Arsip Tag: Puisi Esai Gen Z

Puisi Esai Gen Z: Petaka di Bilik Santri Karya Zulfa Wafirotul Khusna

Pemimpin pesantren, Moh. Sahnan alias MS (51), ditangkap anggota Satreskrim Polres Sumenep pada Selasa (10/6/2024), setelah melarikan diri ke wilayah Situbondo, Jawa Timur. Sebanyak 13 perempuan mengaku mengalami kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh pemilik sekaligus pengurus salah satu pondok pesantren di Pulau Kangean, Sumenep, Jawa Timur. Kuasa hukum para korban, Salamet Riadi, mengatakan mereka mengalami kekerasan seksual saat menjadi santri di pesantren sekitar 2016-2024. Rata-rata para korban mengalami kekerasan lebih dari satu kali. )

Aku membuka room chat di WhattApp alumni pondok pesantren
sambil membenarkan jilbab yang melorot ke depan.
Hatiku tersayat tanpa belati,
Bahuku bergetar menahan tangis,

Airmataku menggenangi pelupuk pipi, Membaca setiap kata yang mengiris ulu hati.
“Tokoh agama yang seharusnya menjadi panutan justru melakukan pelecehan.”
Itu lah headline yang tertulis dalam huruf bold yang tebali.

Di Ndalem, tepatnya di kamar, seorang pemuka agama dengan modus menyuruh santrinya mengantar minuman. Setelah itu, melakukan aksi bejatnya dengan keji, Doktrin pemuka agama ditelan mentah-mentah oleh santri,

Kami ketakutan dan hilang arah,
Suara kami dibungkam dengan ancaman,
Fisik dan mental kami dibabat habis-habisan tanpa belas kasihan

Kami dilecehkan selama bertahun-tahun
Wejangan yang mengatasnamakan agama
membelit kami dalam kesengsaraan selama bertahun-tahun.

Masih teringat kejadian di mana aku dimintai tolong memberikan air minum dan aku dilecehkan secara paksa. Aku kembali dari kamar itu dengan berjalan menunduk.

Aku juga ingin keadilan,
Tapi yang kudapat hanya kesedihan,
Pemuka agama itu masih bisa hidup dengan tenang,
Sedang, aku dipaksa bungkam selama bertahun-tahun,
Aku membungkam luka dengan senyum palsu
Menelan trauma yang merampas kewarganegaraan
Karena, bagi mereka kekerasan adalah aib apalagi bagi kaum perempuan,

Tiba-tiba Ibu datang hendak memberikan makan malam, tanpa sengaja membaca isi percakapan yang membuatnya badannya melemah sampai jatuh ke lantai yang dingin. Matanya memerah, “Apakah ini benar? Mengapa kamu diam?”

Aku mencoba mendekap Ibu dengan erat. “Maaf Ibu, aku tak sanggup menceritakan waktu itu,” ujarku terbata-bata. Luka lama di pondok pesantren kini menganga dan ini yang aku takutkan kesehatan ibuku selepas mendengar kabar buruk ini.

Ibu syok berat, bahunya masih bergetar hebat, tangannya melemas. Aku membantunya duduk dan membaringkannya di kasur.

Ibu menatapku dengan air mata yang menggenangi pipi. Aku mendekat, tangan Ibu merapayap mengelus pundakku dengan hangat. “Maaf karena Ibu tidak bisa membantumu kala itu,” ujarnya merasa gagal menjaga putrinya.

Aku menyeka air mata Ibu. “Ibu tidak salah, dia yang salah karena menjadikan jabatan pemuka agama sebagai alat untuk melecehkan.

“Kita harus melaporkan tindak kekerasan ini Ratih,” ujar Ibu sambil berusaha untuk duduk.

Aku mengangguk pasti. “Iya, Bu. Besok kita pergi ke pihak berwajib.” Mata ku berbinar dengan harapan agar kasus diusut tuntas dan tidak akan lagi korban.

Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja,
termasuk di lingkungan pendidikan seperti pondok pesantren,
Norma bisa menjadi pedang bermata dua,
Disatu sisi melindungi korban,
Namun, disisi lain menyiksa korban dengan kekuasaan.

Agama tidak salah, tapi orang di agama itu yang hilang arah,
Jaga diri dari setiap situasi sulit,
Jangan takut untuk mengungkapkan kebenaran,
Karena perempuan butuh perlindungan bukan kekerasan.

oOo

Referensi:
https://www.bbc.com/indonesia/articles/c93y3x2l3qeo

TENTANG PENULIS: Zulfa Wafirotul Khusna, lahir di Jepara, 6 Agustus 2005. Mahasiswa Universitas Negeri Semarang. Menulis adalah menuangkan segala perasaan dan pikiran. Penulis 35 buku antologi dan 1 naskah solo berjudul “Zii untuk Zio” Saat ini, penulis berdomisili di kota Jepara. Ia bisa dihubungi lewat media instagram @zuna_wa atau email khusnazulfa88@gmail.com.

oOo

PUISI ESAI GEN Z: Puisi Esai Gen Baru ini puisi esai mini 500 kata khusus untuk Gen Z dan Gen Alpha. Disarankan tema-temanya yang relate seperti bully, mental health, patah hati, broken home, sex bebas, dan narkoba. Bagaimana kalau lingkungan, politik, atau kritik sosial ke penguasa? Boleh saja asalkan ada fakta dan sertakan link beritanya. Tuliskan 500 kata. Sertakan bionarasi maksimal 5 kalimat, 2 foto penulis dan 2 ilustrasi AI yang mendukung puisi esainya. Kirimkan ke golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: Puisi Esai Gen Baru. Ada honorarium Rp 300 ribu dari Denny JA Foundation bagi yang puisi esainya tayang. Jangan lupa sertakan nomor rekening bank. Jika ingin membaca Puisi Esai Gen Z yang sudah tayang klik gambar di bawah ini:

Puisi Esai Gen Z: Raga yang Terjebak dalam Rasa Remaja Karya Aulia Indah Ramadhan

Mataram – Psikolog Klinis Fitriani Hidayah menyoroti maraknya kasus gangguan mental yang dialami pelajar di Nusa Tenggara Barat (NTB). Menurutnya, banyak kasus gangguan mental pada remaja yang tak tertangani. “Kalau disinkronkan dengan data yang dibeberkan Dinkes NTB, mungkin ada benarnya. Karena kalau saya pulang ke Lombok dan melakukan observasi, memang di beberapa momen saya dapatkan banyak kasus gangguan mental yang tidak tertangani,” beber Fitriani saat diwawancarai detikBali, Rabu (23/10/2024).

oOo

Ini adalah cerita tentang mereka yang hanya ingin didengar, tapi malah dibungkam oleh iman dan asap kemenyan.

