Dinding batako mentah, tanpa seulas plester, memeluk erat rumah Darmin di sudut kumuh ibu kota. Ventilasi? Hanya celah-celah sempit yang menyedot debu dan panas.
Namun, rumah itu telah menjadi tempat tinggal Darmin dan keluarganya selama kurang lebih 11 tahun terakhir.
Darmin, seorang supir angkot dengan penghasilan tak menentu, sering merasa tertelan oleh kenyataan. Ia iri melihat nasib temannya, Jono, tiba-tiba kaya setelah memenangkan jackpot dari judi online.
Ia pun mulai bermain judi online dengan harapan bisa bernasib sama seperti temannya. Ia menyisihkan uang hasil narik angkot untuk DP slot.
Darmin pun merasakan getaran itu, koin digital berdentang di layar hp-nya. Angka saldo melonjak lima ratus ribu dalam semalam — uang yang biasanya harus ia kejar setengah minggu narik angkot.
Dadanya berdebar kencang, mulutnya kering. “Ini baru awal!” pikirnya
Matanya tak lepas dari website slot online di hadapannya. Dua ratus ribu untuk DP slot berikutnya langsung ia gelontorkan, lebih besar dari biasanya.
Kemenangan pun kembali didapatkannya.
Dua hari kemudian, saldo ‘kemenangannya’ membengkak jadi Rp 1,2 juta.
Darmin tak kuasa menahan diri. Saat ketemu Jono di warung kopi dekat terminal, ia pamer saldo hape-nya yang bertengger di angka Rp 1,2 juta.
“Liat, Jon! Baru tiga hari main, hampir nutup sewa angkot sebulan!” soraknya, jari gemetar menunjuk layar.
Jono menyedot rokoknya dalam-dalam, matanya merah, ada bekas lilin di jaket sintetisnya —entah bekas begadang atau hal lain.
Senyum kecut Jono mengembang. “Satu jutaan? Itu receh, Darmin,” hardiknya, asap mengepul dari hidung. “Kalo mau serius, jangan mainin slot virtual gituan. Main beneran!”
Darmin tertegun. “Main beneran, gimana?”
“Pemerintah udah buka kasino resmi, kok! Di Pantai Indah, deket pelabuhan. Buat nambah APBN katanya,” Jono menepuk punggung Darmin.
Darmin gelisah.

“Gue dapet info dari orang dalam, nih. Di sana jackpotnya miliaran, bukan cuma recehan kaya di hape lu. Duit beneran, bukan angka doang!” Matanya berbinar licik.
Darmin berdebar-debar.
“Percuma lu nabung setahun nyetir, Jon. Satu malam di meja roulette bisa bikin lu beli rumah baru!”
Darmin mengamati jam tangan Jono —jam tangan usang yang sama sekali tidak mencerminkan kekayaan. Sebuah pikiran samar melintas, namun buru-buru ia tepis, pikiran tentang rumah baru jauh lebih menggiurkan.
Kata-kata Jono tadi siang menggerogoti pikiran Darmin sepanjang hari. Rp 1,2 juta di aplikasi tiba-tiba terasa hampa.
Malam itu, ia memandangi langit-langit kamar yang dihiasi noda rembesan hujan. “Kasino resmi… pasti lebih jujur dan kredibel,” bisiknya.
Ia menghitung uang di laci — Rp 1,2 juta dari slot, ditambah Rp 800 ribu tabungan uang sekolah anak-anaknya, Ani dan Slamet mulai dari seragam sampai uang buku. “Gue yakin pasti balik modal bahkan bisa untung berkali-kali lipat!” ujarnya meyakinkan diri sendiri.
Darmin memandangi foto pernikahannya yang pudar. Rini, istrinya tertawa memegang kembang kertas, jauh sebelum genteng bocor dan got mampet menggerogoti senyum itu. Dia menekan uang itu ke dadanya—seolah bisa menahan genteng agar tak jebol lagi.
Esoknya, Darmin mengendarai motor tuanya menuju kawasan Pantai Indah. Semakin dekat dengan pelabuhan, semakin asing pemandangannya. Mobil mewah bersliweran, gedung-gedung kaca menjulang, dan plang neon raksasa bergambar dadu dan poker chip bertuliskan “Grand Fortune Casino: Legal & Licensed”.
Di parkiran, motor tuanya terkunci sendirian di antara Mercedes hitam.
