Oleh Djoko ST
Hari masih sangat pagi saat bis kecil yang kami tumpangi mulai bergerak perlahan meninggalkan kawasan Taman Ganesha, Bandung, Jawa Barat, tempat kami berkumpul. Tujuan kami hari itu adalah kawasan Indonesia Power Plant, PLTA Saguling, Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat. Hari itu kami berencana melakukan petualangan alam bebas ke daerah aliran Sungai Citarum lama yang lokasinya tidak jauh dari PLTA Saguling.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu setengah jam, tibalah kami di tempat yang dituju. Kami langsung diminta berkumpul di samping kompleks bangunan Indonesia Power Plant untuk melihat gua purbakala Sanghyang Tikoro, yang letaknya persis di samping kompleks.

Sambil mengamati Sanghyang Tikoro, salah seorang pemandu menjelaskan mengenai proses jebolnya Danau Bandung purba. Menurut pemandu kami, surutnya Danau Bandung Purba disebabkan oleh erosi hulu intensif yang terjadi di punggungan Pasir Kiara serta Pasir Larang, dan bukannya terjadi di Gua Sanghyang Tikoro.
Sanghyang Tikoro sendiri merupakan sungai bawah tanah yang berada di jajaran perbukitan kapur aliran Sungai Citarum lama. Secara harfiah, sanghyang (bahasa Sunda) berarti dewa, sementara tikoro artinya kerongkongan. Jadi Sanghyang Tikoro berarti Dewa Kerongkongan.
Di kawasan Sanghyang Tikoro terdapat dua alur sungai. Sungai pertama mengarah ke kiri seperti sungai biasa dan bisa dilihat dengan jelas alirannya, sementara sungai kedua mengarah ke kanan, lenyap di Gua Sanghyang Tikoro. Sejauh ini, masih banyak misteri yang belum terungkap terkait dengan kondisi detil bagian dalam Gua Sanghyang Tikoro.

Usai mengamati Sanghyang Tikoro, kami kemudian menuju Gua Sanghyang Poek yang letaknya sekitar dua kilometer dari Sanghyang Tikoro. Perjalanan menuju Sanghyang Poek ditempuh dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak dipinggir Sungai Citarum lama. Sanghyang Poek berupa gua kapur dan merupakan bekas gua bawah tanah ketika aliran Sungai Citarum belum dibendung di Waduk Saguling seperti sekarang ini.
Sesuai dengan namanya yaitu Sanghyang Poek yang berarti Dewa Gelap, gua ini gelap gulita. Sebagaimana diketahui, poek dalam bahasa Sunda berarti gelap. Tanpa alat penerangan yang memadai, mustahil kita bisa melihat apa pun di dalam gua ini.
Lorong gua berkelok-kelok dengan panjang sekitar 10 meter. Stalagtit menghiasi sebagian dinding atas gua. Dasar gua basah, lembab serta tidak rata. Menyusuri lorong Gua Sanghyang Poek, kita harus ekstra hati-hati. Jika lengah sedikit, alamat kaki atau pun kepala kita bakal terantuk batu kapur.

Keluar dari Gua Sanghyang Poek, kami langsung berada di bibir Sungai Citarum. Suara gemericik air yang mengalir di sela-sela bebatuan ke arah barat memecah kesunyian yang ada di sekitar mulut Gua Sanghyang Poek yang mungkin bagi sebagian orang terkesan angker.
Nama Citarum Citarum sendiri terkait erat dengan sejenis tumbuhan bernama tarum (Indigofera tinctoria), yang daunnya, di masa lalu, bisa dipakai untuk bahan pewarna kain. Dari tradisi mewarnai kain menggunakan daun tarum inilah kemudian muncul nama-nama seperti Citarum, Pataruman maupun Tarumanagara.
Batu Hiu
Setelah beristirahat beberapa saat di depan mulut gua Sanghyang Poek yang menghadap Citarum, kami melanjutkan petualangan dengan menyusuri aliran Sungai Citarum. Selain harus berjalan dan melompat di antara batu-batu, kami juga sekali-kali harus nyemplung ke dalam sungai. Batu-batu besar yang ada di sepanjang aliran Citarum tidak jarang menyulitkan sebagian dari kami untuk bisa bergerak lebih cepat dan leluasa.

Di sebuah batu yang dijuluki Batu Hiu, kami kembali beristirahat. Sembari beristirahat. Di sekitar Batu Hiu, terdapat banyak jublegan (pothole). Jublegan terjadi oleh adanya batu kecil atau kerikil yang terjebak pada cekungan sebuah batu lain yang lebih besar di daerah aliran sungai dan menimbulkan gerusan yang akhirnya meninggalkan bekas berupa lubang menganga seperti jubleg (lesung).
Dari Batu Hiu, petualangan dilanjutkan ke arah Leuwi Gobang dan Leuwi Malang. Leuwi Gobang merupakan salah satu kawasan aliran Citarum di mana lapisan batu pasir berselang-seling dengan batu lempung dalam posisi tegak seperti pedang (gobang). Karena itulah, kawasan ini dinamai Leuwi Gobang. Kata leuwi sendiri berarti lubuk, yaitu bagian terdalam pada aliran sebuah sungai. Adapun Leuwi Malang merupakan daerah aliran Citarum dalam Patahan Rajamandala yang dipenuhi oleh lapisan-lapisan batuan yang sebarannya melintang (malang) pada aliran sungai.
Saat menuju kawasan Leuwi Malang, kami dibuat agak ketar-ketir. Masalahnya, selain medannya semakin berat, cuaca yang semula cerah mendadak berubah mendung. Tidak lama, rintik hujan mulai turun. Dalam kondisi medan yang bertambah berat dan hujan semakin deras dengan disertai sekali-kali gemuruh guntur, toh perjalanan tetap dilanjutkan menuju kawasan Leuwi Malang. Lepas tengah hari, akhirnya kami sampai di Leuwi Malang. Hujan masih terus mengguyur, beberapa orang yang tidak membawa perlengkapan hujan kemudian berinisiatif menggunakan daun keladi besar sebagai pengganti payung untuk melindungi diri mereka.
Sangat berat
Setelah beristirahat dan bersantap siang di Leuwi Malang, rencananya perjalanan akan diteruskan hingga mencapai daerah Leuwi Heureut. Kawasan ini merupakan lubuk yang cukup dalam dengan genangan air yang tenang berwarna kehijauan di antara lapisan-lapisan batu pasir tebal. Aliran sungai Citarum mengalami penyempitan (heureut) di kawasan ini sehingga kemudian dijuluki sebagai Leuwi Heureut.

Cuma, mengingat cuaca buruk dan medan menuju ke daerah Leuwi Heureut sangat berat, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya kami memutuskan untuk membatalkan perjalanan lanjutan ke kawasan ini. Dengan demikian, petualangan kami pun harus berakhir di Leuwi Malang.
Setelah beres-beres, kami segera bergegas kembali menuju Sanghyang Poek. Meski demikian, bukan berarti perjalanan balik dari Leuwi Malang ini cukup mudah. Pasalnya, hujan yang tadinya sudah reda kembali turun membasahi Bumi yang menjadikan perjalanan pulang harus semakin hati-hati karena kondisi medan yang dilewati akan semakin licin.
Tiba kembali di Sanghyang Poek, kami melepaskan penat sejenak di bibir gua, semebari berfoto-ria. Sesaat kemudian, kami bergegas menuju kawasan Indonesia Power Plant untuk akhirnya kembali ke Kota Bandung saat hari merambat malam.
-Djoko ST, penulis lepas. Tinggal di Cimahi. Bisa disapa lewat IG @enambelaspas

TRAVELING setip hari Jumat. Nah, kamu punya cerita traveling? Tidak selalu harus keluar negeri, boleh juga city tour di kota sendiri atau kota lain masih di Indonesia. Antara 1000-1500 kata. Jangan lupa transportasi ke lokasi, kulinernya, penginapannya, biayanya tulis, ya. Traveling diluar negeri juga oke. Fotonya 5-7 buah bagus tuh. Ada honoarium Rp. 100.000. Kirim ke email gongtravelling@gmail.com dan golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: traveling.
