Arsip Tag: Literasi

Mengapa Literasi Tidak Pernah Jadi Prioritas?

Oleh Naufal Nabilludin – Relawan Rumah Dunia

Efisiensi anggaran yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto beberapa bulan terakhir telah memaksa banyak program pemerintah beradaptasi. Program yang dianggap kurang penting dan menghambur-hamburkan uang dihilangkan. Ironisnya, di saat yang sama justru muncul isu kenaikan tunjangan anggota DPR RI yang disertai arogansi beberapa anggotanya.

Kebijakan efisiensi ini berdampak luas. Transfer ke daerah berkurang, sementara struktur kabinet semakin gemuk. Akibatnya, banyak daerah mencari cara instan untuk menambal anggaran yang dipangkas, salah satunya dengan menaikkan pajak, seperti yang terjadi di Pati, Jawa Tengah.

Terlepas dari dinamika yang terjadi, ada satu hal penting yang kadang luput dari perhatian publik, namun memiliki dampak fundamental bagi masa depan bangsa: literasi.

Sejak menjadi relawan Rumah Dunia pada 2022, saya menyadari ada kejanggalan dalam kegiatan literasi di Indonesia, terutama terkait keberpihakan pemerintah dalam hal anggaran. Dinas-dinas perpustakaan di daerah seringkali beralasan tidak punya anggaran atau anggarannya sedikit saat diminta menyelenggarakan kegiatan literasi.

Hal ini terjadi karena mereka masuk dalam kategori dinas tipe C, yang dianggap bukan prioritas daerah, sehingga anggaran yang diterima minim. Ditambah ada anggapan bahwa orang-orang yang ada di dinas perpustakaan adalah “orang buangan”.

Kondisi ini tidak hanya terjadi di daerah. Anggaran Perpustakaan Nasional yang semula Rp721 miliar pada tahun 2025 dipangkas menjadi Rp441,8 miliar karena efisiensi. Yang lebih menyedihkan, dalam rapat bersama Komisi X DPR, anggaran Perpustakaan Nasional di RAPBN 2026 ditetapkan sebesar Rp377,9 miliar. Meskipun masih diperjuangkan, angka ini menunjukkan tren penurunan yang sangat mengkhawatirkan sekaligus bukti bahwa pemerintah tidak terlalu memprioritaskan literasi.

Padahal, beberapa tahun terakhir Perpusnas RI justru berhasil melahirkan inovasi penting. Program seperti Duta Baca Indonesia, Relawan Literasi Masyarakat, dan KKM Literasi terbukti menyentuh masyarakat secara langsung dan ikut membangun tren literasi yang semakin baik.

Di titik ini, saya merasa ada anomali dalam kebijakan negara. Negara ingin masyarakatnya pintar dan literasinya meningkat, tetapi program yang mendukung minat baca justru dipangkas anggarannya. Di sisi lain, anggota DPR dengan mudah menikmati tambahan tunjangan. Bukankah UUD mengamanatkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Lalu, mengapa anggaran untuk literasi selalu dikurangi?

Padahal, banyak pegiat literasi di lapangan bekerja tanpa pamrih. Mereka menyisihkan uang, tenaga, dan waktu demi meningkatkan indeks literasi masyarakat meskipun tidak digaji. Rasanya, kegiatan literasi yang digerakkan komunitas seringkali lebih masif dan konsisten daripada yang dilakukan dinas resmi.

Yang lebih menyedihkan lagi, Gol A Gong, Duta Baca Indonesia 2021-2025, sempat mempertanyakan isu penghapusan program Duta Baca Indonesia pada 2026 dengan alasan efisiensi anggaran.

Sebagai seseorang yang beberapa kali ikut dalam program kerja Gol A Gong, saya melihat sendiri bahwa tidak semua kegiatan dibiayai dari anggaran negara baik itu APBN maupun APBD. Seringkali komunitas, pegiat literasi, dan masyarakat luas berkolaborasi untuk membuat kegiatan.

Duta Baca Indonesia bukan hanya sebatas ikon, tetapi juga menjadi penghubung dan penjahit berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pegiat literasi, taman bacaan, komunitas, sekolah, kampus, dinas, hingga kepala daerah, untuk menciptakan ekosistem literasi yang lebih baik.

Jika program-program positif seperti ini benar-benar hilang, maka target besar Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi slogan kosong. Bagaimana mungkin bangsa ini menjadi unggul dan berdaya saing jika urusan mendasar seperti literasi tidak diprioritaskan?

Bukan Sekadar Selempang Duta Baca Indonesia

Oleh Gol A Gong

Bukan sekadar selempang. Ada tanggung jawab di dalamnya.
Kata Bapak, “Jangan terlalu banyak menasihati. Tunjukkan saja manfaatnya. Jika kamu ingin bicara buku, contohkan manfaatnya buat kamu kepada orang-orang. Jadi ceramah atau nasihat terbaik kepada orang-orang adalah dengan cara menunjukkan manfaaudan tentu perilaku sehari-hari.”

Begitulah, Bapak. Sayangnya, Bapak tidak menyaksikan saya dikukuhkan sebagai Duta Baca Indonesia pada 30 April 2021. Jika Bapak masih hidup – wafat 17 Desember 2007, pasti akan terkenang satu peristiwa ketika saya pulang ke rumah dengan wajah sedih. Saat itu saya kelas 6 SD, 1976.

“Ada apa?”
“Ada yang meledek saya buntung.”
“Kamu buntung gak?”
“Kok Bapak bilang begitu?”
“Denger, ya. Jika kita memiliki kekurangan, kemudian sedih karena diledek orang, itu yang dimaui orang itu.”
“Saya harus bagaimana, Pak?”
“Kasih senyum. Tapi senyum kamu jangan asal senyum. Tapi senyum kamu harus diisi prestasi.”

Sejak itu Bapak menyuruh saya melakukan 3 hal:

  1. Bada salat subuh harus lari di alun-alun kota Serang.
  2. Di waktu luang harus baca buku
  3. Harus mendengarkan dongeng atau cerita sebelum tidur dari Emak

Sejak kelas 6 SD hingga kuliah di Fakultas Sastra UNPAD Bandung, saya melakukan 3 hal itu; olahraga (badminton), baca buku, dan mendengarkan cerita dari Emak dan dari siapa saja. Adakah hasilnya? Nanti saya ceritakan di status lain.

Di status ini, saya ingin fokus ke manfaat membaca buku:

  1. Memiliki wawasan baru dan ingin mendatangi setting lokasi yang ada di buku. Ingin keliling dunia.
  2. Jadi lupa bahwa saya berlengan satu. Hidup jadi lebih bersemangat.
  3. Jadi berdaya sehingga kualitas hidup saya jadi lebih baik.
  4. Jadi lebih berpikir logis. Lebih suka berdialog.
  5. Ingin jadi penulis.

Begitulah…
Tapi jika desas-desus Duta Baca Indonesia akan tidak ada lagi itu benar karena persoalan anggaran, betapa sayang.

Duta Baca Indonesia itu figur. Tokoh. Dan ketokohan itu penting. Masyarakat akan lebih mudah belajar dari ketokohan. di jelas manfaat buku kepada si tokoh. Ada banyak anak muda yang berdaya dan sukses gara-gara membaca. Semoga Perpustakaan Nasional RI tetap mempertahankan produk ikonik ini. Semangat selalu.

Gol A Gong
Duta Baca Indonesia
*) Membaca Itu Sehat, Menulis Itu Hebat

Gol A Gong di PKN STAN: Literasi adalah Kunci Sukses dan Pintu Menuju Ekonomi Bermakna

Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN menggelar seminar literasi bertajuk “Membaca, Menulis, Menginspirasi: Literasi untuk Berkarya dan Mengabdi” pada Jumat, 4 Juli 2025, di Kampus PKN STAN, Tangerang Selatan, Banten. 

Acara ini merupakan hasil kolaborasi antara Perpustakaan Direktorat Jenderal Anggaran dan Perpustakaan PKN STAN, serta didukung oleh Unit Pengembangan Karakter PKN STAN.

Seminar yang dikemas dalam bentuk talkshow ini menghadirkan Duta Baca Indonesia, Gol A Gong, sebagai narasumber utama. Dalam sesi tersebut, Gol A Gong membagikan pandangannya mengenai pentingnya literasi dalam menghadapi tantangan zaman, sekaligus membagikan kisah inspiratif dari perjalanan hidupnya.

“Literasi itu sebetulnya adalah pintu masuk untuk kita bisa sukses. Lewat apa saja, literasi keuangan, literasi digital, dan lainnya,” ujar Gol A Gong. 

Ia menekankan bahwa literasi bukan semata-mata soal membaca dan menulis, tetapi merupakan fondasi untuk memahami konteks kehidupan secara luas. 

Gol A Gong juga bercerita bahwa dirinya pernah mengalami amputasi tangan kiri sejak kelas 4 SD dan sempat dianggap akan menjadi beban masyarakat. Namun, melalui kebiasaan membaca, mendengarkan dongeng, dan berolahraga, ia berhasil membuktikan sebaliknya.

“Orang tua saya menyuruh saya untuk membaca buku, mendengarkan dongeng, dan olahraga. Dan Alhamdulillah, saya sukses. Anggapan bahwa saya akan jadi beban masyarakat tidak terbukti,” ungkapnya disambut tepuk tangan peserta. 

Dalam kesempatan itu, Gol A Gong juga memjelaskan konsep meaning economy atau ekonomi bermakna. Ia menjelaskan bahwa membangun narasi dan cerita yang kuat menjadi salah satu kunci dalam menciptakan makna ekonomi. Ia mengajak mahasiswa PKN STAN untuk mulai membangun jenama pribadi atau personal branding yang positif dan produktif di media sosial. 

“Jadi isi media sosial kita dengan hal-hal yang bermanfaat. Jangan diisi oleh hoaks dan buzzer,” pesannya, mengingatkan pentingnya etika digital dan kontribusi positif di ruang publik.

Seminar ini merupakan bagian dari tahap ketiga dalam kurikulum karakter PKN STAN—yakni tahap pengembangan, setelah tahap penanaman dan penumbuhan. Tujuan utamanya adalah mendorong mahasiswa untuk terus mengembangkan kemampuan literasi sebagai bekal menghadapi dunia kerja dan kehidupan bermasyarakat.

Dosen PKN STAN, Tanda Setiya, turut mengungkapkan antusiasmenya terhadap kegiatan ini.

“Saya merasa sangat bahagia hari ini dapat berkolaborasi dalam kegiatan literasi bersama Duta Baca Indonesia, Mas Gol A Gong. Beliau sangat antusias dan menginspirasi. Harapannya, mahasiswa PKN STAN ke depan dapat meningkatkan kemampuan literasi membaca, menulis, dan menginspirasi orang lain,” ujar Tanda Setiya, dosen PKN STAN.

Melalui kegiatan ini, diharapkan literasi mahasiswa PKN STAN tidak hanya meningkat secara akademik, tetapi juga berdampak pada pembentukan karakter yang kuat, mandiri, dan inspiratif.

Melihat Literasi Bekerja di Tengah Hujan Permen dan Buku

Oleh: Natasha Harris

Sabtu (10/5) menjadi hari yang menyenangkan bagi 50 anak usia Sekolah Dasar. Hari itu mereka mendapati hujan buku lewat pembagian novel Negeri Permen dari Bank Indonesia Provinsi Banten.

Bukan hanya diberi hadiah buku, anak-anak itu diajak membaca bersama perwakilan dari Bank Indonesia Provinsi Banten. Acara ini merupakan kerja sama antara Bank Indonesia Provinsi Banten dengan Rumah Dunia, sebagai bagian dari rangkaian acara Road to World Book Day 2025 Bank Indonesia.

Kiki Sarah Amelia selaku Analis Bank Indonesia Provinsi Banten dalam sambutannya mengatakan “InsyaAllah kalau memang ada rezekinya, BI akan terus bekerjasama dengan Rumah Dunia,” katanya.

Hal ini disambut baik oleh Miftah Rahmet, relawan Rumah Dunia yang memberi sambutan mewakili Rudi Rustiadi (Presiden Rumah Dunia) yang sedang menghadiri acara di luar kota. Miftah menyampaikan ucapan terima kasih atas perhatian Bank Indonesia Provinsi Banten di bidang literasi melalui kerja sama ini.

Sebagai pemateri dalam acara ini adalah Gol A Gong (Duta Baca Indonesia) yang menampilkan dirinya sebagai Paman Gong lengkap dengan celemek ajaibnya. Gol A Gong mengajak anak-anak mencintai dan membaca buku.

“Paman Gong juga suka baca buku sewaktu kecil,” katanya sambil mengajak beberapa anak untuk maju ke depan dan duduk di sampingnya.

Gol A Gong juga mewawancarai mereka mengenai kesukaan menabung dan membaca buku. Beberapa anak mengatakan mereka menabung 2000 atau 3000 rupiah.

Selain Gol A Gong pemateri lain adalah Tias Tatanka yang merupakan penulis novel Negeri Permen. Sebelum membacakan beberapa paragraf dari novelnya, Tias menjelaskan kepada seluruh peserta baik anak-anak maupun ibu-ibu yang mengantar mengenai keberadaan Bank Indonesia provinsi Banten. Tias juga berterima kasih kepada Bank Indonesia karena sudah menyediakan souvenir untuk para peserta.

Selain anak-anak Sekolah Dasar, acara ini juga dihadiri oleh 30 anak usia TK dan usia dini. Acara bertambah meriah dengan adanya hujan permen dan souvenir bergambar sampul novel Negeri Permen.

Tidak hanya anak-anak, ibu-ibu yang mengantar pun mendapat kesempatan untuk mendapatkan souvenir dari Bank Indonesia Provinsi Banten. Ibu-ibu diminta membaca bagian dialog dari novel Negeri Permen dengan ekspresif. Menurut Tias Tatanka demikianlah literasi sesungguhnya bekerja.

“Kita melihat bagaimana kerja keras yang harus dilakukan untuk mendekatkan anak pada buku, dan pendekatan pada orang tuanya khususnya ibu sebagai guru pertama bagi anak,” kata Tias.

“Kita melihat sendiri bahwa anak-anak masih perlu bimbingan dalam membaca buku. Sangat penting untuk memahami bacaan dan menerapkan kebaikan dari bacaan itu. Hal lainnya adalah perlunya buku hadir dalam setiap rumah, dengan begitu setiap saat anak menjadikan buku sebagai sumber pengetahuan dan hiburan,” papar penulis literasi ini.

“Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Perlu kerjasama antara komunitas atau lembaga dengan institusi negara,” tambahnya.

Perpustakaan Mini

Oleh Muhzen Den

Kegemaran waktu masih lajang sering beli buku untuk dibaca dan dijadikan koleksi pribadi, terus berulang saat sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Hal ini membuat kami merasa punya bekal untuk persediaan anak-anak dalam kemampuan literasinya.

Sedari usia dalam kandungan sampai anak-anak lahir, saya dan istri tidak bosan-bosan membacakan buku cerita untuk mereka. Harapannya, semoga apa yang kami lakukan dalam literasi membaca ini berpengaruh pada perkembangan kognitif anak-anak. Dengan begitu, anak-anak punya imajinasi yang kaya akan dunianya.

Setelah anak-anak mulai tumbuh, yakni Aa Denji (mau 8 tahun), Kang Oik (5 tahun lebih), dan Tsabit (2 tahunan), koleksi buku bacaan anak-anak masih tersimpan rapi dan masih dimanfaatkan.

Terkadang ketika ada anak tetangga atau sepupunya anak-anak saya dari saudara kandung istri melihat koleksi buku cerita tersebut, tanpa basa-basi kami sodorkan. Saya berharap koleksi buku cerita anak-anak termanfaatkan dengan baik.

Meskipun koleksi buku kami tidaklah banyak, tapi menyebarkan minat baca di luar rumah–seperti ke anak-anak tetangga dan saudara sepupu anak-anak–adalah harapan dan cita-cita kami.

Jadi, ketika ada anak-anak tetangga atau temannya anak-anak meminjam buku cerita koleksi anak-anak kami ada kebahagiaan tersendiri. Berarti koleksi buku cerita yang kami kumpulkan punya makna dan pengaruh positif bagi orang lain.

Perpustakaan KPw Bank Indonesia NTB Jalin Kerja Sama dengan Tiga Lembaga untuk Penguatan Literasi

Mataram, 24 Februari 2025 – Perpustakaan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) resmi menandatangani nota kesepahaman (MoU) kerja sama dengan tiga lembaga, yakni Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi NTB, Universitas Muhammadiyah Mataram, dan Perpustakaan Lembah Hijau Kelurahan Ijobalit, Lombok Timur.

Penandatanganan MoU ini dilakukan langsung oleh Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia NTB, Barry Arifsyah Harahap, pada Senin (24/2). Kesepakatan ini akan berlangsung selama tiga tahun ke depan dengan tujuan memperkuat sinergi dalam pengembangan literasi di NTB.

Kerja sama ini diharapkan dapat mendukung akses literasi yang lebih luas bagi masyarakat serta meningkatkan minat baca di berbagai kalangan. Dengan kolaborasi ini, Perpustakaan KPw Bank Indonesia NTB dan para mitranya berkomitmen untuk menghadirkan berbagai program dan kegiatan literasi yang berkelanjutan.

Duta Baca Indonesia, Gol A Gong, turut memberikan apresiasi terhadap kerja sama ini. “Ini langkah yang bagus untuk membangun penguatan literasi. Saya senang dan mendukung penuh penandatanganan MoU ini. Semoga dengan adanya kerja sama ini, Indeks Pembangunan Literasi di Lombok semakin baik,” ujarnya.

Lalu Abdul Fatah, Founder Perpustakaan Lembah Hijau juga menyampaikan harapannya agar kerja sama ini dapat berjalan lancar. “Mohon doa dan dukungan agar apa yang kami hajatkan sebagai komunitas literasi di Lombok Timur bisa berjalan dengan lancar,” katanya.

Dengan adanya sinergi antara lembaga pemerintah, akademisi, dan komunitas literasi, diharapkan masyarakat NTB semakin terdorong untuk mengakses dan memanfaatkan bahan bacaan guna meningkatkan wawasan serta keterampilan mereka.

Menularkan Hobi Baca

Oleh: Muhzen Den

Sebagai orangtua, aku belum bisa memenuhi semua keinginan anak-anakku. Namun, sedikit demi sedikit aku akan memberikan sesuatu yang terbaik untuk tumbuh kembang anak-anakku.

Sebagai orangtua yang lahir tahun 80an dan menikmati masa di era 90an sampai dengan sekarang, tahu betul betapa zaman sekarang lebih banyak kemudahan dan godaan. Jika dulu untuk mengakses media, baik elektronik dan cetak harus ada upaya mencari atau mengunjungi tempat-tempat tertentu. Namun sekarang, anak-anak kita disuguhkan semua yang dulu kita inginkan hanya dengan memiliki satu alat yang terhubung jaringan internet, dan bisa mengaksesnya.

Kemudahan-kemudahan di era sekarang bagi generasi milenia, gen z, dan gen alpa mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya kita bisa mendapatkan informasi yang inginkan hanya dengan menggunakan alat pintar bernama ponsel. Kekurangannya akses informasi yang mudah tersebut kadang dimanfaatkan untuk hal kurang baik.

Oleh karena itu, aku sebagai orangtua dengan memiliki anak generasi saat ini merasa khawatir. Sebab, kemudahan yang diberikan zaman membuat anak-anak dilenakan. Anak-anak dibuat berpikir praktis dan instan tanpa tahu prosesnya.

Dengan kekhawatiran itu, aku di rumah berusaha untuk terus mendampingi mereka dalam perkembangannya. Kebiasaan atau hobi membaca buku yang aku lakukan saat dulu sebisa mungkin ditularkan kepada mereka. Berharap anak-anak dengan membaca lebih memahami informasi apa saja yang patut mereka cerna untuk dijadikan pengalaman.

Dimulai dari membacakan buku dongeng saat anak-anak mau tidur bahkan saat bermain. Sebab, buku merupakan cara terbaik untuk menemani mereka pada sama tumbuh kembangnya. Setiap orangtua ingin anak-anaknya tumbuh dengan pola didik yang baik. Makanya, mengenalkan bahan-bahan bacaan pada anak-anak agar mereka memiliki pola pikir yang baik dan kritis.

Selain itu, memberikan contoh kepada anak-anak bahwa ayah-ibunya suka membaca dengan membaca buku di depan mereka atau membelikan buku. Dengan begitu, kebiasaan orangtua yang memiliki literasi baca dapat dijadikan contoh oleh anak-anak. Meskipun godaan gawai dengan dunia digital yang mudah diakses tak bisa dihindarkan.

Di rumah, aku dan istri menyisihkan uang tidak hanya membelikan anak-anak mainan, tapi juga buku bacaan. Buku-buku yang sesuai dengan usia mereka sangat membantu dalam perkembangan otaknya.

Harapannya, jika kita sebagai orangtua menularkan kebiasaan literasi terutama membaca, kelak anak-anak punya fondasi dalam memilah informasi. Minimal mereka punya keingintahuan besar setelah menyimak atau membaca buku. Atau memiliki rujukan jelas di rumah tentang literasi baca, yakni orangtuanya.

Rak Buku: Jejak Literasi dalam Perpustakaan Kelamin

Oleh Lupi Padziah

Sering kali orang-orang menilai sesuatu hanya berdasarkan penampilan luar atau sampulnya saja, tanpa berusaha memahami isi atau maknanya secara lebih mendalam. Ada sebuah peribahasa yang populer di dunia, yaitu “Don’t judge a book by its cover”, yang sangat relevan ketika kita melihat judul novel ini, Perpustakaan Kelamin.

Judul tersebut mungkin memantik pikiran kita bahwa buku ini membahas hal-hal yang berbau seks atau menggambarkan perpustakaan yang dipenuhi buku-buku tentang kelamin. Namun, anggapan itu muncul jika kita hanya melihat sampul atau judulnya tanpa mencoba memahami isinya yang sebenarnya.

Membaca buku ini seperti membuka gerbang khazanah keilmuan kita. Di dalamnya tersaji begitu banyak referensi buku, baik dari karya nasional maupun internasional, serta kisah-kisah menarik tentang para pecinta buku sejati—mereka yang begitu terobsesi dengan dunia literasi, rela mengorbankan waktu demi mengejar ilmu dan memperkaya wawasan.

Buku ini mengisahkan tokoh bernama Hariang, yang tinggal bersama ibunya, Syajaratul Ilmi—seorang penggiat literasi—di Desa Cigéndél, Sumedang, Jawa Barat. Kisah sang ibu dalam memperkenalkan buku terbilang unik.

Ia merahasiakan sebuah ruangan di depan rumah tanpa menjelaskan apa yang ada di dalamnya. Hingga akhirnya, setelah hampir dua dasawarsa, rahasia itu pun terungkap. Saat pintu dibuka, ternyata ruangan tersebut adalah sebuah perpustakaan. Hariang sangat terkejut melihat dinding-dinding yang dipenuhi ribuan buku yang tersusun rapi, siap untuk dijelajahi.

Merahasiakan isi ruangan ini darimu adalah rencana ibu. Alasan ibu sederhana: biar kamu terus bertanya, merindukannya, lalu jatuh cinta pada apa yang ibu rahasiakan itu setelah kamu mengetahuinya. Ibu hanya ingin kamu jatuh cinta pada buku, menganggapnya sebagai benda yang istimewa. Perpustakaan ini ibu niatkan tidak hanya untuk kamu, tapi juga untuk masyarakat Cigéndél. Bantu ibu agar banyak tetangga kita yang mau membaca di sini, terutama anak-anak. Buku bukan hanya milik mereka yang mengaku dirinya terpelajar, tapi milik semua orang yang ingin menatap makna melalui aksara.

Hal 9

Menurut saya, Perpustakaan Kelamin merupakan bentuk metafiksi yang menghadirkan dunia bacaan di dalam dunia bacaan itu sendiri. Penulis mengajak kita menyelami berbagai kisah, seperti sejarah kertas yang ditemukan oleh Tsai Lun dan mesin cetak yang ditemukan oleh Johannes Gutenberg.

Ada juga kisah Napoleon Bonaparte tentang kegilaannya dalam membaca di tengah kesibukannya berperang, serta diskusi barudak PAKU mengenai Penghancuran Buku dari Masa ke Masa karya Fernando Báez. Selain itu, buku ini juga membahas istilah-istilah untuk para penggandrung buku yang pernah dimuat dalam Memposisikan Buku di Era Cyberspace karya Putut Widjanarko, seperti bibliomania, bookworm, bibliophile, bibliotaph, bibliognost, dan lain-lain.

Sebagai seseorang yang belum terlalu banyak mengoleksi buku, saya merasa sangat terbantu dengan adanya novel ini karena menemukan berbagai judul menarik yang secara halus direkomendasikan oleh penulis.

Buku ini tidak hanya membuka mata saya terhadap karya-karya lain yang patut dijelajahi, tetapi juga memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai beragam perspektif dalam kehidupan.

Selain melalui percakapan Hariang dengan ibunya, khazanah keilmuan dalam Perpustakaan Kelamin juga terasa sangat kental melalui komunitas PAKU (Pasukan Anti Kuliah), yang beranggotakan orang-orang yang drop out karena tidak adanya biaya atau karena kecewa dengan sistem pendidikan di Indonesia. Namun, jangan salah.

Meskipun mereka tidak kuliah, wawasan mereka tidak kalah dengan orang-orang yang berpendidikan tinggi. Kegiatan dalam komunitas ini terbilang sederhana tetapi bermakna: berdiskusi tentang buku dan membasuh kaki orang tua.

Dalam novel ini, terdapat bab khusus yang membahas komunitas Pasukan Anti Kuliah, yang juga mengulas soal pelarangan buku, baik di dunia maupun di Indonesia. Bahkan, di halaman terakhir buku ini, terdapat daftar buku yang pernah dilarang di Indonesia antara tahun 1968 hingga 1998.

Penulis tidak hanya menyuguhi pembaca dengan kisah yang klise atau dialog yang biasa-biasa saja, tetapi lebih dari itu, kita diajak untuk mencintai membaca, berpikir kritis, serta mengamati realitas-realitas kecil di sekitar kita—yang ternyata dapat dijelaskan dengan kedalaman ilmu pengetahuan yang sangat luas.

Buku ini sangat pas untuk para penggiat literasi, pecinta buku, serta mereka yang menyadari pentingnya peran buku dalam peradaban dunia. Tentunya, pembaca akan merasakan kepuasan mendalam serta pemahaman yang lebih luas setelah membaca novel ini.

Buku adalah peradaban tertinggi umat manusia. Peradaban kita adalah peradaban buku.”

Hal 8

Tentang Penulis:

Lupi Padziah merupakan seorang guru TK di Purwakarta yang mencintai buku.