Perasaan itu ilusi, bagian dari proses mistis
Bukan proses biologis, bukan pula bagian dari hati
Hanya halusinasi, yang diciptakan oleh iblis
Demi membohongi dan mengambil alih diri
Diriku yang lemah dan kurang ibadah
Itulah yang kalian tanam padaku

oOo

Nestapa bukan berarti kau derita
Semua luka yang ada hanya cobaan untuk kembali mendekatkan diri pada-Nya
Apa yang salah?
Kenapa kau merasa kami bedusta,
Sedangkan kau tak bersyukur atas hidup yang dianugerahkan Sang Maha Kuasa?

Kenapa tak kau satukan tanganmu itu
Angkat ke depan, tepat di bawah dagu
Dan mintalah pertolongan pada-Nya?
Mintalah pengampunan atas pemikiranmu yang penuh dosa itu

Bersimpuhlah, niscaya dia Yang Maha Kuasa akan melindungimu dari godaan dan gangguan iblis

Bukankah telah jelas disampaikan
Bahwa orang sepertimu hanya butuh iman?
Kau tersesat karena lupa jalan
Maka pulanglah, bersujudlah, dan lupakan tangisan

Sungguh memalukan kau bersikap seakan hidupmu hancur
Padahal kau hanya remaja yang diberi sedikit cobaan
Bila memang kau merasa kesialan dan gangguan setan sudah mulai menyerangmu, maka perbanyaklah doa

Psikolog dan obat hanya bagian dari pemerintah untuk mengambil lebih banyak uang dari mereka yang lemah dan hilang arah
Jika memang jiwamu sudah terganggu, seharusnya kau kembali pada kitabmu
Bacalah, lakukan perintah-Nya, dan niscaya kau akan selamat

oOo

Aku mencoba, meski doaku tak bersuara
Meski rasa ini menelan raga, aku mencoba
Aku bersujud, aku bersimpuh
Kapan aku akan sembuh?

Namun ketika ibadah tak lagi dirasa bekerja
Mereka mencoba cara lain
Mereka datang
Membawa asap, mantra, dan kemenyan
Karena tubuhku bukan lagi sarang dosa, melainkan tempat mereka yang tak kasat mata

Maka selendang ibu menahanku
Mengikat ragaku agar luluh
Aku rapuh, perlahan runtuh
Iblis yang mencoba merasuk
Mengambil kendali penuh
Aku tak mampu, ini sesuatu yang perlu

oOo

Kami tahu itu bukan dirimu
Demi membohongi manusia, mereka menipu
Menyebar dan menjangkit raga yang pilu
Tapi kami bisa menolongmu

Tubuhmu bukan lagi milikmu
Mereka mulai bernafas dari sela tulangmu
Mereka bersembunyi di balik tengkukmu
Karena itu pengusiran ini perlu

Biarkan asap kemenyan memenuhi rongga parumu
Mengusir mereka yang mencuri nafas milikmu
Rasa sesak itu adalah bukti mereka bersembunyi dalam tubuhmu
Tapi kami akan menolongmu

Bersama dengan doa dan alunan musik kami yang suci, kau aman
Biarkan air jampi kami merasuk ke dalam tubuhmu yang sudah lumpuh
Mereka akan ketakutan dan mencoba menyerangmu
Tapi kami akan melindungimu

Genggam batu ini
Tutup matamu dan jangan berbicara
Mereka bisa keluar dari mulutmu
Mereka bisa melihat kami kalau kau tak patuh

Tangisanmu adalah suara erangan mereka
Bukti bahwa proses pengusiran telah berhasil
Kami tidak percaya pada air matamu
Sebelum kau kembali utuh

oOo

Lalu aku pulang
Bukan sembuh, tapi berhenti melawan
Kata kataku tak lagi terdengar
Suaraku adalah kesalahan
Sekarang semua tenang, setelah aku diam

*) Cimahi, 4 Agustus 2025

oOo

Link:

Baca artikel detikbali, “Ribuan Gen Z di NTB Sakit Mental, Banyak yang Dibawa ke Dukun” selengkapnya https://www.detik.com/bali/nusra/d-7602849/ribuan-gen-z-di-ntb-sakit-mental-banyak-yang-dibawa-ke-dukun.

oOo

TENTANG PENULIS: Aulia Indah Ramadhani lahir pada tahun 2009 di Cimahi dan saat ini merupakan murid kelas X-SIJA di SMKN 1 Cimahi. Kecintaannya pada sastra telah membawanya pada dunia kepenulisan dengan kepercayaan bahwa setiap cerita layak untuk didengar.

PUISI ESAI GEN Z: Puisi Esai Gen Baru ini puisi esai mini 500 kata khusus untuk Gen Z dan Gen Alpha. Disarankan tema-temanya yang relate seperti bully, mental health, patah hati, broken home, sex bebas, dan narkoba. Bagaimana kalau lingkungan, politik, atau kritik sosial ke penguasa? Boleh saja asalkan ada fakta dan sertakan link beritanya. Tuliskan 500 kata. Sertakan bionarasi maksimal 5 kalimat, 2 foto penulis dan 2 ilustrasi AI yang mendukung puisi esainya. Kirimkan ke golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: Puisi Esai Gen Baru. Ada honorarium Rp 300 ribu dari Denny JA Foundation bagi yang puisi esainya tayang. Jangan lupa sertakan nomor rekening bank. Jika ingin membaca Puisi Esai Gen Z yang sudah tayang klik gambar di bawah ini:

Puisi Esai Gen Z: Duka Tanah Pati Karya Muhammad Sholihul Huda

Rakyat penuhi alun-alun Kota Pati dalam aksi demo Bupati Pati pada Rabu, 13 Agustus 2025. Tuntutan yang semula karena kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250% dan kebijakan 5 hari sekolah bergeser untuk menurunkan Bupati. Alasan ini dikarenakan Bupati Pati sudah tidak mampu memimpin Kota Pati dengan lebih baik lagi.

oOo

Pati, kota kecil dikuasai tikus berdasi,
Mencuri pangan anak-anak negeri
Membiarkan derasnya hujan berjatuhan
Pada muka yang mengharap belas kasihan

Di saat keadilan meninggalkan negeri
Kami bersatu ingin membawanya kembali
Menentramkan bumi pertiwi
Dari kerusuhan para pencuri
Mengenyangkan nafsu dalam diri

Di depan gedung katanya milik rakyat
Dikuasi pemimpin khianat
Ribuan air sudah berjejer rapi
Bersama temannya yang siap mengusir lapar dalam diri
Ia lahir dari tangan-tangan yang tak mau terlihat
Untuk memberi dukungan semangat

Di antara kesibukan kendaraan berlalulalangan
Poster banner berdiri dengan peringatan
Atas kesewenang-wenangan
Mendewakan jabatan
Jelas terbaca: “Turunkan Bupati Pati.”
“Pak Presiden, turunkan Bupati Pati .”

Semua aturan sudah kami taati
Namun kecurangan selalu kau siasati
Seolah kami yang merusak sendiri
Di negeri tempat kami berdiri

Uangmu kau sebar di penjuru negeri
Membungkam kepedulian hati
Memutar balikkan fakta yang terjadi
Mengorbankan kami
Rakyat yang seharusnya kau kasihani

Kami hanya ingin bersuara
Bahwa keadilan milik seluruh rakyat Indonesia
Bukan hanya penguasa
Memainkan sistem politik seenaknya
Menyiksa rakyat jelata

Api yang seharusnya kau redam
Kenapa kau kobarkan?
Membakar jiwa-jiwa yang diam
Untuk memenuhi surat undangan

“Jangan hanya lima ribu orang
Lima puluh ribu saja suruh datang
Saya tidak akan gentar
Keputusan saya sudah benar.”

Bentakmu tanpa ragu

Kami semua datang penuhi undanganmu
Membanjiri depan gedung yang kau anggap milikmu
Bersama api kebencian siap membakarmu

Namun, bukannya kau sambut ramah
Tapi jamuan darah
Agar kami tak melanjutkan langkah
Membiarkan kedoliman makin tumpah
Di tanah yang katanya sudah bebas penjajah

Preman-preman kau kemasi
Aparat keamanan kau beli
Meneteskan darah-darah kami
Meracuni paru-paru kami
Agar kami segera pergi

Kami tak kan mundur sebelum kursimu hancur
Kami akan terus maju meski kau hantam peluru
Kami tak takut pada ancaman maut
Cinta ini murni untuk kemerdekaan negeri
Yang telah dijajah oleh penguasa sendiri

Negeri kami sangatlah kaya
Namun dimiliki penguasa
Rakyat jelata hanya menyeka air mata
Mendapatkan hukuman di negeri kelahirannya

Negeri kami adalah serpihan surga
Namun dimiliki penguasa
Rakyat jelata hanya merasakan neraka
Dari susahnya berdiri di atasnya

Kami ingin negeri kami kembali
Yang bersih dari tikus berdasi
Memainkan uang untuk menyucikan diri
Membuat hukum berlari

Kami muak memakan semua ini
Yang benar dikucilkan
Yang salah didewakan
Mengatas namakan jabatan

Sampai kapan jabatan kau jadikan peluru penyiksaan
Merobohkan tiang-tiang yang ingin menegakkan kebenaran
Mulut-mulut kau tutup
Dengan uang dalam amplop

Apakah negeri ini benar sudah merdeka?
Jika kecurangan penguasa masih subur dipelihara
Persengkokolan dibuat untuk rakyat menderita
Agar mau diam tak mau bersuara

Pahlawan yang gigih mengibarkan keadilan
Dikejar tanpa ampunan
Disingkirkan dalam lautan kebencian
Agar hilang dalam peradaban

Bagaimana bendera kemerdekaan dapat kami kibarkan
Jika keadilan terus disembunyikan
Bumi pertiwi masih dicuri oleh penguasa negeri
Keserakahan terus tumbuh dan tertanam subur di negeri kami.

*) Pati, 15-8-2025

Catatan kaki:

https://www.liputan6.com/news/read/6130794/demo-besar-di-pati-pelajaran-untuk-kepala-daerah-tak-asal-bikin-kebijakan

https://news.detik.com/berita/d-8060250/duduk-perkara-pbb-naik-tantangan-hingga-demo-besar-desak-bupati-pati-mundur

Puisi Esai Gen Z Edisi 37/I/ 17- 24 September 2025

oOo

TENTANG PENULIS: Muhammad Sholihul Huda, remaja penggemar puisi untuk teman berbagi kisah diri. Berhasil menerbitkan buku kumpulan puisi pertamanya Titipan Aksara di tahun 2023. Selain penggemar puisi, ia juga suka menulis opini. Beberapa karyanya sudah tembus di platform bergengsi. Selain menjadi redaksi di website mansajululum.ponpes.id, ia juga aktif menjadi penggerak literasi pada teman-teman santri.

PUISI ESAI GEN Z: Puisi Esai Gen Baru ini puisi esai mini 500 kata khusus untuk Gen Z dan Gen Alpha. Disarankan tema-temanya yang relate seperti bully, mental health, patah hati, broken home, sex bebas, dan narkoba. Bagaimana kalau lingkungan, politik, atau kritik sosial ke penguasa? Boleh saja asalkan ada fakta dan sertakan link beritanya. Tuliskan 500 kata. Sertakan bionarasi maksimal 5 kalimat, 2 foto penulis dan 2 ilustrasi AI yang mendukung puisi esainya. Kirimkan ke golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: Puisi Esai Gen Baru. Ada honorarium Rp 300 ribu dari Denny JA Foundation bagi yang puisi esainya tayang. Jangan lupa sertakan nomor rekening bank. Jika ingin membaca Puisi Esai Gen Z yang sudah tayang klik gambar di bawah ini:

Puisi Esai Gen Z: Mati di Tangan Kekasih Karya Rofiatul Windariana

(Een Jumiati, 20 Tahun Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura, meninggal karena dibunuh dan dibakar oleh pacarnya, Moh. Maulidi Al Izhaq pada Minggu 1 Desember 2024 )

oOo

Nafsu
Menjadikan
Kaki di kepala
Moral dibawah kaki
Iman tunduk pada birahi

Andai ada yang bilang
Andai ada pilihan
Aku tak ingin memilih menjadi perempuan
Karena meski Tuhan Maha Adil dan Maha Pengasih
Manusia bejat mengadili perempuan tanpa belas kasih.