Darmin tercekat di depan pintu masuk gedung. Petugas keamanan berseragam membukakan pintu kaca tebal kepada pengunjung berpakaian perlente dengan kaus polo warna putih dilengkapi celana chino warna krem potongan sempurna.
Ketika Darmin mendekat memasuki gedung, petugas keamanan memicingkan mata, mengamati penampilan Darmin dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Sederhana sekali dia, tapi siapa tahu dia milyuner. Toh banyak orang-orang yang pakaiannya nyeleneh dan sederhana ternyata orang kaya,” pikir petugas.
Akhirnya, petugas keamanan tersenyum dan mempersilakannya masuk.
Dinginnya AC menusuk tulang Darmin, kontras sekali dengan panas di pemukimannya. Aroma parfum mahal dan alkohol menguar, bukan bau got dan gorengan yang biasa dihirupnya. Lampu kristal berkilauan memantulkan suara mesin slot yang riuh rendah.

“Oh, jadi seperti ini kehidupan orang kaya, beda sekali dengan hidup rakyat jelata sepertiku!”
Darmin pun mendekati salah satu meja slot.
“Silakan bermain, Pak! Minimal deposit dua juta saja, Pak!” ujar pramusaji dengan ramah.
Darmin berkeringat. Uang sakunya Cuma dua juta pas — tabungan sekolah anaknya dan “kemenangan”-nya.
“Demi masa depan…”
Darmin menyodorkan uang tunai ke pramusaji. Ia menarik tuas besi.
BRRNG!
Lampu berkedip, bel berbunyi nyaring.
Angka Rp 4 juta muncul di layar! Dadanya sesak. “Jon benar…!” Tapi saat ia mau mencairkan, petugas menggeleng: “Harus main minimal tiga putaran, Pak.”
Putaran kedua: LAYAR MERAH .
Dua juta menguap begitu saja.
“Sekali lagi, semoga jackpot!” gumam Darmin.
Putaran ketiga: GAME OVER bergerak perlahan.
Darmin terduduk lemas. Ia membalikkan saku kosongnya. Di seberang ruangan, ia melihat Jono tertawa lebar dengan segelas wiski. Jono bersulang dengan seorang pria bertato naga di lengannya. Ada amplop cokelat berpindah tangan. Sekarang ia paham: Jono bukan pemain. Dia penjebak, calo yang mendapatkan komisi.
Darmin terpaku di kursi empuk itu. Bunyi koin dan tawa riuh berubah jadi deru angin yang menyayat.
Di luar, hujan mulai mengguyur atap seng pemukimannya. Pandangannya menerawang. Bagaimana ia akan menebus kesalahannya? Apa yang harus ia katakan pada istri dan anaknya? Pikiran-pikiran negatif berkecamuk.
Darmin menyeret kakinya yang terasa seperti timah cair keluar dari kasino, pulang. Hujan deras mengubah gang sempit jadi kubangan lumpur hitam. Kaki-kakinya berat bukan karena becek, tapi karena beban dua juta rupiah yang menguap. Saat membuka pintu triplek reyot, bau anyir got bercampur asap kayu bakarmenyambutnya —
Rini sedang merebus air untuk mi instan. “Dari mana semalaman?” tanya Rini tanpa menoleh, suaranya datar seperti langit-langit berjamur.
Darmin tak menjawab. Ia duduk di dipan kayu lapuk, baju basah melekat di kulit mengeluarkan aroma keringat dan hujan kotor. Matanya kosong menatap dinding batako yang retak seperti jaring laba-laba. Rini memicingkan mata. Dia tahu.
“Kau ke kasino itu, ya? Membawa uang di laci kamar?” bisik Rini dingin. Sendok di tangannya bergetar.
Darmin mengangguk pelan. “Jono ngajak… katanya kasino…”
PLAK!
Rini menampar keras Darmin. “Dasar lelaki tolol!” Rini meraung, suaranya pecah, serak seperti serutan papan, menyobek kepulan asap dapur.
“Jono?! Jono itu CALO! Dia dapet duit tiap kali orang lugu kayak kau terjebak di lubang itu!”
Darmin menunduk. Air hujan dari atap bocor menetes ke tengkuknya, menyatu dengan keringat.
Rini mendekat, wajahnya memerah, urat lehernya menonjol. “Kau kira kita bisa kaya seperti orang di TV?!” Tangannya mencengkeram bahu Darmin, kuku kasarnya menusuk kulit seperti belati tumpul.
