil melahap sup buatanku.

“Bagaimana rasanya, Bu?” aku semakin gelisah.

Ibu tersenyum, lalu mengambil ponselnya dan membuka beberapa tutorial cara memasak sup merah di Youtube. Aku memperhatikan dengan seksama.

“Bagaimana mau mencoba lagi?” tanya Ibu.

Aku nyengir, memperlihatkan barisan gigiku yang rapi, “Tentu saja, Bu.” Aku tidak akan menyerah dan akan terus berusaha untuk dapat memasak sup merah yang lezat.

Namun, beberapa kali aku mencoba tetap tidak berhasil. Rasanya tidak enak. Terkadang terlalu asin, terlalu manis, terlalu asam, bahkan tidak ada rasanya. Namun seburuk apa pun makanan yang kuhidangkan, ibu tetap menghabiskannya.

Aku memandang wajah ibu, sama sekali ia tidak berkeluh kesah tentang buruknya masakanku. Aku jadi menyesali perbuatanku selama ini.

“Maafkan aku Ibu, selama ini telah merepotkan dengan selalu menolak masakan Ibu. Padahal bukan hal mudah untuk membuatnya. Aku berjanji akan makan apa pun yang Ibu masak.”

Ibu tersenyum dan memelukku.

Keesokannya, aku bangun lebih pagi untuk mencoba memasak menu yang lain. Selalu seperti ini setiap hari. Seperti biasa, ibu selalu mendampingi. Hanya saja, sekarang aku mau mendengarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan ibu. Agar masakanku tidak salah lagi. Hingga akhirnya aku mempelajari bagaimana cara memasak yang benar, sifat-sifat bahan makanan dan cara mengolahnya. Yang terpenting, aku tahu bahwa sebenarnya sayuran itu rasanya tidak seburuk bayanganku dan jadi lebih menyukai makan sayuran.

Waktu terus berjalan, aku semakin pandai memasak. Ibu duduk di ruang makan menunggu aku menghidangkan masakan hari ini. Seriring cah sayuran hangat dan nasi kubawa dengan nampan berwarna biru.

“Bagaimana rasanya, Bu?” Aku menunggu dengan cemas.

“Hmmm, enak sekali.” Ibu mengarahkan ibu jarinya ke atas.

“Sungguhkah?”

Ibu mengangguk. “Bolehkah aku membawakan untuk teman-temanku di sekolah?”

“Tentu saja.”

Aku memasukkan masakanku ke dalam kotak makan untuk dimakan bersama teman-teman di sekolah. Aku sangat senang karena dapat mengolah sayuran menjadi masakan yang lezat.

oOo

Jarum jam menunjukkan pukul sebelas siang. Aku berdiri di dekat kompor. Mengaduk-aduk sup merah istimewa untuk seseorang yang istimewa. Karena berawal dari makanan ini, beliau telah mengajarkanku bagaimana menghargai makanan dan usaha yang dilakukan untuk membuatnya.

“Sudah selesai, Bella?” tanya Ibu.

“Sedikit lagi.” Aku mengedipkan mata.

Tak lama terdengar suara mesin mobil dari depan rumah. Aroma sup merah yang lezat menyambut kedatangan ayah.

“Wah, anak ayah sudah pandai memasak.” Ayah mencubit pipiku yang mulai bundar.

Aku tertawa. Terima kasih ayah dan ibu yang telah mengajarkan banyak hal padaku. Hingga akhirnya aku tahu bahwa kita harus menghargai makanan karena memasak itu susah dan melelahkan.

oOo

TENTANG PENULIS: Reyna Vanindya duduk di kelas enam SD. Ia sangat suka membaca dan menulis. Penulis pernah memenangkan lomba menulis juara 1 yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Surabaya. Penulis juga memiliki beberapa buku antologi. Selain menulis cerita Reyna juga suka bermain piano dan pemrograman robotika.

CERPEN ANAK: Mulai Juni 2025 ada kategoi baru, yaitu Cerpen Anak. Tayang dua mingguan Setiap Sabtu, bergantian dengan CERPEN SABTU. Penulisnya khusus untuk anak-anak usia SD dan SMP; dia bisa saja anak kita, keponakan kita, muid-murid kita di sekolah atau cucu kita. Panjang cerpen anak cukup antara 500 – 1000 kata. Redaksi menyediakan honorarium Rp 100.000,- Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 2-3 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri atau ChatGPT. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Anak. Ayo, ditunggu. Ini cerpen anak yang pernah tayang. Klik gambar di bawah ini:

Cerpen Anak: Glovera Karya Ahmad Rahsya Athary

Namaku Azka, anak homeschooling berusia 12 tahun. Banyak yang bilang aku cepat marah
dan mudah ngambek, yang membuat mereka tidak mau berteman denganku.

Hari ini, aku pergi keluar untuk bermain karena ibu memaksaku agar tidak terus-menerus
bermain handphone di kamar. Aku pun mengelilingi komplek tempat tinggalku dan sampai di
lapangan sepak bola. Di sana, aku melihat anak-anak seumuranku sedang bermain bola.
Mereka terlihat ribut karena kekurangan satu orang pemain dan bingung harus mengajak
siapa.

Salah satu anak melihatku dan berkata, “Hai yang di sana! Ikut main bola, yuk!”
Entah apa yang terjadi saat itu. Aku, yang biasanya tidak mau ikut bermain bola, kali ini mau
ikut karena sedang bosan. Mereka menyuruhku menjadi kiper karena postur tubuhku yang
lumayan tinggi. Karena kupikir menjadi kiper tidak terlalu susah, aku pun tidak protes dan
langsung bermain.

Lima menit berlalu, pemain tim lawan berhasil melewati pemain bertahan di timku dan
membobol gawang yang kujaga. Seharusnya aku biasa saja, tapi tiba-tiba aku kesal karena
kebobolan dan mulai marah-marah.

“Heh, kalian bisa main nggak sih?” teriakku keras pada mereka.
Mereka terkejut dan mundur beberapa langkah.
“Gak usah marah dong! Ini kan cuma main bola!” sahut salah satu dari mereka.
“Kalau gitu aku gak main lagi, lah! Kalian gak seru!” teriakku lagi.

Dengan perasaan marah dan kesal, aku pun berjalan pergi dari lapangan itu. Aku terus
berjalan sampai akhirnya merasa lelah dan duduk di bawah sebuah pohon besar di sisi lain
lapangan.

Saat aku berdiri dan berbalik melihat ke arah pohon itu, pandanganku tiba-tiba kabur dan
aku tidak bisa melihat apa-apa.

oOo

Mataku terbuka, aku sedang dikerumuni oleh makhluk-makhluk ceria berbentuk gumpalan
yang melayang di udara. Mereka sepertinya mencoba berbicara padaku dengan bahasa
yang tidak kumengerti. Hingga salah satu dari mereka memasangkan kalung berkilau di
leherku.

“Dengan kalung ini, kamu bisa berbicara dengan kami,” seru gumpalan itu.
Saat aku berdiri, aku baru menyadari bahwa aku sedang berdiri di atas batu besar sebesar
komplek rumahku yang melayang tinggi di atas danau. Di sekeliling danau, berdiri
pegunungan yang sangat tinggi. Ada lima batu besar yang melayang bersamaan.

Aku bertanya, “Di mana aku? Kenapa aku ada disini?”
“Nama tempat ini adalah Glovera, tapi kami tidak tahu kenapa kamu ada di sini,” jawab
salah satu dari mereka.
“Kamu berada di sini karena tempat ini memilihmu,” kata seorang gumpalan yang tampak
lebih tua dari yang lain.
“Memilihku? Untuk apa?” tanyaku bingung.
“Untuk ini,” kata gumpalan tua itu sambil menunjuk ke sebuah batu. Di batu itu tertulis:

Bisa baik,
Bisa buruk,
Semua tergantung pada orang asing.

“Maksudmu aku orang asing itu?” tanyaku.
“Ya, kau yang menentukan nasib tempat ini,” kata gumpalan tua itu.
Saat aku masih memikirkan tulisan itu, para gumpalan menarik tanganku menuju jembatan
yang mengarah ke batu terbesar. Di sana ada sebuah istana besar yang sepertinya mustahil
ada di dunia asliku.

Aku pun mengikutinya masuk ke dalam istana.
“Kapan sih kita sampai?” keluhku, sedikit marah.
“Sedikit lagi kok,” jawab salah satu gumpalan, terdengar ketakutan. Yang lainnya pun terlihat
takut.

Tiba-tiba lantai istana bergetar. Gumpalan tua mulai berlari dan berseru, “Cepat sedikit,
orang asing!”

Karena takut tanahnya runtuh, aku berlari mengikuti mereka sampai akhirnya kami tiba di
sebuah ruangan yang berisi kristal besar berwarna ungu yang dirantai kuat.
“Kau membahayakan nyawa ku dan membuatku lari setengah mati cuma untuk melihat
kristal jelek ini?” kataku kesal.

Gumpalan tua itu ingin bicara, tetapi sebelum sempat mengucapkan apa pun, dari dadaku
keluar cairan ungu yang mengalir ke arah kristal dan menyatu dengannya.
“Kita sudah terlambat…” bisik gumpalan tua, membuat yang lain gemetar ketakutan.
DUARR!

Kristal itu meledak, dan pandanganku kembali kabur.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya gumpalan tua.
“Aku baik-baik saja,” jawabku, lalu bangkit berdiri.

Tapi yang kulihat bukan lagi ruangan istana atau alam indah Glovera. Kini semuanya
berubah jadi kehancuran mengerikan. Istana hancur, hanya tersisa serpihan kecilnya yang
terbakar api ungu. Udara terasa panas dan menyesakkan.

Bentang alam yang tadinya indah berubah total: semua tumbuhan layu dan terbakar. Kelima
batu besar melayang kini retak dan siap runtuh ke danau yang telah berubah menjadi lautan
lahar, dikelilingi pegunungan yang hangus terbakar.

Yang paling mengerikan adalah sosok bayangan gelap yang sedang melahap semua
gumpalan.
“Cepat, orang asing! Kalahkan bayangan itu!” seru gumpalan tua yang lemah.
“Bagaimana caranya?” tanyaku ketakutan.
“Bayangan itu adalah bayangan dirimu. Dia adalah kumpulan kemarahanmu selama ini,”
ucap gumpalan tua, lalu memejamkan matanya.

Entah apa yang kupikirkan, aku melompat menyerang bayangan itu. Semua kemarahanku
berubah menjadi energi. Dari dadaku muncul bola berisi kemarahan yang telah kumaafkan,
kemarahan yang selalu ku pendam. Aku mengambil bola itu dan melemparkannya sekuat
tenaga ke arah bayangan.

Saat bola itu mengenai bayangan, ia menyusut lalu meledak. Saat ledakan hampir
menyentuhku, seketika semuanya menjadi putih.
Tiba-tiba mataku terbuka. Aku sedang menatap pohon yang sama di komplekku. Entah apa
yang terjadi di Glovera, tapi sekarang aku merasa berbeda. Aku menjadi lebih tenang dan
tidak mudah marah.

Aku berjalan pulang. Saat melewati lapangan sepak bola, aku meminta maaf pada
anak-anak disana atas kelakuanku sebelumnya. Hatiku terasa lebih lega.
Saat tiba di rumah, aku meminta maaf kepada ayah dan ibu, karena mereka adalah orang
yang paling sering kumarahi tanpa alasan.
Ketika aku masuk ke kamar, di atas tempat tidurku ada sebuah buku berjudul Glovera. Saat
kubuka halaman terakhirnya, tertulis:

Akhirnya bayangan gelap penuh amarah itu meledak hancur saat terkena bola yang
penuh energi baik.
Semua kembali normal.

Istana mulai dibangun kembali dan para gumpalan kembali menjalani hidupnya dengan
bahagia, tapi sang orang asing tak pernah terlihat lagi.

oOo

TENTANG PENULIS: Namaku Ahmad Rahsya Atharya, tapi teman-teman biasa memanggilku Arya. Aku anak 12 tahun yang menjalani homeschooling di PKBM ABHome. Aku suka menulis, menggambar,
bermain gitar, dan bermain bola. Cerita ini adalah tulisan pertamaku. Semoga kalian
menikmatinya!

Cerpen Anak: Aku Punya Sayap Karya Anindita Shakira Dewi

Kira, bangun sudah siang! Nanti terlambat ke sekolah!” seru ibuku.

Aku langsung melompat dari kasur sebelum Ibu tambah mengomel. “Iya, Bu!” jawabku.

Aku Shakira, kelas enam SD yang dari dulu tidak bisa bangun pagi. Jadi, aku terkenal sering terlambat masuk ke sekolah.

Setelah mandi, aku bergegas memakai baju seragam dan langsung berangkat ke sekolah berjalan kaki sendirian tanpa sempat sarapan.

Uh, jauh sekali sekolahku.

Andai saja aku bisa terbang, pasti aku sampai sekolah lebih mudah. Dari dulu, aku sangat takjub melihat capung, kupu-kupu, atau burung. Entahlah, sepertinya memiliki sayap bisa menyelesaikan masalahku yang sering terlambat pergi ke sekolah.

Tiba di sekolah untung saja belum terlambat. Malah aku sempat melihat sekumpulan anak-anak nakal bertubuh besar sedang menyakiti temanku – Sandi –  yang berbadan kurus dan kecil. Mereka Arta Geng yang terkenal nakal. Aku pun sering diganggu mereka. Sekarang giliran Sandi yang dijahili. Tas Sandi diambil dan tempat bekalnya dibuka oleh mereka.

“Hei, berhenti!” teriakku sambil membantu Sandi berdiri.

Bukannya berhenti, anak-anak jahat itu malah mendorongku. Aku jadi jatuh dan seragam sekolahku kotor kena tanah.

Uh, jahat sekali!

Kalau saja aku punya sayap, aku akan membawa Sandi pergi dari hadapan mereka dan memberikan pelajaran kepada anak-anak nakal itu.

oOo

Hari Sabtu, jam sekolah lebih pendek. Waktunya anak-anak pulang sekolah. Aku berjalan pulang sambil memikirkan kejadian pagi tadi.

Dalam perjalanan pulang, aku melihat seorang nenek yang kesulitan membawa barang bawaan yang banyak dan berat. Aku langsung membantu nenek itu membawakan barangnya menaiki dua puluh lima anak tangga apartemen. Jauh sekali tempat tinggalnya, kumuh dan sepi.

“Terima kasih, Cucu!” kata Nenek. “Masuklah dulu ke rumah, biar nenek buatkan minuman sebagai ucapan terima kasih.”

Aku masuk ke rumah Nenek dan duduk di kursi kayu yang terlihat kuno.

Nenek memberikan aku secangkir minuman berwarna merah. Sepertinya enak. Karena haus, aku langsung meneguknya sampai habis.

Namun, kepalaku tiba-tiba pusing. Mataku banyak kunang-kunang. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi.

Aku terbangun setelah tubuhku diguncang-guncang oleh Nenek.

“Sudah sore, nanti kamu dicari orang tuamu belum pulang dari sekolah.”

Aku gelagapan bangun. Tubuhku terasa sangat berat. Punggungku seperti menggendong sesuatu.

“Lho, apa ini?” teriakku saat meraba belakang tubuhku. Buru-buru aku meminta izin pada Nenek untuk menumpang ke kamar kecil. Betapa terkejutnya aku, saat membuka baju dan melihat bayangan tubuhku di cermin. Ada sayap di punggungku.

“Itu sayap yang kamu inginkan.” Tiba-tiba Nenek sudah muncul di sampingku. “Tapi ingat, kamu harus merahasiakannya dan gunakanlah sayap itu untuk berbuat kebaikan.”

Wah, ini keren sekali. “Eh, bagaimana Nenek tahu aku ingin punya sayap?” tanyaku.

Nenek tidak menjawab. Dia hanya tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya.

Aku berterima kasih kepada Nenek. Sayap itu tidak terlalu tebal. Tidak juga tipis. Cukup lentur, tetapi indah dan kuat. Aku bisa menyembunyikannya di balik baju yang longgar.

oOo

Di hari Senin aku terlambat bangun lagi. Ah, malas ke sekolah. Kelakuan anak-anak nakal itu membuat aku bertambah enggan ke sekolah.

Eh, tunggu dulu!

Aku kan sekarang memiliki sayap. Jadi kalau nanti bertemu mereka, aku bisa terbang menghindar.

Saat aku sampai di depan gerbang sekolah, aku melihat Sandi lagi-lagi diganggu oleh Arta Geng. Nah, kan!

Aku buru-buru bersembunyi ke balik pohon, melepas tas dan jaket. Aku mengangkat belakang baju seragam, lalu cuss! Aku terbang menyambar Sandi dan membawanya bersembunyi ke balik tembok.

“Lho, Kira?” seru Sandi terkejut.

Aku memberi isyarat kepada Sandi agar diam, lalu melempari anak-anak nakal itu dengan batu-batu kecil penghias taman sekolah.

“Aduh!”

Anak-anak nakal itu kesakitan dan langsung menoleh ke sana ke sini.

“Woi, siapa yang melempar?”

Sandi tertawa cekikikan.

Aku memberi kode agar jangan bersuara.

Aku tidak mungkin melawan mereka. Aku berteriak dengan suara yang dibuat seperti anak laki-laki.

“Pak Guru, Bu Guru, ada yang menyakiti Sandi!”

Seketika wajah anak-anak nakal itu berubah pucat dan ketakutan. Mereka lari kocar-kacir.

Aku dan Sandi bisa tertawa terbahak-bahak sekarang.

“Kira, di punggungmu …,”  Sandi menunjukku dengan wajah keheranan.

“Stt, jangan bilang siapa-siapa,” jawabku sambil merapikan kembali baju seragam, menyembunyikan sayap.

Sandi menutup mulutnya tanda setuju.

“Anak-anak nakal itu harus dilawan. Kalau tidak, mereka akan terus menyakiti kamu!”

Sandi terdiam.

“Jangan takut, semakin kamu takut mereka akan makin menganggu. Tenang saja, aku akan membantumu,” kataku.

Sandi mengangguk. Setelah itu, kami masuk ke kelas.

Keesokan harinya aku sangat bersemangat pergi ke sekolah hingga bangun lebih awal. Lebih-lebih kalau ingat sudah memberi pelajaran kepada anak-anak nakal itu kemarin.

Nah, benar saja. Arta Geng terlihat asyik bermain dengan kelompoknya, tidak lagi mengganggu.

Saat bertemu Sandi, aku berpesan kembali, agar dia merahasiakan soal sayapku.

“Sayap? Sayap apaan?” tanyanya bingung saat aku mengingatkannya.

“Masa kamu lupa? Aku kemarin membawa kamu terbang menghindari Arta Geng!”

“Hah? Kamu kemarin itu cuma menarikku, lalu kita bersembunyi dan melempari  anak-anak nakal itu dengan batu, Kira.”

Sekarang aku yang terkejut. Masa, sih? Kemarin aku terbang menyelamatkan Sandi, kok.

Saat pulang sekolah, aku masih merasa kebingungan. Buru-buru aku membuka baju dan memeriksa sayap di punggungku. Aneh, kenapa sayapnya tidak ada?

Dengan penasaran aku mendatangi rumah Nenek yang aku tolong kemarin.

“Kamu siapa? Apa kita pernah bertemu?” tanya si Nenek saat aku mendatangi apartemennya.

“Lho, kan … Nenek yang memberikan minuman penumbuh sayap.”

“Mana ada minuman seperti itu!” katanya.

“Tapi setelah aku minum minuman itu, aku bisa memiliki sayap, menolong temanku, dan melawan anak-anak nakal di sekolah, Nek.”

Nenek itu menggeleng. “Kamu bisa menolong temanmu karena keberanianmu sendiri dan ketulusan hatimu menolong orang.”

Uh, aku jadi tambah bingung. Aku keluar dari rumah Nenek itu sambil terus berpikir. Sepertinya kemarin terasa nyata kalau aku benar-benar terbang dan melawan Arta Geng.

Masih dalam keadaan  bingung, aku menoleh ke belakang, ke apartemen nenek. Betapa terkejutnya aku, saat melihat sang nenek berubah menjadi wanita muda cantik bersayap seperti peri. Dia melambaikan tangan kepadaku sebelum terbang dan menghilang bersama apartemen kumuh itu.(*)

Lampung, 8 Agustus 2025

oOo

TENTANG PENULIS: Anindita Shakira Dewi, itu nama saya. Saya sering menghabiskan waktu dengan menulis diary, membaca komik, dan menggambar. Saya juga suka menari. Saat di kelas 3 SD cerpen saya Lala dan Sasa masuk ke dalam naskah terpilih buku Antologi Persahabatan pada even menulis di Lilo. Sekarang saya duduk di kelas 7. Ibu pernah bilang, ‘Tidak perlu banyak teman jika kamu tidak merasa nyaman dengan mereka. Jadilah diri sendiri, meski dianggap berbeda.’ Semoga tulisan saya dapat menghibur teman-teman.

CERPEN ANAK: Mulai Juni 2025 ada kategoi baru, yaitu Cerpen Anak. Tayang dua mingguan Setiap Sabtu, bergantian dengan CERPEN SABTU. Penulisnya khusus untuk anak-anak usia SD dan SMP; dia bisa saja anak kita, keponakan kita, murid-murid kita di sekolah atau cucu kita. Panjang cerpen anak cukup antara 500 – 1000 kata. Redaksi menyediakan honorarium Rp 100.000,- Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri atau ChatGPT. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Anak.

Cerpen Anak: Istana di Bukit Sunyi Karya Cathleen

“Penyakit asmamu semakin parah, Sora. Sebaiknya untuk sementara waktu kamu harus pindah ke rumah bibi di desa, ” ucap Ibu.

Perjalanan menuju desa begitu indah. Berbeda jauh dengan suasana perkotaan yang penuh dengan polusi dan suara klakson yang mengusik. Dari balik celah pandang mobil yang dikendarai ibuku, hamparan hijau yang begitu luas menyambut penglihatanku, dipenuhi dengan beberapa kuntum bunga-bunga dandelion dan chamomile yang melambai tertiup angin sepoi-sepoi. Kicauan burung terdengar saling sambut-menyambut dari kejauhan, seolah mengalunkan selamat datang kepadaku.

Kuhirup perlahan udara yang segar nan sejuk ini. Sungguh nikmat rasanya. Helaian rambutku yang tertiup mengikuti arah angin terasa lembut menyapu wajah. Mobil jeep yang kukendarai perlahan menyusuri jalan menanjak, terjadi sedikit guncangan berulang kali-menandakan permukaan jalannya berbatu. Mobil Jeep melambat. Wah, ternyata rumah yang ibuku maksud adalah sebuah bangunan sederhana yang dibangun di atas bukit kecil.

Bibi mulai membantu menurunkan barang-barangku dari atas mobil, dan memperlihatkan padaku ruang kamar yang akan kutempati

“Kamarnya ada di lantai 2, sudah Bibi bersihkan, kok. Ruangannya sangat luas, dan ada jendela yang besar untuk mendukung sirkulasi udara.”

Kuhempaskan tubuhku yang letih oleh perjalanan panjang di atas lantai. Aku meregangkan sejenak otot-ototku yang kaku setelah duduk tegak hampir lima jam.

Tak terasa matahari perlahan turun, hari telah senja. Usai menata rapi isi kamarku, aku membuka tirai jendela untuk mendapatkan sirkulasi yang lebih baik.

“Huh, apa itu?”

Dari kejauhan, samar-samar terlihat sebuah bangunan, bukan hanya sekedar bangunan yang tergeletak begitu saja di permukaan tanah….

Infrastruktur yang terlihat sudah usang namun tetap berdiri kokoh tak jauh dari puncak bukit, menjulang tinggi yang kuperkirakan mencapai tiga puluh lima meter dengan tujuh tingkat, dapat dilihat dari jumlah jendela yang ada.

oOo

Srak srak srak srak

Langkah kakiku terdengar berisik karena berlari di tengah-tengah rerumputan yang begitu lebat. Istana itu bagai memiliki magnet yang  menarikku dengan rasa penasaran. Aku takkan tidur dengan tenang sebelum mengetahui isi istana misterius itu!

Kulangkahkan kakiku, sedikit demi sedikit menapaki tangga-tangga kecil yang begitu banyak, sepertinya penuntun menuju pintu utama. Lima menit yang sungguh melelahkan, akhirnya aku tiba pada anak tangga terakhir. Kini dihadapanku nampak pagar besi yang lembab dan dipenuhi karat.

Siiinggg…

Kuraih pagar besi tersebut dengan hati-hati

Aku mulai menyusuri jalan masuk. Langkahku terhenti ketika aku mendengar ada langkah kaki yang mengikutiku.

BUKKKKKK!!!!!!

“WAAW!”

Seseorang menabrakku hingga terjungkal ke dalam. Tanganku berusaha membantu tubuhku untuk bangkit. Namun ubin keramik istana ini sangat licin, dipenuhi oleh lumut hijau.

Seorang anak perempuan sebayaku, dengan rambut blonde dan mata biru yang indah, berdiri tepat di hadapanku.

“MAAF, KUKIRA TIDAK ADA YANG TINGGAL DISINI. SEKALI LAGI AKU MINTA MAAF TELAH MENGGANGGUMU.”

Dengan panik, aku segera menjauh dan berniat untuk berbalik pulang, namun….

“Tidak pernah ada yang ingin berbicara denganku…,” ucap anak itu lirih, terdengar kesedihan yang mendalam dibalik nadanya

Aku membatalkan langkahku, membalikkan badan. Gadis yang rambutnya dikepang dua menyambutku dengan senyum hangat

“Aku benar-benar bahagia ketika mengetahui akhirnya desa ini dikunjungi oleh anak yang sebaya denganku juga. Selama berabad-abad menghuni di sini, aku benar-benar kesepian….”

Aku tertegun.

“Namaku Ayaka,” Ia menjulurkan tangannya, begitu antusias mengajakku berkenalan. Wajahnya nampak berseri

“Sora….” Kuraih tangannya.

Tanganku digenggam oleh Ayaka, ia melompat-lompat dengan girang. Kakinya yang beralaskan sandal balet khas wanita Eropa kuno menapak ringan permukaan padang rumput hijau.

Langit telah gelap gulita. Seberkas pantulan cahaya bulan terlihat jelas, menandakan keberadaan permukaan air. Ayaka menarikku menuju salah satu perahu yang berayun pelan oleh riak-riak kecil di dalam danau.

“Tempat tinggalku sungguh indah bukan? Ini juga didukung oleh kondisi pedesaan yang kini hanya dihuni oleh beberapa ‘orang’ tertentu. Oh ya, paman yang sedang mendayung ini sangat baik! Namanya paman Akio. Aku sering duduk diatas perahu seperti ini, menikmati angin sejuk dan kunang-kunang yang menerangi malam! Hey, aku juga membawa roti! Ayo kita makan bersama-sama!”

Ayaka begitu sibuk bercengkerama denganku sembari kami duduk bersila menikmati roti selai di atas perahu kayu. Kami dikelilingi oleh cahaya-cahaya kecil yang terbang bolak-balik mengitari danau.

Perahu tidak lagi didayung, hanya dibiarkan mengapung dengan tenang, mengikuti laju riak-riak kecil dan arus lembut danau.

oOo

Hari-hari berjalan begitu cepat sejak pertemuanku dengan Ayaka. Ia anak yang benar-benar ceria. Setiap pukul tiga, kami pasti akan bertemu dan menghabiskan waktu bersama, saling bertukar gelak tawa hingga cahaya matahari perlahan memudar.

Berulang kali ia mengajakku mengelilingi istana tua yang selalu tak nampak terkikis waktu lagi setelah aku masuk didalamnya. Begitu megah dan indah.

Aku kemudian menyadari, banyak sekali hal-hal supranatural di dunia ini yang tak dapat dijelaskan dengan logika manusia. Anak tangga yang berbentuk spiral selalu berganti posisi. Dari sebuah gudang kosong yang pintunya dipenuhi lukisan-yang selalu berganti posisi setiap jam, terkadang terdengar dentingan piano yang memainkan nada Moonlight Sonata. Meskipun begitu aku tak terlalu menggubrisnya, hal-hal mistis tersebut sungguh indah bagiku

oOo

Hari ini, bibi memintaku untuk menjaga rumah.

Aku melakukan kembali hobiku yang telah lama aku tinggalkan sejak menetap di sini. Kubuka lembaran buku gambarku dan memulai guratan-guratan tipis dari pensilku

“Hei, kau menggambarku ya?” Suara Ayaka benar-benar mengejutkanku. Secara tiba-tiba, ia telah menampakkan wajahnya yang tersenyum menyapaku

“HWAAA!!!!! Bagaimana kau bisa masuk ke dalam rumahku??!!!”

“Hehehe….. Ayo jalan-jalan, cuaca hari ini sangat bagus loh!” Ayaka tak menjawab pertanyaanku

Entah bagaimana, dalam satu kedipan mata, aku sudah duduk bersama Ayaka pada puncak istananya…..

Sayangnya, lima hari kemudian, ibuku mengirim kabar bahwa aku harus segera kembali ke kota karena harus melanjutkan sekolah

“Asmamu sudah mulai membaik kan, Sora? Kamu boleh mulai mengemasi barang-barangmu. Minggu depan, ibu akan  menjemputmu” ucap bibiku pagi itu.

“Tidak! Bagaimana dengan Ayaka? Aku harus menemuinya sebelum aku pergi!” gumamku

Segera kukenakan sepatuku dan langsung berlari tergesa-gesa menuju istana Ayaka

“Ayaka… Ayaka!!!” teriakku sembari berlari-larian di halaman istananya

Namun aneh, sudah berkali-kali aku berteriak, Ayaka tak kunjung menghampiriku.

Sudah dua jam aku menunggu kehadiran Ayaka di halaman istananya. Akhirnya aku menyerah dan melangkah pergi, karena cahaya matahari hampir sirna.

Dadaku terasa sangat berat. Asmaku kambuh. Batuk berkepanjangan bukanlah hal baik, terutama aku akan kembali ke kota dalam waktu dekat. Napasku sesak, seolah tiada oksigen.

Udara malam yang dingin menerpa kulitku, sungguh menyiksa pernapasanku.

Bagaimana mungkin Ayaka tidak mencemaskanku?

“Aku benar-benar kecewa denganmu, Ayaka…,” gumamku dalam kesengsaraan

Malam itu aku terjaga sepanjang malam, berjuang mencari selayang udara untuk mengisi paru-paruku.

Bias cahaya lembut dari matahari pagi menyambut mataku yang masih menyipit. Aku tidak mendapat tidur yang cukup, namun aku tetap bangun dengan perasaan bahagia karena asmaku tak separah kemarin malam. Mungkin hanya dikarenakan faktor udara, pikirku.

Aku menghabiskan hari terakhirku di desa kecil ini dengan mengitarinya sendirian. Aku berjalan lambat, benar-benar lesu tanpa kehadiran Ayaka yang pembicaraanya selalu mengundang gelak tawa.

Langkahku tak terhenti hingga aku berpapasan dengan seorang wanita paruh baya dengan penampilan anggun, gaunnya terlihat usang dan wajahnya sangat asing. Ia sedang berdiri menghadap sebuah kanvas besar, tangannya menggenggam kuas yang melukis istana Ayaka-yang terlihat tidak bernyawa lagi di hadapannya. Sekilas pandangan aku mengabaikannya, namun ada sosok gadis yang tidak asing di dalam lukisannya.

“Lukisan yang sangat indah,” pujiku. “Gadis yang berpakaian gaun putih terlihat tidak asing bagiku…. Apakah ibu mengenalnya?”

“Ia adalah teman masa kecilku. Dahulu, dia adalah seorang putri yang tinggal di istana yang megah. Namun, ia ditelantarkan oleh keluarganya. Ia hanya dibiarkan terkurung di dalam kamarnya. Satu-satunya hiburan baginya adalah lagu-lagu klasik yang ia mainkan di piano besar warisan kakeknya. Saat ia menginjak usia dewasa, ia akhirnya menikah dengan seorang pria yang baik hati, dan sejak saat itu aku tak pernah berjumpa dengannya lagi….”

oOo

“Beres!” ucapku setelah selesai mengemasi seluruh pakaian dan barang-barang lainnya. Untuk memastikan tidak ada barang lain yang tertinggal, aku memeriksa setiap sudut dan membuka laci demi laci yang ada.

Semua laci kosong, hingga pada laci kelima yang kubuka…

Sebuah diari usang yang dipenuhi debu, terjatuh tepat di atas kakiku.

Kuusap debu tebal yang melekat pada sampul buku diari dengan hati-hati, dan perlahan terlihat sebuah kalimat yang tertulis pada sampul buku tua ini.

“Diari Ayaka, 1876.”

“Hari yang panjang, seperti biasanya. Dikurung dalam ruangan tanpa pemandangan ini, sungguh membosankan. Tak ada warna yang kulihat. Aku benci hidup dalam istana. Aku ingin tinggal di tempat yang sederhana, namun nyaman dan indah. Meski begitu, aku memiliki seorang sahabat. Pelayan istana seringkali mengusirnya, namun aku senang melihat lukisan yang ia buat. Ia adalah…satu-satunya orang yang mengenalkanku pada warna.”

Apakah Ayaka nyata, atau hanya sebatas arwah yang termakan waktu?

oOo

“Hai, Sora. Ayo kembali ke kota!” Sambut ibuku yang datang untuk menjemputku.

Setelah menyimpan seluruh barang bawaanku ke dalam kabin mobil, aku memandangi pemandangan desa yang asri ini sejenak, sebelum aku kembali kedalam kepadatan kota. Aku termangu, masih tak menyangka bahwa Ayaka mungkin hanya sekedar imajinasiku.   

Ibuku mulai menyetir mobil, menyusuri jalan kecil keluar dari desa. Kutatap sketsa wajah Ayaka di buku gambarku

“Sora… Sampai jumpaaa!!!”

Suara itu akhirnya kembali terdengar ketika mobilku melewati halaman istana yang kembali bernyawa dan berseri. Samar, dari salah satu jendela istana, kulihat Ayaka tersenyum hangat, melambaikan tangannya ke arahku, mengucapkan selamat tinggal

“Mungkin aku takkan melihatmu lagi, Ayaka…”

oOo

TENTANG PENULIS: Nama saya Cathleen, usia saya empat belas tahun dan masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Harapan saya, setiap rangkaian kata yang saya susun bisa menjadi inspirasi bagi yang membacanya.  Nomor rekening: 089530823751 (Shopeepay)

Cerpen Anak: Gang Seram Karya Aprillia Putri Utami

Suatu hari di sebuah desa suka makmur ada seorang anak yang bernama Putri. Putri merupakan anak yang cantik, baik, rajin, pemberani, dan patuh kepada orang tuanya.

Sore itu sekitar pukul setengah tiga, ia meminta izin kepada Ibunya untuk bermain bersama teman-temannya di lapangan yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya. Ibunya pun mengizinkan putri untuk bermain dan berkata,

    “Jangan pulang malam-malam ya, Nak.” Ucap Ibunya.

    “Iya, Bu.” Jawab Putri.

Putri pun segera pergi bermain bersama teman-temannya. Tak terasa waktu terus berjalan, karena keasyikan main, Putri lupa waktu.

Hari sudah sangat redup, matahari pun tampak mengucapkan selamat tinggal pada sore hari itu diiringi suara jangkrik dan kelelawar yang beterbangan.

Ibu Putri merasa sangat khawatir karena Putri tak kunjung pulang, padahal hari sudah gelap.

Putri teringat dengan pesan yang disampaikan oleh Ibunya sebelum ia pergi bermain tadi. Ia pun segera mengajak teman-temannya untuk segera pulang. Jalan rumah Putri berbeda dengan arah jalan rumah teman-temannya. Rumah Putri melewati gang yang terkenal di desa itu sangat seram.

Sebenarnya Putri tidak percaya dengan cerita-cerita itu semua.  Tetapi tidak tahu, mengapa sore ini Putri merasa takut tidak seperti biasanya. Dengan perasaan yang dipenuhi rasa takut, ia memberanikan diri untuk melewati gang itu.

Untuk menghilangkan rasa takutnya Putri sambil bernyanyi riang, namun tiba-tiba Putri sangat terkejut dengan apa yang ia lihat baru saja.

Tiba-tiba ada sosok berwarna putih melesat di depan matanya. Putri pun segera terdiam kaku dan terkejut dengan apa yang ia lihat. Tak pikir panjang, Putri segera berlari tunggang-langgang karena merasa sangat takut. Jarak rumah Putri tidak terlalu jauh dari situ.

Sesampainya di depan rumah, Putri melihat Ibunya sedang duduk di sebuah kursi dengan wajah yang cemas. Putri sangat takut Ibunya marah besar kepadanya.

Melihat Putri pulang, Ibu pun merasa lega tetapi di sisi lain Ibu heran melihat Putri yang lari tunggang langgang seperti itu.

     “Kenapa kamu pulang lama sekali? Tidak mendengarkan pesan Ibu tadi?” ucap Ibu  dengan nada sedikit marah.

      “Maafkan Putr,i Bu. Putri tidak akan pulang sore lagi,” ucap Putri dengan nada pelan.

.   “Ya sudah, sekarang mandi, ya. Ini sudah malam,” ucap Ibu sambil masuk ke dalam rumah.

Putri pun segera mengikuti Ibunya masuk ke dalam rumah, sambil melihat ke arah belakang. Ia memastikan apakah sosok yang di lihatnya tadi mengikutinya atau tidak.

Kemudian, ia menutup pintu dengan rapat lalu bergegas mandi. Putri masih terkejut dengan kejadian yang dialaminya, karena selama ini ia tidak percaya dengan hal mistis seperti itu.  

Setelah mandi, Putri segera menemui Ibu di meja makan untuk makan malam bersama. Putri menceritakan tentang apa yang terjadi selama di jalan pulang sehabis main tadi.

Ibu Putri pun segera memberi nasihat dan berkata, “Itulah mengapa, Nak, Ibu bilang tadi jangan pulang kesorean. Tidak apa-apa, kita memang hidup berdampingan bersama mereka yang tak kasat mata. Atau Putri hanya berhalusinasi saja tadi, makanya seperti itu,” ujar Ibu

      “Iya, Bu. Maafkan Putri, ya. Putri tidak akan melakukan hal ini lagi. Tadi Putri benar-benar keasyikan main, sampai tidak ingat pesan Ibu,” jawab Putri.

      “Baiklah, sekarang segera habiskan makanannya. Setelah itu tidur, karena besok kan kamu harus sekolah.”

Putri pun menghabiskan makanannya dan meninggalkan meja makan untuk pergi ke kamarnya dan tertidur.

Sebelum tidur, Putri masih teringat peristiwa tadi dan ia pun bergumam tidak akan melewati gang itu lagi.

Tak lama dari itu Putri pun tertidur dengan pulas. Saat sedang tertidur, Putri mendengar ada yang mengetuk pintu keras sekali. Mendengar hal itu, Putri terbangun dan segera membuka pintu tersebut dan anehnya tidak ada siapa pun di balik pintu itu. (*)

TENTANG PENULIS: Namaku Aprillia Putri Utami, biasanya aku di panggil Putri. Aku merupakan siswi Sekolah Dasar Negeri 53 kabupaten Tebo, provinsi Jambi. Saat ini, aku menduduki kelas 5 SD. Aku suka sekali membuat cerpen, dan akan terus belajar. Selain itu, aku juga memiliki hobi menggambar.

CERPEN ANAK: Mulai Juni 2025 ada kategoi baru, yaitu Cerpen Anak. Tayang dua mingguan Setiap Sabtu, bergantian dengan CERPEN SABTU. Penulisnya khusus untuk anak-anak usia SD dan SMP; dia bisa saja anak kita, keponakan kita, muid-murid kita di sekolah atau cucu kita. Panjang cerpen anak cukup antara 500 – 1000 kata. Redaksi menyediakan honorarium Rp 100.000,- Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri atau ChatGPT. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Anak. Ayo, ditunggu. Silakan dikirim. Edisi perdana 7 Juni 2025. Jangan sampai ketinggalan.

Cerpen Anak: Siska Si Ranking 1 Karya Rumaina Ilmi B

Pagi ini Siska berangkat ke sekolah untuk mengikuti ujian. Siska harap-harap cemas meskipun sudah belajar terus menerus sampai lupa makan. Hal tersebut dia lakukan karena ingin mendapat rangking satu di kelas. Namun, saat tiba waktunya pembagian raport, ternyata Siska hanya mendapat ranking enam belas dari dua puluh enam siswa/siswi. Siska pun merasa sedih. Namun, di sisi lain dia cukup senang karena di kelas 4 dia kembali satu kelas dengan sahabatnya yang bernama Cellin.

“Eeh Siska, kamu di kelas ini?” tanya Cellin yang tak kalah senang.
“Iya nih, Cellin,” jawab Siska.
“Oh iya Siska, kamu dapat rangking berapa?”
Siska pun menjawab dengan muka lesu, “Aku dapat rangking enam belas.”

“Kasian, gimana kalo aku bantu?” tawar Cellin.
“Emang kamu dapet ranking berapa?”
“Aku dapet ranking dua.”
“Wah! Kamu hebat, Cellin! Kalo gitu kamu ajarin aku, ya?”
“Oke, besok aku ke rumah kamu ya, Siska!”
“Ok Cellin, tapi kamu datang jam berapa?”
“Emm, jam sembilan bisa gak?”
“Bisa, kok!”
“Ya udah aku pulang dulu ya? Daah!”
Siska membalas lambaian tangan. “Daah hati-hati di jalan!”

Keesokan harinya.

“Siska! Siska!” seru Cellin dari luar pagar rumah Siska.
Ibu Siska pun membuka pintu. “Eh, Cellin, ada apa pagi-pagi datang ke sini?” tanya Ibu Siska sambil membuka pagar.
“Eeh, Tante, mau ketemu Siska.”
“Ooh mau ketemu Siska. Ayo, masuk dulu!”
“Iya, Tante, makasih.” Cellin pun mengikuti Ibu Siska masuk ke dalam rumah.

“Siska ini ada temenmu!” seru ibunya Siska.
“Siapa?” tanya Siska dari dalam kamar.
Ibunya Siska menjawab, “Cellin.”

Siska pun segera keluar kamar untuk menemui Cellin. “Eeh, Cellin! Mau mulai sekarang aja belajarnya?”
Cellin menjawab, “Ya iyalah, emang mau kapan?”

“Ini buku-buku buat apa ya?” tanya Siska heran melihat banyak sekali buku yang dibawa oleh Cellin.
“Ya buat belajar kita, dong!” sahut Cellin.
“Ooh, oke!” Siska mengangguk-angguk.
“Ayo, kita langsung belajar!”

Siska dan Cellin pun mulai belajar bersama selama dua jam. Saat sudah selesai belajar, Cellin pun pamit pulang, tetapi buku catatan Cellin tertinggal di rumah Siska, yang kemudian dibaca, dan dipelajari oleh Siska.

Siska pun mengerti tentang pelajaran-pelajaran karena buku itu. Lambat laun Siska mulai menunjukkan peningkatan nilai, dan Siska pun menjadi anak terpintar di kelasnya.

Tibalah kembali di ujian kenaikan kelas, tetapi Siska tampak masih gelisah. Melihat hal tersebut, Cellin dan Nina yang juga murid pintar pun menghampiri Siska.

“Cellin, Nina, ada apa?” tanya Siska.
“Kita ke sini untuk ngucapin semangat,” jawab Cellin.
“Makasih ya,” sahut Siska.
Nina membalas, “Iya sama-sama.”
“Kita ke meja dulu ya, Siska,” ucap Cellin, lalu mereka berdua pun kembali ke meja.

Sepulang sekolah Siska berlari sangat kencang ke rumahnya. Saat sudah sampai di rumah, Siska langsung membuka buku catatan, dan belajar untuk ujian Matematika besok.

Saat sudah malam Siska pun tidur. Di mimpinya Siska mendapat nilai 100. Di pagi hari Siska pergi ke sekolah dengan muka yang senang.

“Tumben Siska keliatan seneng, biasanya cemberut,” ucap Cellin bingung. Akhirnya Cellin memanggil, “Eh, Siska tunggu!”
“Ada apa, Cellin?” tanya Siska.
“Tumben seneng?”
“Aku itu seneng karna semalam aku mimpi dapet nilai seratus, Cellin.”
“Ooh, gitu? Tapi nanti pas ulangan dapet angka sembilan lima lagi kayak waktu itu,” ledek Cellin sambil terkekeh.

“Aku yakin kok aku dapet nilai seratus,” tukas Siska
“Kalau gitu kita buktiin mau gak?”
“Siapa takut?”
“Kalau kamu kalah, kamu traktir aku. Kalau aku kalah, aku traktir kamu. Gimana mau gak?” tanya Cellin.
“Ok kalau itu mau kamu, berarti kita sepakat ya? Deal?!”
“Deal!”

Saat mulai ulangan, Siska sudah mulai semangat lagi, tapi Siska sudah punya saingan, yaitu Cellin, bestie-nya sendiri. Sebenarnya Siska tidak mau sepakat, tapi Cellin tidak percaya, akhirnya Siska harus deal supaya Cellin percaya.

Saat ulangan, Siska langsung berdoa agar mendapat nilai seratus, dan benar saja, Siska mendapat nilai yang dia harapkan. Siska pun senang karena pada akhirnya bisa mendapatkan ranking satu. Sesuai kesepakatan, Cellin pun mentraktir Siska.

“Yah, aku kalah,” ucap Cellin dengan nada kesal, dan tidak tidak terima dengan hasilnya. Namun, Cellin tetap mentraktir Siska yang pada saat itu ingin dibelikan seblak. Cellin juga tetap senang karena berhasil membatu Siska dapat nlai bagus.

oOo

TENTANG PENULIS: Namaku Rumaiza Ilmi Bilhusnaa. Aku lahir di Bandung, 14 Januari 2017. Saat ini aku sekolah di SDN 047 Balonggede Kota Bandung kelas 2. Hobiku membaca dan menggambar.

CERPEN ANAK: Mulai Juni 2025 ada kategoi baru, yaitu Cerpen Anak. Tayang dua mingguan Setiap Sabtu, bergantian dengan CERPEN SABTU. Penulisnya khusus untuk anak-anak usia SD dan SMP; dia bisa saja anak kita, keponakan kita, muid-murid kita di sekolah atau cucu kita. Panjang cerpen anak cukup antara 500 – 1000 kata. Redaksi menyediakan honorarium Rp 100.000,- Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri atau ChatGPT. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Anak. Ayo, ditunggu. Silakan dikirim. Edisi perdana 7 Juni 2025. Jangan sampai ketinggalan.

Cerpen Anak: Teman Baru di Taman Pelangi Karya Hanifa

Alya adalah seorang gadis kecil berusia enam tahun. Ia memiliki rambut hitam lurus yang selalu dikepang dua oleh ibunya setiap pagi. Wajahnya manis dengan mata bulat bening yang memancarkan rasa ingin tahu, meskipun sering menunduk karena malu. Suaranya lembut dan pelan, hampir seperti bisikan.

Ia memiliki sifat yang pemalu, sering merasa gugup saat bertemu orang baru, sehingga Alya tidak mempunyai teman. Ia lebih nyaman sendirian, tenggelam dalam dunia imajinasinya sendiri.

Alya sangat suka menggambar pelangi dan bunga. Setiap sore, ia selalu bermain sendiri di Taman Pelangi, taman penuh bunga warna-warni, dengan ayunan kayu di bawah pohon besar.

Namun, Alya tidak pernah naik ayunan atau bermain petak umpet seperti anak-anak lainnya. Ia lebih suka duduk di bangku dekat kolam dan menggambar dengan krayon warna-warni. Di atas kertas, ia menggambar pelangi, bunga, kupu-kupu, dan tokoh-tokoh khayalan yang menjadi temannya. Ia sering membayangkan punya teman bermain yang baik hati dan tidak akan menertawakan dirinya yang pendiam.

Suatu hari, seorang anak laki-laki seusianya datang ke taman itu. Namanya Algi. Ia datang dengan sepeda kecil berwarna oranye dan langsung berlari ke arah ayunan sambil tertawa riang.

Tak lama kemudian, Algi melihat Alya yang sedang menggambar. Ia menghampiri dan tersenyum. “Hai! Aku Algi. Mau main petak umpet?” katanya ceria.

Tapi Alya hanya tersenyum kecil dan kembali menunduk menggambar.

Algi bingung. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Apa aku melakukan sesuatu yang salah ya?” Namun ia tidak menyerah.

Setiap sore, Algi kembali ke taman dan selalu mengajak Alya bermain, tapi hasilnya tetap sama. Alya hanya tersenyum dan tidak berkata apa-apa.

Beberapa hari kemudian, Algi berhenti mengajaknya bermain. Ia tetap datang ke taman, tapi hanya bermain sendiri.

Alya mulai merasa sedih dan kesepian. Ia merindukan suara Algi yang ceria. Tapi ia masih takut untuk berbicara lebih dahulu. Ia bingung bagaimana cara memulai pertemanan. Kata “hai” terasa begitu sulit diucapkan.

Suatu sore yang cerah, Alya melihat Algi duduk termenung di pinggir kolam. Pesawat kertas yang tadi ia mainkan kini mengambang di tengah air, basah dan tak bisa dijangkau.

Algi tampak kecewa. Alya memandangi wajah sedih itu dan merasa sesuatu bergerak dalam hatinya. Ia tahu rasanya bermain sendiri, dan ia tidak ingin Algi merasa seperti itu.

Dengan keberanian kecil yang ia kumpulkan, Alya membuka kotak krayonnya. Ia mengambil gambar pesawat kertas yang pernah ia buat. Perlahan-lahan, ia mendekat ke arah Algi.

Ragu-ragu, tangannya gemetar saat ia menyodorkan gambar itu. “Ini… untuk kamu,” ucapnya pelan hampir seperti bisikan.

Algi menoleh dan tersenyum lebar. “Terima kasih! Ini cantik sekali!”

Alya menunduk malu.
”Namaku ’Algy’. Masih ingat kan. Nama kamu, siapa?”
”Alya…,” suaranya pelan.
”Mau bermain petak umpet bersama sekarang?”

Alya mengangguk malu-malu. Pipinya memerah, tapi hatinya hangat.

Sejak hari itu, mereka menjadi sahabat. Mereka sering bermain bersama di taman, berlari, tertawa, bahkan menggambar bersama.

Alya mulai berani menyapa anak-anak lain juga. Ia belajar bahwa berteman tidak harus dimulai dengan kata-kata yang panjang atau keberanian besar. Kadang, cukup dengan senyum dan langkah kecil, semuanya bisa berubah.

oOo

TENTANG PENULIS: Hai! Namaku Fitri Hanifa Seplin. Sekarang aku berumur 7 Tahun. Aku suka sekali menggambar dan mewarnai. Aku juga suka bercerita. Aku belum bisa menulis cerita dengan bagus, tetapi aku memiliki seorang Tante atau yang sering kupanggil Uncun membantuku menuliskannya. Terima kasih Uncun.

CERPEN ANAK: Mulai Juni 2025 ada kategoi baru, yaitu Cerpen Anak. Tayang dua mingguan Setiap Sabtu, bergantian dengan CERPEN SABTU. Penulisnya khusus untuk anak-anak usia SD dan SMP; dia bisa saja anak kita, keponakan kita, muid-murid kita di sekolah atau cucu kita. Panjang cerpen anak cukup antara 500 – 1000 kata. Redaksi menyediakan honorarium Rp 100.000,- Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri atau ChatGPT. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Anak. Ayo, ditunggu. Silakan dikirim. Edisi perdana 7 Juni 2025. Jangan sampai ketinggalan.