1 Desember 2024,
Seorang perempuan Bernama Een Jumiati dibunuh dan Dibakar oleh kekasihnya. Di Desa Banjar, Kecamatan Galis, Bangkalan.
Ia dibakar hidup-hidup
Di lahan sepi, mati
Diakhiri bukan oleh takdir
Tapi oleh lelaki yang dulu pernah ia cintai.

Een Mati. Setelah mengaku hamil 2 bulan pada pacarnya, Mauilidi.
Golok menjadi jawaban yang lebih dulu menggorok lehernya, membacok tubuhnya.

Ketakutan menjadi awal dan ia tidak akan tau bahwa malam itu, Maulidi , sang Pelaku mengakhiri nyawanya seperti binatang, tidak manusiawi.

Jeritannya kala itu, tak pernah dibayangkan. Meski ada adu mulut, meski EEn sempat lari agar janinnya tak mati. Membunuh tetap bukan solusi. Namun justru, ia diakhiri

Tidak ada pembenaran bagi penghilangan nyawa.
Tidak ada yang lebih keji dari pembakaran hidup-hidup sosok manusia

Pelaku barangkali berpikir, membakar tubuh yang pernah dia kasihi dapat menghilangkan jejak kejahatan yang ia lakukan. Bensin dan kayu tidak mampu membakar bukti kekejian yang ia rencanakan. Tidak Dapat membumihanguskan kebejatan yang ia lakukan.

Kejahatan seperti bangkai yang akan selalu tercium. Bau hangus tubuh yang pernah memohon hidup juga menyebar malam itu.

Maulidi tak mampu berkelit. Bara api menjadi saksi.
Kekhilafan adalah kekhilafan
Pembunuhan tetap pembunuhan
Nyawa adalah nyawa

Een Jumiati, Mahasiswa asal Tulungagung. Sosok perempuan yang berada di perantauan, mengadu nasib berharap pulang membawa gelar. Kini kembali pulang dengan jasad tak lagi utuh.

Een Jumiati tak pernah menyangka ia akan berakhir bersama tumpukan kayu dan akan dihilangkan dalam ingatan manusia seperti asap.

Malam itu, tidak hanya nyawa yang hilang. Tidak hanya sosok Een yang tewas Tapi anak semata wayang orangtuanya yang dimimpikan memakai toga telah dibunuh mengenaskan

Anak tunggal yang ditimang dengan kasih, mati tanpa belas kasih.  Ibu sebagai pembantu rumah tangga dan Ayah sebagai buruh tani memimpikan buah hati yang dibesarkan dengan peluh dan doa menjadi sarjana muda dengan nasib yang lebih baik. 

Naasnya, mimpi ayah ibunya kini berakhir di liang kubur. Mati di tangan setan berkedok laki-laki yang tidak tau bagaimana ia dibesarkan, bagaimana ia tumbuh bersimbah peluh orangtuanya. Di lepas di perantauan dengan berat hati, kini berpulang dengan kondisi yang mengiris hati.

Kini Een Jumiati berakhir dalam ingatan. Ia disebut tidak di tengah aula Perhelatan wisuda. Namanya disebut dalam persidangan dan melalang dalam pemberitaan media.

Een barangkali sudah tenang

Tapi kami marah

Karena tubuh perempuan, bukan altar dendam

Demi apapun, tidak ada nyawa yang sepadan

22 Mei 2025

Nyawa dibalas nyawa

Maulidi yang menghabisi Pacarnya, Een Jumiati untuk lari dari jeruji kini kembali ke Jeruji

Kini harus menghadapi putusan hukuman mati.

Ia membabi buta malam itu, enggan bertanggung jawab. Dengan geram membunuh dan membakar EEn beserta janin 2 bulan dalam perutnya. Kini dipaksa tunduk dan bertanggung jawab atas tindakannya.

Kepuasan ia membunuh dan membakar nyawa sepadan dengan sorak orang-orang mendengar putusan hakim dipersidangan.

Semua bersorak, demi Een, “Agar tak ada lagi Een yang lain.”

oOo

CATATAN KAKI:

https://surabaya.kompas.com/read/2025/05/22/150926078/bunuh-dan-bakar-mahasiswi-utm-pelaku-divonis-hukuman-mati

https://surabaya.kompas.com/read/2025/05/22/150926078/bunuh-dan-bakar-mahasiswi-utm-pelaku-divonis-hukuman-mati

https://www.detik.com/jatim/hukum-dan-kriminal/d-7667369/kronologi-mahasiswi-utm-dibunuh-lalu-dibakar-pacar-saat-hamil

https://www.tempo.co/hukum/kasus-jasad-mahasiswi-utm-dibakar-kampus-desak-polisi-jerat-tersangka-dengan-pasal-pembunuhan-berencana-1176701

oOo

TENTANG PENULIS: Rofiatul Windariana, Peremuan kelahiran 1997 asal Madura dan alumni UIN Sunan Kalijaga Ypgyakarta. Ia merupakan Founder Siniar.co, Simposium dan Co-Founder Panggung Perempuan. Ia juga memiliki minat dalam kajian filsafat, Studi Islam dan feminisme.

PUISI ESAI GEN Z: Puisi Esai Gen Baru ini puisi esai mini 500 kata khusus untuk Gen Z dan Gen Alpha. Disarankan tema-temanya yang relate seperti bully, mental health, patah hati, broken home, sex bebas, dan narkoba. Bagaimana kalau lingkungan, politik, atau kritik sosial ke penguasa? Boleh saja asalkan ada fakta dan sertakan link beritanya. Tuliskan 500 kata. Sertakan bionarasi maksimal 5 kalimat, 2 foto penulis dan 2 ilustrasi AI yang mendukung puisi esainya. Kirimkan ke golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: Puisi Esai Gen Baru. Ada honorarium Rp 300 ribu dari Denny JA Foundation bagi yang puisi esainya tayang. Jangan lupa sertakan nomor rekening bank. Jika ingin membaca Puisi Esai Gen Z yang sudah tayang klik gambar di bawah ini:

Puisi Esai Gen Z: Seorang Ibu Menunggu Anaknya Pulang Karya Natasha Harris

Gedung DPRD Makassar porak-poranda dibakar massa aksi hingga membuat tiga orang tewas. Dua korban meninggal akibat terjebak di dalam ruangan, sementara satu korban lainnya tewas setelah melompat dari lantai empat gedung. Ketiga korban tewas yakni Kasi Kesra Kecamatan Ujung Tanah Syaiful Akbar, staf humas DPRD Makassar Muh Akbar Basri alias Abay, dan staf anggota DPRD Makassar Sarina Wati. Ketiga korban telah dimakamkan oleh pihak keluarga masing-masing pada Sabtu (30/8/2025).

oOo

Ibu yang Menunggu di Pintu Senja

Aku adalah seorang ibu, menunggu senja di bibir jendela.
Tubuhku renta, kerudungku berbau asap duka lara ibu pertiwi
tangan gemetar menahan sebungkus kain kafan yang dingin.
Anakku, pergi di antara api yang menyambar gedung dewan,
gedung yang seharusnya jadi rumah aspirasi rakyat,
bukan kuburan terbakar tempat rakyat mengutuk dan menjerit.

Hari itu, Jumat sore yang ramai, debu dan asap kendaraan
langit Makassar murung—awan hitam jatuh di antara spanduk dan teriakan.
Orang-orang membawa tuntutan, rasa ketidakadilan dan sumpah serapah
tapi tuntutan menjelma kobaran. amarah membara bercampur teriakan
Gedung porak-poranda, kaca pecah berhamburan,
bendera robek, kursi berjatuhan.
Di dalam, anakku terjebak,
bersama dua jiwa lain yang sama takdirnya:
mereka abdi negara yang tulus melayani rakyat
yang biasa tersenyum ketika wartawan datang.
Mereka bertiga kini hanyalah nama yang dipanggil di liang kubur.

Aku, ibu yang menunggu kabar,
berlari-lari kecil di halaman rumah ketika suara telepon datang,
“Bu, putri ibu… putri ibu terjebak api di lantai empat!”
Aku masih berharap ia akan turun dengan selamat,
mungkin wajahnya berjelaga, tapi matanya tetap hidup.
Namun yang tiba di rumah sakit hanya kabar duka,
jenazah hangus yang nyaris tak kukenal,
tapi aku tahu, itu anakku—
anak yang dulu kukandung sembilan bulan,
kuberi susu, kubekali doa,
dan kini kukembalikan pada tanah yang merah dan panas.

Puisi ini bukan sekadar ratapan, tetapi catatan luka bangsa.
Di setiap aksi yang berubah ricuh, ada tubuh-tubuh yang tak pernah pulang.
Ada ibu yang meratap di malam panjang, tak akan hilang duka ini selamanya
ada bapak yang menatap liang lahat dengan keringat asin di pelipisnya,
ada anak kecil yang bertanya polos, “Kenapa mama tidak pulang, Bu?”
Pertanyaan cuuku itu menamparku, dan aku hanya bisa memeluknya,
karena jawabannya terlalu pahit untuk diucapkan.

Negeri ini tak henti mengulang kisah, demo jadi bencana,
api jadi hakim, dan nyawa rakyat kecil jadi tumbal.
Di televisi, pejabat berbicara dengan kalimat rapi:
“Ini tragedi, kita berduka, mari kita evaluasi.”
Tapi bagiku, evaluasi hanyalah kata asing.
Aku hanya tahu, anakku sudah pergi,
dimakamkan Sabtu itu,
tanpa sempat kusisir rambutnya terakhir kali.

Aku ingin bertanya: Apakah kematian ini tercatat di hati bangsa?
Apakah nama mereka akan dikenang lebih dari sekadar baris berita di koran pagi?
Atau mereka hanya akan jadi abu, hilang seperti lembaran arsip yang terbakar di ruang rapat?

Aku ibu. Suaraku lewat puisi mungkin pelan,
tapi darah yang kutumpahkan dalam doa lebih lantang dari pengeras suara massa.
Anakku gugur bukan di medan perang, tapi di gedung aspirasi yang terbakar oleh amarah.
Dan aku bertanya pada Tuhan, sampai kapan negeri ini menyalakan api
dengan tubuh anak-anak kami sebagai kayunya?

Maka, biarlah puisiku ini jadi batu nisan kata,
menandai luka yang tak akan sembuh.
Di atas pusara, kutanam doa:
semoga tanah Makassar menyalami mereka dengan sejuk,
semoga gedung yang terbakar tak hanya dibangun kembali,
tapi juga hati bangsa yang koyak.

Aku adalah seorang ibu, dan aku akan selalu menunggu anakku,
meski kutahu, ia hanya akan kembali dalam bentuk mimpi yang berbau asap
dan tangisan yang tak pernah kering.

*) Bandung 1 September 2025

oOo

Link:

Baca artikel detiksulsel, “Kondisi Memilukan 3 Korban Tewas Saat Gedung DPRD Makassar Dibakar Massa” selengkapnya https://www.detik.com/sulsel/makassar/d-8088496/kondisi-memilukan-3-korban-tewas-saat-gedung-dprd-makassar-dibakar-massa.

oOo

TENTANG PENULIS: Natasha Harris adalah mahasiswi Pendidikan Bahasa Korea di UPI Bandung. Senang traveling naik kereta. Setelah Singapura dan Korea, rencananya Desember 2025 hingga Februari 2026 traveling ke Indocina, Asia Tengah, dan Eropa Timur.