“Ah…”
“Kasino itu bukan untuk kita, Darmin! Itu hiburan buat mereka yang uangnya bisa dibakar dan dihamburkan!” Rini menarik napas dalam, matanya merah seperti bara. “Lihat sekeliling kita!”
Darmin menunduk.
“Uang sekolah anak-anak, uang jatah makan kita, bahkan uang untuk renovasi genteng bocor yang kau janjikan dari bulan lalu…semua kau hilangkan dalam sekejap di tempat laknat itu!”
Sesak dada Darmin.
Tangan Rini menunjuk liar ke arah baju seragam Ani dan Slamet, lalu ke panci mi instan tanpa telur diakhiri menunjuk ke langit-langit berjamur yang bocor menggenangi ember-ember penadah, seolah tangisan rumah itu sendiri.
Darmin hanya terdiam. Ia menatap istrinya. Di mata Rini, ia tak lagi melihat kemarahan melainkan jurang kehancuran yang ia gali sendiri, menganga lebar di hadapannya.
“Aku… aku cuma mau mengubah kondisi ekonomi kita, Rin,” gumam Darmin, suaranya serak. “Seperti Jono…”
“Dasar lelaki tolol!” Rini meraung. “Jono?! dia cuma ikan kecil yang kebetulan nyemplung jaring! Sekarang dia jadi penjaga jaring buat menjerat orang lain!”
Darmin menatap kosong. “Tapi dia menang… mobil… rumah…”
“MENANG?!” Rini tertawa pahit. “Seminggu lalu aku melihatnya digebuki debt collector di pasar! Mobilnya sudah disita, rumahnya digadaikan buat bayar bunga pinjaman judi!”
“Hah?”
Rini menarik napas dalam.“Kau kira keberuntungan dari usaha haram bisa diduplikat? Jono menang sekali, tapi kalah seribu kali setelahnya! Sekarang dia hidup dari komisi menjerumuskan orang bodoh sepertimu! Kau tergiur ucapannya begitu saja tanpa mengetahui semua itu? Bagaimana kau bisa sebodoh itu, Darmin!” maki Rini.
Darmin menggigil dengan kepala menunduk dalam. Setiap kata yang diucapkan sang istri menghantam logika dan perasaannya. Dia menyadari bahwa dia bukanlah korban. Dia bukan pahlawan yang gagal. Dia hanyalah sekrup yang terlepas — membuat seluruh mesin keluarganya runtuh.
Air mata Darmin menggenang di pelupuk mata. Pikirannya melayang. Entah bagaimana ia menyelesaikan masalah akibat ulahnya ini. Belum selesai dengan berbagai pikiran buruk yang berkecamuk, istrinya mendekat.

“Kau pikir kasino itu tempat orang miskin mengubah nasib? ITU KARNIVAL BUAT ORANG KAYA YANG BOSAN! Bagi kita? Ini bencana!”
“Rin…”
Tangan Rini menunjuk kaleng beras setengah kosong. “Uang makan kita… uang sekolah Ani dan Slamet… renovasi genteng bocor yang kau janjikan… SEMUA KAU JADIKAN CHIP BUAT HIBURAN PARA JUTAWAN!” maki Rini, suaranya serak berisi racun kekecewaan.
Setelahnya, Rini tak berkata apa-apa lagi. Dia mengaduk mi instan di panci.
Air hujan dari genteng bocor menetes…
PLUNG… PLUNG… tepat ke dalam kuah.
Mereka makan dengan suara hujan yang semakin keras.
oOo
TENTANG PENULIS: Noorma Paramitha, lahir dan tinggal di Semarang. Lulusan Biologi UNNES yang kini bekerja sebagai pegawai swasta. Gemar menulis dan travelling, ia kerap membagikan kisah perjalanannya di Instagram @dear_noormal. Saat ini tertarik menulis puisi dan cerpen. Puisi-puisinya terbit di media daring maupun buku antologi hasil kompetisi menulis puisi. Nomor WhatsApp: 08893336535.

CERPEN SABTU Cukup 1000 – 1500 kata. Teknik menulis baru diperbolehkan, kritik sosial, plot point, absurd, realis, surealis, boleh. SARA dan pornografi dilarang. Redaksi menyediakan honor Rp. 100 ribu. Terbit mingguan setiap hari Sabtu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri. Kirim ke email gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Sabtu. Jika ingin melihat cerpen-cerpen yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:

