Oleh: M. N Fajri
Saat ini, museum dianggap sebagai salah satu bangunan yang hanya menyimpan memori sejarah. Setelah satu kali masuk ke dalamnya, orang tidak akan berkunjung kembali karena hilang rasa penasarannya. Tetapi, berbeda dengan Museum Multatuli, ia menawarkan sejuta kegiatan dan kenangan.
Salah satu keunikan di Museum Multatuli yang bisa kita rasakan adalah keberadaan buku ini. buku panduan untuk pengunjung museum. Tidak hanya bercerita isi/benda di dalam museum, tapi ia juga menceritakan perjalanan tokoh Multatuli.

Lalu, siapakah Multatuli?
Multatuli (yang berarti “aku telah banyak menderita” dalam bahasa Latin) sejatinya adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker. Seorang pegawai pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang kemudian beralih profesi menjadi penulis. Pembaca diajak untuk mengetahui asal-usul dan latar belakang tokoh Multatuli.
Sebagai contoh di halaman satu, Multatuli lahir sebagai anak keempat dari pasangan Engel Dekker dan Sytske Eeltjes Klein. Ia lahir pada 02 Maret 1820, di Amsterdam. Ayahnya seorang pelaut, hal itu yang menyebabkan keluarganya berpindah-pindah tempat tinggal.
Hal unik lainnya dalam buku ini, pembaca akan dibawa pada penjelasan dari pintuk masuk hingga keluar ruangan museum.

Di bagian awal, buku ini menjelaskan tentang ruang tata pamer museum yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu ruangan kolonial dan ruangan anti-kolonial.
Masuk ke ruang pertama, buku ini dengan jelas menggambarkan bentuk mozaik wajah Multatuli yang terbuat dari potongan akrilik. Lalu ada penjelasan tentang maket denah, patung dada Multatuli, serta kutipan terkenalnya, “Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia.”
Hingga ke ruangan-ruangan berikutnya. Buku menjelaskan apa saja yang ada di dalamnya, lalu mengulas dengan singkat sejarah dari barang atau benda yang disimpan di ruangan tersebut. Kondisi itu, memudahkan pembaca untuk membayangkan setiap sudut museum Multatuli dengan gamblang.

Tidak berhenti menjelaskan museum Multatuli, buku tersebut juga memberikan ringkasan tokoh nasional yang terinspirasi dari perjuangan Multatuli. sebagai contoh, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), di dalam buku terdapat kutipan dari Pram, “Politikus yang tidak pernah mengenal Multatuli bisa jadi politikus yang kejam. Pertama, karena dia tidak mengenal sejarah Indonesia. Kedua, dia tidak mengenal humanisme modern.”
Buku yang cocok untuk dibaca oleh masyarakat Lebak, atau kepada siapa saja yang penasaran tentang Multatuli dan bangunan museumnya. Buku ini tidak hanya berbahasa Indonesia, tapi dirangkap juga dengan berbahasa Inggris. Menurut saya sebagai pembaca, hal itu sebagai upaya melestarikan dan menyebarkan luaskan informasi tentang Museum Multatuli.
Adapun kekurangan dari buku, tidak ada informasi tentang kegiatan dan program yang berjalan di museum Multatuli. Padahal di Instagramnya, sudah ada beberapa event yang seru. Bila masuk dalam buku tersebut akan menjadi nilai plus kepada pembaca.
Buku tidak memberikan data yang luas, seperti biaya pembangunan hingga selesai menjadi museum berapa, tokoh Lebak yang bisa menjelaskan atau menjadi tour guide untuk edukasi sejarah museum Multatulinya siapa.
Padahal itu bagian penting, barangkali pejabat ada yang membaca, kemudian inisiatif membangun museum juga di wilayah lain yang tidak ada museumnya sama sekali. contoh Pandeglang, daerah terdekat atau tetangga Lebak. Pandeglang tidak punya museum padahal catatan sejarahnya menarik dibahas.
Judul: Buku Panduan untuk Pengunjung Museum Multatuli
Penulis: Tim
Penerbit: Museum Multatuli
Jumlah halaman: 60
Cetakan: Mei, 2024