PUISI ESAI GEN Z: Puisi Esai Gen Baru ini puisi esai mini 500 kata khusus untuk Gen Z dan Gen Alpha. Disarankan tema-temanya yang relate seperti bully, mental health, patah hati, broken home, sex bebas, dan narkoba. Bagaimana kalau lingkungan, politik, atau kritik sosial ke penguasa? Boleh saja asalkan ada fakta dan sertakan link beritanya. Tuliskan 500 kata. Sertakan bionarasi maksimal 5 kalimat, 2 foto penulis dan 2 ilustrasi AI yang mendukung puisi esainya. Kirimkan ke golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: Puisi Esai Gen Baru. Ada honorarium Rp 300 ribu dari Denny JA Foundation bagi yang puisi esainya tayang. Jangan lupa sertakan nomor rekening bank. Jika ingin membaca Puisi Esai Gen Z yang sudah tayang klik gambar di bawah ini:

Puisi Esai Gen Z: Suara dari Pati Karya Marlin NA

Rabu, 13 Agustus 2025 terjadi unjuk rasa yang dihadiri oleh ribuan warga di depan kantor Bupati Pati. Mereka menuntut agar Sudewo mengundurkan diri dari jabatannya. Tapi Sudewo menolak tuntutan demonstran. Pada sekitar pukul 11.00 WIB terjadi keteganan antara warga dan aparat kepolisian yang diakibatkan oleh rasa kecewa warga atas tidak hadirnya Sudewo maupun perwakilannya dan pemerintah kabupaten untuk menemui mereka. Akhirnya demonstran perlahan masuk dan mendobrak gerbang kantor Bupati. Aparat yang berada disana mulai menyemprotkan Meriam air ke arah warga dan pada puncaknya, sekitar pukul 12.00 WIB, aparat melepaskan tembakan gas air mata ke kerumuman pedemo yang berakibat pada dilarikannya sejumlah warga ke RSUD RAA Soewondo (Kamal, 2025).

oOo

Kami tak sanggup lagi menahan gejolak di jiwa
Dada kami bergemuruh melihat kesemena-menaan
Mata kami membelalak saat ketidakadilan terjadi

Kami tak membenci siapapun yang ada di atas singgasana kecil itu
Kami hanya tak sudi saat kursi itu ditempati orang yang tak pantas
Kami hanya tak sudi untuk tetap diam
Tak sudi suara kami dibungkam
Tak sudi diperalat oleh ego segelintir orang

Semburan air yang teramat keras tak mampu membuat kami gemetar
Kami gemetar hanya karena ketidakadilan
Kami hanya gemetar saat tindakan semena-mena menari di hadapan kami
Kami hanya gemetar saar seorang arogan memiliki kuasa
Kami hanya gemetar saat orang yang tak pantas
duduk di singgahsana tetap menikmati empuknya kursi
Bukan gemetar karena takut tapi gemetar karena amarah

Kabut putih yang menyayat mata tak mampu membuat kami menutup mata
Suara sirine yang memekakkan telinga tak membuat kita tak lagi mendengar jeritan penderitaan

Sekali lagi, ini bukan karena kebencian
Ini bentuk rasa cinta kami pada tempat kami tumbuh dan besar

Suara kami memang terlampau kecil untuk menjangkau mereka yang pura-pura tuli
Tapi kami tak akan berhenti dan akan terus berteriak menyerukan kebenaran

Yang tak pantas harus turun
Yang tak peduli harus pergi
Yang hanya peduli pada hidupnya dan kawannya harus musnah

Apakah suara kami menggapainya?
Apakah jeritan kami membuatnya tersadar?
Apakah gerakan kami terasa?

Jika mereka tetap menutup mata
Jika mereka tetap tidak mau mendengar
Jika mereka tetap tidak mau merasakan
Maka kami tidak akan mundur
Kami akan terus menggaungkan apa yang kami percaya
Kami akan tetap meneriakan apa yang sudah sepantaskan kami suarakan

Kami memang hanya rakyat kecil
Tapi apalah gunanya singgahsana itu tanpa rakyatnya
Apalah makna dari kekuasaan jika tak ada kami disini
Apalah arti semua itu

Sudahi semua ini
Kami hanya ingin yang pantas saja yang diam disana
Yang peduli yang akan menjadi pemimpin kami
Yang mengasihi kami yang akan membuat kebijakan
Kami tak sudi untuk di bungkam
Dengarkanlah seruan kami
Seruan rakyat yang tak sudi untuk dibungkam dan menjadi sunyi

Referensi berita :
Kamal. (2025). Ribuan warga Pati tuntut bupati lengser, Sudewo menolak mundur – Bagaimana mekanisme pemberhentian kepala daerah? BBC News Indonesia. Klik:

https://www.bbc.com/indonesia/articles/c1ejd9vjv1wo

oOo

TENTANG PENULIS: Marlin atau Marlin N.A. SNama pena dari seorang pencinta keindahan yang senang
berimajinasi dan selalu kagum dengan sastra dan tempat yang memberikan makna mendalam. aya lahir di tahun 1998, lebih tepatnya di bulan Desember 1998. Bukan seorang yang ahli dalam merangkai kata tapi seorang yang selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam setiap kalimat yang dirangkainya. Seorang penulis yang bercita-cita dapat menyentuh pembaca dengan kata-katanya. Salah satu karyanya masuk dalam antologi cerpen Kentara.

PUISI ESAI GEN Z: Puisi Esai Gen Baru ini puisi esai mini 500 kata khusus untuk Gen Z dan Gen Alpha. Disarankan tema-temanya yang relate seperti bully, mental health, patah hati, broken home, sex bebas, dan narkoba. Bagaimana kalau lingkungan, politik, atau kritik sosial ke penguasa? Boleh saja asalkan ada fakta dan sertakan link beritanya. Tuliskan 500 kata. Sertakan bionarasi maksimal 5 kalimat, 2 foto penulis dan 2 ilustrasi AI yang mendukung puisi esainya. Kirimkan ke golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: Puisi Esai Gen Baru. Ada honorarium Rp 300 ribu dari Denny JA Foundation bagi yang puisi esainya tayang. Jangan lupa sertakan nomor rekening bank. Jika ingin membaca Puisi Esai Gen Z yang sudah tayang klik gambar di bawah ini:

Puisi Esai Gen Z: Panorama Berbisik Karya Natasha Harris

Puisi Esai Gen Z Karya Natasha Harris – Mahasiswi Pendisikan Bahasa Korea UPI Bandung

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Yati (41), warga Kelurahan Panorama, Kota Bengkulu, Bengkulu, tewas di tangan anak kandungnya. Hingga saat ini, polisi masih mendalami kondisi pelaku berinisial N (18). Dia diduga mengalami gangguan kejiwaan. Tragedi tersebut terjadi ketika korban sedang shalat, Sabtu (2/8/2025) siang. Saat itu, pelaku tiba-tiba datang dan memukul ibunya dengan batu ulekan. Tak hanya itu, N juga menusuk korban dengan senjata tajam.

oOo


Di Kelurahan Panorama, Kota Bengkulu, cinta pernah bersemi
ini cerita bermula, siang itu mengalir seperti biasa.¹
Matahari terik menimpa atap rumah, panas terasa,
angin malas masuk dari celah jendela yang tertutup,
dan seorang ibu bernama Yati, 41 tahun,
bersimpuh di atas sajadahnya.²
Ayat-ayat suci dari kita yang ia baca meluncur
mengisi ruang tamu sederhana.

Dari pintu rumah, tak terdengar ucap salam
terdengar langkah seorang anak, darahnya sendiri
tatapan mata kosong, wajah pucat mayat.
N, 18 tahun, kabar gembira baru pulang
dari rumah sakit jiwa beberapa hari lalu.³
Ia membawa cerita aneh juga bisikan-bisikan
yang bersembunyi di lorong pikirannya.

“Bunuh dia, bunuh! Walaupun dia ibumu!”
bisikan itu tak berbibir, tak bertubuh, seperti angin.
Tangannya meraih batu ulekan, tidak bergetar.
Doa ibunya belum rampung, tak ada peluk rindu,
apalagi cium pipi saat hantaman pertama di kepalanya.
Lalu pisau dingin menutup napas terakhir Yati.⁴

Sajadah lusuh yang dulu menjadi tempat sujud
kini menyerap darah, banjir amis tanpa air mata.
merekam takdir yang pahit, tentang malin kundang terulang.

Setelah itu, N tidak lari. Menatap tbuh ibunya.
Ia berjalan ke rumah tetangga, mengabarkan duka,
mengetuk pintu, berlumuran darah, berkata pelan:
“Aku baru saja membunuh ibuku.”

Kata-kata itu seperti batu meteor yang jatuh
di sumur hati siapa pun yang mendengarnya.
Tetangga berlari, menemukan Yati, tetangga baik hati,
terlentang, dingin, di lantai ruang tamu, berkubang darah.

Polisi datang, memasang garis kuning saat air mata tumpah,
mengumpulkan barang bukti anak malam dan ibu tersayang.
Batu ulekan, pisau, sajadah, do’a-do’a terbuang,
dan semua yang tersisa dari siang itu.⁶

N dibawa ke kantor, terhuyung tanpa rasa benci
menjadi tersangka, si anak malang tak memiliki arah
menjadi berita di mana-mana tidak dengan amukan massa.

Di ruang penyidik, ia bercerita lagi tanpa dosa:
“Ada suara yang memerintahku. Itu harus dilaksanakan. Itu tugas suci.”
Kita pun bertanya dengagn bimbang tanpa ilmu pengetahuan:
Apakah suara itu lahir dari penyakit, atau dari sepi yang tak pernah diobati?
Apakah ini hanya perkara medis, atau cermin retak dari rumah
yang kehilangan harapan masa depan?

Para tetangga tahu, N pernah dirawat di rumah sakit jiwa,
tahu bahwa pulangnya tidak disertai kepastian sembuh.⁸
Tahu bahwa ia tinggal satu rumah dengan ibunya
tanpa pengawasan medis yang memadai.
Tapi siapa yang berani campur tangan
di rumah orang lain,
hingga tragedi ini datang seperti badai di siang bolong?

Kini, rumah Yati sunyi, haya lolong alam dan bisik-bisik tetangga
Doa-doanya terputus, kembali pulang ke tanah kubur
tidak lagi ada panci yang ia aduk di sore hari, terdengar merdu
tidak ada sapaan dari teras dengan bunyi gelas, piring dan sendok.
Yang tersisa hanyalah bekas garis polisi dan dinding yang masih menyimpan
gema hantaman dan teriakan kesakitan penuh rasa sayang ibu kepada anaknya.

Kita bicara soal pembunuhan, tapi jarang bicara soal mengapa,
ada orang dengan gangguan jiwa bisa pulang ke rumah dengan bisikan,
tanpa pengawasan yang layak, menganggap seisi rumah harus dikorbankan.
Kita menyalahkan anak, tapi melupakan bahwa ia juga korban dari penyakit
yang membungkam logika dan sistem yang membiarkan bisikan itu menang.

Di Panorama, Bengkulu, kota cinta Bung Karno dan Fatmawati,
nama seorang ibu menjadi berita duka dan nama anak menjadi berkas perkara.
Di antara keduanya, ada bisikan yang tak pernah diadili.

oOo

Catatan Kaki Fakta
1.Peristiwa terjadi di Kelurahan Panorama, Kota Bengkulu, Bengkulu.
2.Korban bernama Yati (41).
3.Pelaku berinisial N (18) pernah dirawat di rumah sakit jiwa dan baru pulang beberapa hari sebelumnya.
4.Tragedi terjadi saat korban sedang shalat, pelaku memukul dengan batu ulekan dan menusuk dengan senjata tajam.
5.Setelah membunuh, pelaku memberi tahu tetangga bahwa ia baru saja membunuh ibunya.
6.Polisi mengumpulkan barang bukti, memasang garis polisi, dan memeriksa sejumlah saksi.
7.Pelaku mengaku mendapat bisikan untuk membunuh ibunya.
8.Informasi dari tetangga menyebutkan riwayat gangguan jiwa pelaku.

Link:

https://www.kompas.id/artikel/anak-bunuh-ibu-kandung-di-bengkulu-polisi-dalami-kejiwaan-pelaku

oOo

TENTANG PENULIS: Natasha Haris mahawiswi Pendidikan Bahasa Korea, semester 5, UPI Bandung. Senang traveling, penyuka drakor. Cita-citanya pingin kuliah beasiswa di Korea.

PUISI ESAI GEN Z: Puisi Esai Gen Baru ini puisi esai mini 500 kata khusus untuk Gen Z dan Gen Alpha. Disarankan tema-temanya yang relate seperti bully, mental health, patah hati, broken home, sex bebas, dan narkoba. Bagaimana kalau lingkungan, politik, atau kritik sosial ke penguasa? Boleh saja asalkan ada fakta dan sertakan link beritanya. Tuliskan 500 kata. Sertakan bionarasi maksimal 5 kalimat, 2 foto penulis dan 2 ilustrasi AI yang mendukung puisi esainya. Kirimkan ke golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: Puisi Esai Gen Baru. Ada honorarium Rp 300 ribu dari Denny JA Foundation bagi yang puisi esainya tayang. Jangan lupa sertakan nomor rekening bank. Jika ingin membaca Puisi Esai Gen Z yang sudah tayang klik gambar di bawah ini:

Puisi Esai Gen Z: Lima Malam, Neraka Bertirai Renda Karya Deni Friska Yulianti

Puisi Esai Gen Z kARYA Deni Friska Yulianti – Lulusan cum laude S1 Sastra Universitas Negeri Padang

(Seorang pria yang merupakan orang tua tiri ditangkap oleh pihak kepolisian setelah dicurigai telah melakukan tindakan pemerkosaan terhadap putri tirinya yang berusia 15 tahun sebanyak lima kali yang berlangsung pada tanggal 8 Juni 2025)

oOo

Rumah,
surga kecil nan nyaman,katanya
telah tumbuh neraka bertangan manusia,
bernafas seperti bak seorang ayah,
namun jiwanya lebih gelap dari liang kubur yang diludahi cahaya.

Ia datang tak mengetuk pintu,
karena pintu itu tak pernah dikunci,
bukan karena percaya,
tapi karena dunia lupa bahwa iblis tak selalu bersisik.

Aku—
bunga belum mekar, embun belum kering,
dipetik paksa lima kali oleh tangan yang menjanjikan aman1
Lima kali bumi hancur tanpa suara,
lima kali langit memerah seperti darah yang tak terlihat di celana putihnya.

Aku menangis,
tapi tangisku tenggelam di tumpukan bantal,

Lidahku kelu, di balik selimut yang lebih dingin dari pelukan lelaki bajingan.
Ia memanggil Tuhan,
tapi Tuhan sedang diseret dari dinding ruang tamu
oleh lelaki yang mengaku kepala rumah
namun bak iblis meneyerupai manusia

Betapa celaka negeri ini,
di mana kata “ayah” bisa berarti perogol,
dan kata “rumah” bisa berarti liang siksaan,
dan kata “anak” bisa berubah jadi korban tanpa nama.

Lelaki itu—
bukan manusia, bukan pula binatang,
karena binatang tak menodai darahnya sendiri.
Ia monster dengan wajah biasa,
duduk di ruang makan, menyuap nasi sambil menyimpan dosa
di ujung lidah dan bawah ketiaknya.

Bocah itu—
sekarang berjalan seperti bayangan,
matanya kosong seperti kaca jendela yang ditinggalkan badai.
Ia bukan hanya kehilangan tubuhnya,
tapi kehilangan dirinya sendiri,
tercuri satu per satu setiap malam yang tak diberi bintang.

Apa arti hukum bila jiwa yang terkoyak
hanya dihitung dengan tahun penjara?
Apa arti keadilan bila suara korban
hanya jadi berita di layar,
diabaikan seperti nyamuk yang mengganggu sarapan?

Aku ingin menggugat langit,
mengapa tak robohkan saja rumah itu?
Biarlah tanah menelan si durjana,
biarlah angin memahat namanya di batu kehinaan.

Namun aku tahu,
dunia tak pernah adil pada anak kecil yang hanya ingin tidur nyenyak.
Dunia terlalu sibuk menilai rapor,
tapi lupa membaca luka di balik seragam sekolah.

Wahai bocah kecil,
kau bukan korban,
kau adalah saksi bahwa cinta bisa dibunuh
oleh orang yang seharusnya menjaganya.

Dan jika suatu hari kau mampu menulis,
tulislah ini:
Bahwa dunia pernah membiarkanmu sendiri dalam gelap,
namun kau tak padam

Padang 2025

Catatan Kaki : https://news.detik.com/berita/d-7953978/bejat-pria-di-gresik-perkosa-anak-tirinya-5-kali

oOo

TENTANG PENULIS: Deni Friska Yulianti, lulusan cum laude S1 Sastra Universitas Negeri Padang, menjadikan dunia kepenulisan sebagai ruang ekspresi dan intelektualnya. Berpengalaman magang di KBRI Kuala Lumpur, OJK Padang, dan ZHM Premiere Hotel, ia juga aktif di ranah akademik sebagai presenter dalam International Conference serta pemenang lomba esai di Universitas Padjadjaran. Kepiawaiannya dalam menulis puisi esai membawanya masuk dalam 10 besar penulis terbaik muda dengan karyanya “Ketika Adab Terungkai dari Tangkainya”, sebuah refleksi tajam tentang nilai dan peradaban. Bagi Deni, menulis bukan sekadar keterampilan, melainkan bentuk perlawanan sunyi yang menghidupkan gagasan dan merawat ingatan.

PUISI ESAI GEN Z: Puisi Esai Gen Baru ini puisi esai mini 500 kata khusus untuk Gen Z dan Gen Alpha. Disarankan tema-temanya yang relate seperti bully, mental health, patah hati, broken home, sex bebas, dan narkoba. Bagaimana kalau lingkungan, politik, atau kritik sosial ke penguasa? Boleh saja asalkan ada fakta dan sertakan link beritanya. Tuliskan 500 kata. Sertakan bionarasi maksimal 5 kalimat, 2 foto penulis dan 2 ilustrasi AI yang mendukung puisi esainya. Kirimkan ke golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: Puisi Esai Gen Baru. Ada honorarium Rp 300 ribu dari Denny JA Foundation bagi yang puisi esainya tayang. Jangan lupa sertakan nomor rekening bank. Jika ingin membaca Puisi Esai Gen Z yang sudah tayang klik gambar di bawah ini: